9: Rutinitas Pagi

1.9K 349 14
                                    

Bisa dibilang, Park Jisung itu sangat manja kalau udah sama Lyra. Mungkin faktor dari kecil lebih dekat  sama Bunanya itu ketimbang Ayah, makanya Jisung juga lebih sering menempel dengan Lyra.

Bukan karena Jaehyung---Ayahnya adalah seorang Ayah yang buruk, hanya saja mereka belum sempat menciptakan lebih banyak momen  bersama. Kenangan yang Jisung ingat bersama lelaki itu juga tidak begitu banyak. Seperti yang kita semua tau, Jaehyung meninggal saat umur Jisung baru genap lima tahun. Semasa hidupnya pun Jaehyung lebih sibuk bekerja dibanding mengurus Jisung, makanya sampai sekarang anak itu kalau manja ya pasti ke Lyra.

Tapi Jisung bukan semata-mata anak manja yang tidak bisa apa-apa dan selalu mengandalkan Bunanya, dia lebih dari itu. Untuk ukuran anak umur lima tahun yang baru ditinggal Ayahnya pergi untuk selamanya, Jisung cukup dewasa dan mengerti keadaan. Dia tidak menangis saat itu, setidaknya tidak di depan Lyra. Bukan karena dia tidak merasa sedih ditinggal Ayahnya pergi, hanya saja Jisung berpikir kalau dia ikut menangis juga siapa yang akan menguatkan bunanya?

Siapa yang akan menghibur bunanya?

Siapa yang bisa bunanya andalkan selain dia?

Maka dari itu, Jisung tidak menangis di depan Lyra. Meski terkadang dia merasa sesak di tengah malam karena harus menahan suara isak tangisnya sendiri, itu karena Jisung tidak ingin terlihat lemah di depan bunanya. Dia mungkin manja dan cengeng untuk hal-hal kecil, tapi tidak jika itu menyangkut Lyra.

Jisung ingin menjadi anak yang kuat, yang bisa menjaga Lyra dan memastikan wanita itu selalu bahagia jika bersamanya.

Buna harus bahagia, itu janji Jisung pada dirinya sendiri. Juga janjinya pada almarhum sang Ayah, Park Jaehyung.

"Morning, buna" sapa Jisung sambil mengucek mata kanannya yang mendadak buram sebab terhalang kotoran mata.

Anak itu duduk di atas ranjang, membuat selimut yang semula menutupi hingga sebatas dada jatuh ke pangkuannya.

Jisung bukan tipe anak yang sulit dibangunkan dari tidur. Cukup dengan menyalakan lampu atau membuka tirai yang menutupi pintu kaca balkon di kamarnya, maka secara otomatis dia akan langsung terbangun. Bisa dibilang Jisung itu sensitif cahaya dan bakalan sulit tidur dalam keadaan lampu menyala, kecuali jika dia benar-benar sedang merasa lelah.

Senyum Lyra menjadi respon dari sapaan Jisung barusan. Wanita itu menjauh dari pintu balkon yang sudah ia buka untuk mengganti udara di kamar Jisung sebelum akhirnya menghampiri anak laki-lakinya itu.
Dengan rambut acak-acakan dan mata sayunya, Jisung merentangkan kedua tangan isyarat minta dipeluk. Mata kecilnya itu bahkan belum sepenuhnya terbuka saat Lyra mendekat.

Jisung langsung menghambur memeluk pinggang bunanya sambil ndusel di perut wanita itu, kedua matanya kembali terpejam entah karena masih terlalu mengantuk atau merasa silau dengan cahaya matahari yang mengintip di kamarnya.

Lyra tersenyum sambil mengusak rambut hitam gelap milik Jisung itu. "Langsung mandi terus turun, buna udah siapin sarapan"

"Buna wangi sama rapi banget" sahut Jisung tidak nyambung, ia masih nyaman ndusel di perut Lyra.

"Kan buna harus kerja" kekehnya kemudian, kali ini sembari memainkan pipi mochi-nya Jisung.

"Kerja terus" Jisung cemberut, makin mengeratkan pelukannya karena tidak ingin Lyra pergi. "Kapan liburnya?"

"Hari minggu libur"

"Ck! Cuma sehari, mana cukup"

"Kalau buna nggak kerja kamu mau makan apa, Park Jisung??" Gemas, Lyra menarik pipi anaknya itu hingga melar.

My Beloved Son ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang