Suara deru mesin sebuah mobil di luar sana terdengar sampai ke telinga Jisung. Saking seringnya dia sampai hapal siapa pemilik mobil tersebut, bahkan tanpa harus repot memeriksanya dulu lewat celah gorden yang menutupi jendela kamar Jisung.
Itu bukan mobil milik bunanya, melainkan milik Huang Renjun. Entahlah akhir-akhir ini Jisung rasa hubungan kedua orang itu semakin dekat saja. Terlebih sejak Renjun bertandang ke rumah ini di waktu pagi seminggu yang lalu, entah apa yang terjadi saat itu Jisung pun kurang tau. Tapi yang jelas sudah tiga hari terakhir ini Jisung perhatikan Lyra selalu diantar jemput Renjun dengan mobil merahnya itu.
Ya Jisung tau sih kalau Lyra itu sekretarisnya Renjun di kantor, wajar kalau mereka dekat. Tapi di matanya kedua orang itu terlampau dekat, seperti bukan sekedar hubungan bos dan sekretaris. Jujur saja, Jisung mulai mencurigai akan adanya hubungan terselubung di antara bunanya dan si pemilik tunggal perusahaan Huang aka Huang Renjun.
Tapi pikiran Jisung sudah terlampau kalut memikirkan tentang Wonyoung dan Chenle, jadi untuk sementara ini dia ingin mengesampingkan dulu kecurigaannya tersebut dan fokus pada masalahnya sendiri.
"JISUNG!"
Seruan itu agaknya mengagetkan Jisung, membuat si remaja laki-laki dengan baju tidur berwarna hijau tua itu terkesiap dari lamunannya sendiri.
"Buna? Jisung kaget tau!" Delik Jisung saat melihat Lyra berkacak pinggang di ambang pintu kamarnya yang terbuka lebar.
"Buna tuh udah manggilin kamu berulang kali tapi kamunya nggak denger!" Wanita itu masuk lebih dalam, lalu berhenti untuk duduk di ujung ranjang yang sama yang juga ditempati Jisung sejak tadi.
"Kenapa kamu? Ada masalah?"Wanita itu bertanya blak-blakan, sadar kalau sejak tadi Jisung melamun sampai tidak menyahut panggilannya. Lagipula tidak biasanya jam segini Jisung mengurung diri di kamar. Anak itu punya kebiasaan menunggu dirinya pulang kerja di ruang tengah, lalu menyambutnya dengan senyum kepalang lebar. Tapi hari ini tidak begitu, makanya Lyra heran.
"Nggak apa-apa, bun"
"Nggak apa-apa gimana?"
"Ya nggak apa-apa"
"Tapi tadi kamu melamun"
"Emangnya Jisung nggak boleh melamun?"
"Ya boleh aja sih.." Lyra sempat meringis sejenak saat sadar ada luka kecil pada pergelangan kaki bagian belakangnya, pasti karena terlalu lama memakai high heels.
"Cuma nggak biasanya aja kamu begitu""Kaki buna luka lagi?" Jisung bertanya khawatir sambil matanya tidak lepas memandangi kaki sang buna, sepersekian detik kemudian dia ikutan meringis. Pasti rasanya perih sekali.
"Hm, sedikit. Tapi nggak apa-apa, udah biasa kok"
"Jisung obatin ya?" Tawarnya sambil refleks berdiri, tapi tangannya sudah lebih dulu ditahan Lyra.
"Nggak usah, kamu duduk aja. Buna bisa obatin sendiri nanti"
"Tapi nanti makin parah loh?"
"Nggak, Jisung. Udah sini duduk lagi"
Remaja enam belas tahun itu menurut. Jisung kembali duduk tapi matanya masih tidak lepas dari kaki bunanya.
"Sakit nggak?"
Mendengar betapa khawatirnya Jisung sekarang, Lyra tidak tahan untuk tidak tersenyum. Dia mengusap punggung tangan Jisung dengan lembut, berniat menenangkan anak itu sekaligus meyakinkan bahwa dirinya baik-baik saja. Lagipula ini hanya luka kecil, tidak terlalu berpengaruh apa-apa.
"Buna baik-baik aja, Jisung. Nggak usah terlalu khawatir"
"Hm, oke"
"Tadi sebelum kesini buna cek kamar sebelah kosong, Chenle kemana?" Tanya Lyra mengalihkan pembicaraan.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Beloved Son ✓
FanfictionIn another life [ Son From The Future ] "Kamu sayang banget ya sama buna?" "Iyalah! Buna itu hidup dan matinya Jisung" anak laki-laki itu menarik ingusnya, sebelum melanjutkan ucapannya. "Jadi jangan pergi, jangan pernah pergi dari hidup Jisung." St...