Begitu pulang ke rumah. Alfa membawa Kalysa yang tertidur pindah ke kamarnya. Lalu kembali ke ruang tamu untuk menjelaskan soal kepindahan Dafa dari sekolah lamanya.
"....." Dafa tampak murung. Apa...aku bikin kesalahan lagi?
Alfa dan Delta saling tatap. Delta menggenggam tangan Dafa, menenangkan anak kecil itu.
"Mama pikir, sekolah yang lama nggak cocok buat Dafa. Mama nggak suka sama orang tuanya teman-teman Dafa, mereka suka gosipin orang." Jelas Delta sambil tersenyum.
"Di sekolah yang baru, itu sekolah lamanya kak Ciel, Luciel dan Azriel. Sekolahnya bagus loh, Dafa juga bakal punya banyak teman di sana. Asal....Dafa nggak membawa barang-barang mahal dari Om Varo. Dan Dafa nggak boleh pamer juga."
Dafa mengerutkan dahi bingung. "Maksudnya?"
Delta melirik ke arah Alfa yang menjawab lewat tatapan mata 'kamu aja yang jelasin'. Membuat wanita itu menarik nafas dalam. Kamu fungsinya apa sih Pak!
Alfa sibuk memilih antara tahu goreng dan tempe goreng yang masih hangat, yang mereka beli dalam perjalanan pulang tadi.
Delta akhirnya kembali memberi penjelasan. "Sekolah Dafa yang baru ini....kalau membawa barang-barang mahal seperti itu....di sangkain sombong sama yang lain, lalu Dafa bakal susah dapat teman. Terus...Dafa juga bakal pergi ke sekolah naik sepeda bareng....
"Hei....aku belum sepakat soal itu." Alfa memotong penjelasan Delta, yang malah dapat tatapan tajam. Kamu....makan aja sana!
Alfa membungkam mulutnya dengan sepotong tahu goreng. Kembali menyimak penjelasan Delta.
"Dafa nanti perginya naik sepeda bareng Om Devta, om Bodyguard nya Dafa itu loh. Terus....Dafa juga nggak boleh bilang ke teman-teman kalau Dafa tinggal di rumah gede, bilang aja rumah Dafa sederhana, biar teman-teman Dafa nggak minder, terus....
"Terus...kalau Dafa pengen ngajakin teman-teman Dafa main di rumah gimana?"
"....." Delta terdiam, belum sempat memikirkan hal itu. Sementara Alfa menyunggingkan senyum.
"Kita tinggal beli rumah baru yang tampilannya biasa aja, belinya deket dengan sekolah, biar naik sepedanya aman. Suruh Devta tinggal di sana. Mobil biasanya tetap di beli, buat nganterin Dafa pulang pergi. Itu kamuflase yang bagus. Gimana.....ide yang cemerlang banget kan!" Alfa nyengir lebar dengan mulut berminyaknya itu, membuat Delta hampir tertawa.
"Di sana, Dafa bisa ngajakin teman Dafa main sepuasnya sampai sore. Kalau lapar, tinggal delivery, atau makan aja di cafetarianya mama. Nanti papa bilangin ama pelayan cafetarianya, nggak usah sok kenal sok dekat sama Dafa. Terus....kalau Dafa bosan main sama teman-teman Dafa, Dafa bisa main sama si kembar anaknya Om Varo, main sama Kalysa juga, karena mereka nggak papa izinin main di rumahnya Dafa, mereka masih kecil soalnya. Dafa ngerti kan?. Kalau mau main sama adek-adek, mesti mainnya di rumah ini aja." Alfa mengakhiri penjelasannya sambil bertanya ada Dafa.
"Jadi....Nggak apa-apa kalau Dafa nggak jagain Kalysa dan si kembar? Papa dan mama....nggak akan marahin Dafa atau....nggak ngediemin Alfa seperti waktu itu?" Pertanyaan itu jelas di tujukan pada Alfa dan pria itu langsung merasa bersalah.
Delta mengelus kepala putranya itu. "Asal....Dafa nggak lupa aja kalau punya adek, terus kalau hari minggu, waktunya Dafa main sama adek-adek di rumah, juga waktunya Dafa main sama papa dan mama, kami juga pengen main sama Dafa."
Dafa akhirnya menyunggingkan senyum dan mengangguk setuju. Harapannya untuk bisa bermain bersama teman-teman akhirnya terkabul.
"Dafa janji, akan rajin belajar, nggak akan nakal, dan nggak nyusahin papa dan mama" Janji anak kecil itu.
"Ah, tunggu sebentar!" Alfa pergi ke kamar mengambil sebuah kotak, lalu kembali dan menyerahkannya pada Dafa.
"Itu isinya kalung, mirip kalung yang di pakai Om Nafta, dan kalung yang pernah di pakai Dafa dulu. Kalung ini fungsinya sebagai alat pantau. Ada tombol kecil di belakang liontin kalung ini, bisa Dafa pencet untuk mengaktifkan kamera dan alat perekam suara yabg ada di dalam liontin."
Alfa kembali menjelaskan. "Papa kasih ke Dafa, bukan bermaksud untuk memantau semua kegiatan Dafa. Dafa boleh kok, nggak mengaktifkan tombolnya, tapi...
"Dafa tau kok. Om Nafta pernah bilang, kalau kalung yang ia pakai fungsinya sebagai bukti kalau-kalau ada orang yang gangguin Om Nafta terus nggak mau ngaku salah. Kalau ada bukti, Om Nafa bilang, orangnya bisa di hukum."
Di hukum, di penjara, bahkan bisa kita hancurin masa depannya juga. Ucapan itu hanya ada dipikiran Alfa.
Alfa membenarkan penjelasan Dafa. "Jadi, kalau misal Dafa lagi di panggil guru, atau lagi di dekati orang yang nggak di kenal, terus Om Devta nya lagi nggak ada, pencet tombolnya, biar kalau ada masalah, kita udah punya bukti buat nge hukum orang itu."
Dafa mengangguk mengerti.
"Kok aku nggak di kasih?" Tanya Delta bingung.
Alfa dan Dafa menoleh ke arah Delta yang tadi hanya menyimak. Sejak Alfa mulai sibuk memberi penjelasan, giliran Delta yang asyik makan gorengan.
"Kamu mau juga?" Tanya Alfa
"Nggak sih."
"Terus?"
"Cuma penasaran aja, kamu nggak pernah meminta ku memakai hal-hal seperti alat pantau sejak kita menikah. Segitu percayanya sama aku ya?"
Alfa mengambil tempe goreng terakhir yang ada di tangan Delta. "Siapa yang berani gangguin kamu. Komentar yang keluar dari mulut kamu bahkan jauh lebih pedas dari cabe rawit yang ada di piring itu. Dan aku belum pernah lihat kamu di ganggu orang lain. Jangan lupa, separuh dari pegawai di cafetaria, supir yang selalu antar jemput kamu, 2 Bodyguard yang selalu mengikuti mu tanpa kamu sadari, bahkan bik Teti yang sering nemenin kamu belanja, bersedia melapor semua kegiatan mu selama 24 jam. Mereka seperti CCTV berjalan, kalung ini nggak terlalu kamu butuhkan."
"....."
"Kegiatan kamu juga cuma seputar kampus, cafetaria, dan rumah. Kamu bahkan jarang ke mall. Curiga pada mu jadi terdengar nggak masuk akal."
Oh.
"Nah, sayang, karena besok udah mulai sekolah di sekolah yang baru, dan karena Dafa udah gede. Siapin buku-buku dan alat tulisnya sendiri. Semua perlengkapannya udah di tarok di kamar kamu." Delta mengabaikan Alfa lalu meminta Dafa menyiapkan kebutuhan sekolahnya sendiri. Tentu saja Dafa segera berlari ke kamarnya dengan senang.
"....."
"Kenapa?" Tanya Delta heran karena Alfa dari tadi terus menatapnya dengan wajah cemberut.
"Kamu....nggak pernah manggil aku sayang."
"....." What the.....
Delta berusaha kabur sementara Alfa berhasil menahannya dan bahkan menindih tubuh istrinya itu.
"Pengen di pukul ya?! Cepet minggir!"
Alfa celingak-celinguk, memastikan kalau nggak ada orang lain di sekitar mereka. "Kita udah lama nggak mesra-mesraan." Ucap pria itu sambil tersenyum menyeringai. Lalu mengambil ciuman kilat di pipi Delta.
"Apanya yang udah lama. Terus tiap malam di kamar itu ngapain, ha?!"
Alfa nyengir. "Itu kewajiban." Jawab pria itu singkat yang langsung mendapat cubitan di lengan kirinya.
"Papa mama sibuk honeymoon berdua, Dafa bahkan udah punya waktu buat dirinya sendiri. Kalysa juga bakal punya teman-teman baru. Kita....nggak mau senang-senang juga? Bikin planning buat kita berdua aja gitu? Kerjaan di kantor lagi nggak numpuk kok! Kalaupun numpuk, bisa kita pindahin ke Zeno, hahahaha. Jadi..."
"Kamu ngapaian woiiii, turunin nggak!" Delta benar-benar kaget ketika Alfa dengan santainya menggendong Delta memasuki kamar lalu melemparkannya di ranjang empuk mereka.
"Ini masih siang woiiii!!!"
Senyum setan ala Alfa keluar lagi dan itu membuat Delta merinding. "Bagus kan, kita bisa main sampai malam, atau....besok pagi hahahaha~"
🌸🌸🌸
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last Chance (END)
Roman d'amourDelta dan Alfa merupakan tetangga dan teman sekelas dari TK hingga SMA. Meski begitu keduanya tidak pernah benar-benar berteman, hingga akhirnya Alfa kuliah di luar daerah. Mereka dipertemukan kembali dalam suasana canggung. Alfa dengan jas hitam ra...