Senyum Yang Dirindukan

5.6K 332 51
                                    


Sudah dua hari Hanif menyandang status sebagai seorang suami. Tapi sampai saat ini Aisyah tak kunjung menunjukkan tanda-tanda akan segera bangun.

Padahal seluruh keluarga baik dari pihaknya dan juga Hanif, sudah sangat menantikan wanita pemilik sorot teduh itu terbangun.

Seorang Dokter yang menangani Aisyah, mengatakan jika Aisyah memang sudah melewati masa kritisnya, akan tetapi kemungkinan Aisyah untuk kembali membuka mata sudah tidak ada lagi, melihat detak jantung Aisyah yang sangat-sangat lemah.

Dan dengan tegasnya Hanif membantah pernyataan Dokter.

"Dokter, bukan Tuhan. Jadi Dokter tidak pantas mengatakan jika istri saya tidak punya kesempatan untuk bangun lagi."

Telak, kata-kata Hanif berhasil membungkam Dokter tersebut.

Dan jika Dokter itu tak segera disuruh pergi oleh Asdkhan, entah apa yang Dian lakukan pada Dokter yang berlagak menjadi Tuhan, kata Dian.

Kesal bercampur marah, mendengar Dokter itu mengatakan jika Adiknya sudah tak memiliki kesempatan untuk hidup lagi. Seolah-olah Dokter itu mendoakan Aisyah untuk tertidur selamanya.

Huh, awas saja kalau Dokter itu berani menampakkan diri di depan Dian.

Dian berjanji akan membuat perhitungan pada Dokter itu, memangnya dia siapa berani-beraninya mengatakan hal seperti itu? Baru juga menjadi Dokter sudah sok berlagak menjadi tuhan.

Sekarang dua keluarga sedang berkumpul di depan ICU tak terkecuali Hanif.

Jadi bisa dikatakan didalam sana Aisyah sendirian, sebenarnya beberapa menit yang lalu Elisyah, si kembar dan Dian baru saja keluar.

"Hanif, Mbak izin masuk, ya, mau liat Aisyah juga."

Meski Hanif mengatakan jika mereka bisa saja menemui Aisyah kapan pun tanpa perlu meminta izin, tapi Renata tetap ingin meminta izin pada Hanif.

"Mas, ikut masuk juga ya, Ren."Sahut Dian.

Elisyah yang mendengar hal itu ikut menimpali, "Lho, bukannya kamu baru aja keluar bareng Ibu sama sikembar."

Dian menggaruk tengkuknya, malu.
"Ian, masih kangen sama Aisyah, Bu." Ungkapnya tak lupa memasang wajah sok polos.

Elisyah geleng-geleng kepala dengan tingkah putranya yang satu ini.

"Nggak papa kan, Nif?"Tanya Dian, menatap Adik iparnya.

Hanif menganggukkan kepala.
"Abang sama Mbak, masuk aja. Nggak perlu izin ke Hanif segala, lagipula kasihan Aisyah nggak ada temennya di dalem."

Hanif memutuskan memanggil Dian dan Renata, sebagaimana Aisyah memanggil keduanya. Kebetulan juga usia Dian dan Renata lebih tua beberapa bulan dari pada dirinya. Jadi, tak salahkan Hanif memanggil keduanya seperti itu?

Mendapat lampu hijau dari sang Adik ipar, Dian berdecak kegirangan.

"Yaudah kalau gitu kami masuk dulu," Izin Renata berjalan lebih dulu kemudian disusul Dian.

Saat melewati Hanif, Dian membisiklan sesuatu pada pria itu.
"Terima kasih Adik ipar,"Lalu menyusul istrinya yang sudah masuk ke ruangan Aisyah.

Hanif geleng-geleng kepala sambil menahan senyum geli.

Semakin kesini, ia mulai mengenal sosok Dian. Ternyata Dian tak sedingin yang selama ini ia lihat.

"Kamu bisikin Hanif, apa, Mas?"Tanya Renata. Saat mereka sudah ada disamping brankar Aisyah, ternyata sebelum masuk Renata sempat melirik kearah suaminya yang sedang berbisik pada Hanif.

Air mata Aisyah [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang