Pagi hari sekitar pukul delapan lewat empat puluh lima menit, ruang rawat inap Aisyah sudah diisi oleh Dian dan juga kedua orang tua Hanif.
Sementara Aisyah masih setia memejamkan mata diatas bed ranjang persakitan. Selang infus dan alat bantu oksigen masih terpasang disana.
"Dian, Aisyah baik-baik ajakan? Kenapa sampai sekarang Aisyah belum bangun juga?"Tanya Hendra cemas.
Setelah mendapat kabar dari Hefika jika menantu mereka masuk rumah sakit. Hendra langsung mencari tiket penerbangan paling awal dan setibanya di Jakarta sekitar pukul tujuh, Hendra langsung melesat menuju rumah sakit.
Dan disinilah Hendra berada, berdiri disamping bed Aisyah dengan tatapan cemas menatap sang menantu yang belum juga membuka mata.
"Entahlah, padahal kata Dokter bilang seharusnya Aisyah sudah sadar. Semoga saja gak terjadi apa-apa," Jawab Dian menatap sendu adiknya.
Dalam diam Hendra mengepalkan tangan, urat-urat tangannya terlihat.
Rasa amarah bercampur kecewa beradu dalam dadanya terhadap putra yang selama ini ia bangga-banggakan. Untuk pertama kalinya Hendra merutuki Hanif.
"Sebagai Papanya Hanif, saya mewakili Hanif, benar-benar minta maaf karena kelakuan yang Hanif lakukan sampai buat Aisyah seperti ini."Meski marah pada Hanif, namun bagaimanapun juga Hanif tetaplah putranya. Jadi kesalahan yang Hanif lakukan juga, kesalahannya karena salah mendidik Hanif.
Dian melirik sekilas pada Hendra, tanpa ada niatan untuk membalas ucapan Hendra.
Dian tak bermaksud mengabaikan Hendra, hanya saja ia belum ingin membahas soal ini. Pikirannya hanya dipenuhi tentang adiknya.
Melihat tak ada tanggapan apapun dari Dian, Hendra dan Hefika saling menatap. Keduanya jadi khawatir karena jika Dian berniat memisahkan Aisyah dan Hanif.
Tidak. Baik, Hendra maupun Hefika tak ingin jika Aisyah dan Hanif berpisah. Ini bukan tentang Hanif yang sangat mencintai Aisyah, bukan. Tapi mereka tak ingin kehilangan Aisyah yang sudah mereka anggap seperti putri kandung sendiri.
Hendra dan Hefika kembali menatap wajah Dian yang sangat sedih, keduanya memperhatikan gerak gerik Dian yang tengah mendekatkan wajahnya dengan sang adik.
Cup..
Satu kecupan Dian mendarat didahi Aisyah. Sudah lama sekali rasanya Dian tak mengecup adiknya.
Tanpa sepengetahuan siapapun hati Dian menjerit melihat adiknya harus kembali terbaring ditempat seperti ini untuk kesekian kalinya.
Saudara yang mana, yang tidak ikut sakit melihat saudaranya yang lain dalam keadaan seperti ini? Darah yang mengalir dalam tubuhnya juga mengalir dalam tubuh Aisyah. Otomatis melihat Aisyah begini, dirinya juga ikut merasakan sakit.
Sekali Dian tegaskan, meski dirinya dengan Aisyah lahir dari rahim wanita yang berbeda, namun rasa sayangnya pada Aisyah tak akan pernah berubah sampai kapanpun.
Aisyah adalah adiknya, Aisyah adalah putrinya, Aisyah adalah kebahagiannya, Aisyah adalah sumber kekuatannya. Bagi Dian, Aisyah adalah segala-galanya.
Dian menenggelamkan wajahnya diantara lipatan tangan.
"Abang?"
Dian mendongkak, mendengar suara lirih Aisyah. Senangnya bukan main melihat mata teduh Aisyah kembali terbuka meski terlihat sayu.
"Abang?"Panggil Aisyah lagi dengan suara lirih.
"Iya dek, ini abang."Balas Dian seraya mengenggam erat tangan Aisyah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Air mata Aisyah [Selesai]
RomanceWarning!!! Banyak adegan UwU ⚠Awas Baper⚠ • • • • • Dia mempertemukan, Dia yang menyatukan, dan Dia juga pula yang memisahkan. Begini jalan takdir kita... • • • • • "Ya Allah, ampuni mata hamba yang telah menatap pria yang tidak pantas untuk hamba...