39: Wonyoung & Yuna

1.1K 220 6
                                    

Tidak seperti hari biasanya dimana Renjun baru bangun di jam delapan pagi padahal itu adalah waktunya masuk kantor, hari ini Renjun bangun lebih cepat. Bahkan sekarang saat jam masih menunjukkan pukul tujuh pagi, si pria Huang itu sudah berpakaian rapi dan sedang berdiri di depan pagar rumah keluarga Park.

Pintu kayu itu masih tertutup rapat, sama seperti pagar besi yang menutup akses masuk di depannya sekarang. Renjun ragu hendak menekan bel yang berada di sebelah kiri pagar, sejak tadi tangannya terus saja mengambang sambil menimbang-nimbang apakah dia harus menekannya atau tidak.

Jujur saja semalaman Renjun jadi kepikiran Lyra, dia merasa tidak enak hati karena sudah membohongi wanita itu dan tidak mengizinkannya untuk ikut meeting bersama Jeno. Terlebih lagi alasan Renjun sebenarnya melakukan itu sangatlah konyol.

Renjun hanya tidak ingin kalau Lyra dan Jeno sampai bertemu lagi.

Jangan tanya alasannya kenapa, semua orang juga pasti tau. Konyol sekali memang pria tua ini.

"Om Injun?"

"Aishh.."

Renjun meruntuki jari telunjuknya sendiri yang sejak tadi mengambang di depan bel lalu refleks menekannya karena kaget akan sapaan Jisung barusan, buru-buru dia menarik tangannya sambil melayangkan tatapan kesal pada anak itu.

"Ngagetin aja!"

Dengan seragam sekolah dan tas ransel hitamnya, Jisung menghampiri pria Huang itu lalu membuka pagar untuk keluar.

"Lagian aneh banget Jisung perhatiin dari tadi masih aja bengong disini bukannya masuk, padahal pagarnya juga nggak digembok"

"Nggak sopan main asal masuk!"

Jisung mencibir. "Sejak kapan Om Injun menerapkan sopan santun di rumah ini? Biasanya juga asal nyerobot masuk meski nggak dipersilahkan"

Iya juga sih. Bagi Renjun dan Lyra yang sudah berteman selama bertahun-tahun lamanya, menekan bel saat bertamu hanyalah sekedar formalitas. Biasanya mereka bahkan tanpa sungkan asal masuk ke rumah atau paling tidak ya mengetuk pintu dulu.

Tapi Renjun rasa itu tidak bisa diterapkan hari ini karena keadaannya agak berbeda.

Mata kecil Jisung sengaja disipit-sipitkan, tatapannya terarah pada Renjun yang jadi salah tingkah sendiri karena diperhatikan sebegitunya.

"Kenapa sih lo?" Renjun protes.

Sambil melipat lengan ke dada, Jisung menjawab. "Om ada masalah ya sama buna?"

"Hah? Kok---"

"Kemarin sore buna diantar pulang naik mobil merah, itu punya Om Injun kan?" Renjun baru ingin menjawab namun anak itu sepertinya tidak membutuhkan jawaban, sebab dia kembali melanjutkan. "Jisung liat lewat kaca jendela, muka buna keliatan bete gitu pas keluar mobil meski pas liat Jisung mukanya langsung berubah jadi senyum seolah nggak terjadi apa-apa. Kalian berantem ya? Om Injun apain buna?"

"Nggak.. nggak ada apa-apa" Renjun berkilah, sedikit menyesalkan mengapa anak laki-laki di depannya ini memiliki tingkat kepekaan yang tinggi kalau sudah menyangkut tentang Lyra.
"Jangan sok tau!" Tukasnya kemudian.

Sebenarnya Jisung ingin kembali mendebat pria itu, tapi saat matanya melihat pada arloji di pergelangan tangan, Jisung memilih untuk menyerah. Jika dia tidak salah kira, lima menit lagi harusnya bus yang biasa ia tumpangi menuju sekolah akan segera sampai. Butuh waktu untuk sampai ke halte dari rumahnya, Jisung harus segera sampai disana jika tidak ingin menunggu paling tidak lima belas menit lagi sampai bus selanjutnya datang.

Jisung berdecak, entah kesal karena waktunya mepet atau justru kesal karena tidak bisa mengorek informasi dari Renjun. "Yaudah lah terserah. Buna ada di dalam, kayaknya masih cuci piring"

My Beloved Son ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang