Mari kita saling menghargai, tau kan apa maksudnya? 🙂
***
Lyra merenggangkan tubuhnya yang terasa kaku sebab tiga jam lamanya berkutat di depan komputer. Lehernya terasa sangat pegal, punggungnya apalagi, ditambah kakinya mulai kebas entah karena kelamaan duduk atau justru karena faktor usia. Entahlah, tapi Lyra rasa ia tidak setua itu.
Rupanya hasil rapat tadi pagi lumayan banyak yang harus dicatat, dia harus menyalin ulang semuanya sebagai laporan yang harus diberikan pada Renjun paling lambat besok pagi. Belum lagi bosnya itu meminta atur ulang jadwal pertemuannya dengan klien membuat Lyra harus bekerja ekstra hari ini.
Renjun menolak semua pertemuan di atas jam enam sore, dengan alasan itu adalah batas waktu kerja. Jadi semua pegawai, termasuk dirinya juga Lyra harus pulang jika sudah waktunya pulang. Padahal cukup banyak klien yang meminta pertemuan di jam malam karena di siang hari agak sulit mencocokkan jadwal satu sama lain.
Agak merepotkan memang karena Lyra harus menelpon satu persatu klien mereka untuk memberitahu jadwal pertemuan baru, belum lagi ada beberapa investor yang tadi sempat marah-marah padanya karena dianggap semaunya. Tapi ya mau bagaimana lagi kalau keinginan Renjun seperti itu, Lyra mana bisa menolak.
Apakah dengan begitu Renjun bisa disebut semaunya? Tidak juga.
Alasan Renjun menolak semua pertemuan dan menolak adanya kerja lembur di kantor adalah karena ia ingin menghabiskan waktu malam harinya bersama dengan Bundanya, karena dari pagi sampai sore waktunya full di kantor. Kasihan Bundanya jika hanya ditinggal berdua saja dengan asisten rumah tangga yang tentunya tidak akan sama jika Renjun yang menemani.
Lagipula menurut Renjun dia adalah bos perusahaan, bukannya budak dari perusahaan. Dia tidak ingin dua puluh empat jam waktunya habis hanya untuk bekerja.
Hal itulah yang setidaknya Lyra kagumi akan sosok Huang Renjun.
Ditambah lagi karena dengan begitu kan dirinya jadi tidak harus ikut kerja lembur, karena kalau bos pulang sekretarisnya ya juga ikut pulang. Lyra jadi punya waktu bersama dengan anaknya di rumah, kasihan juga kalau Jisung ditinggal kerja terus. Meskipun Jisung sudah cukup besar, anak itu tetap butuh sosok Ibu untuk mengurus banyak hal. Apalagi Jisung terbilang sangat manja dan ingin selalu bersamanya.
Ngomong-ngomong Jisung, sekarang sudah jam tiga sore. Seharusnya anak itu sudah pulang sekolah sejak tadi, kecuali kalau ada latihan futsal paling-paling jam lima sore baru sampai rumah.
Lyra melirik ponselnya yang diletakkan begitu saja di atas tumpukan dokumen yang belum sempat ia berikan pada Renjun, sepertinya tidak ada salahnya menelpon Jisung sebentar. Lyra sedang butuh semangat, dan suara anak laki-lakinya itu biasanya mampu membuat beban Lyra berkurang.
Maka itulah yang ia lakukan sekarang. Menelpon Jisung hanya untuk sekedar menanyai apakah dia sudah pulang ke rumah, sekedar basa-basi saja sebenarnya. Intinya Lyra hanya ingin mendengar suara Jisung.
Tapi jelas bukan nada suara seperti ini yang Lyra harapkan.
"Ha-halo bun"
Suara Jisung terdengar lemah, juga gugup? Entahlah, yang pasti Lyra langsung peka pasti terjadi sesuatu pada anak laki-lakinya itu.
"Jisung, suara kamu kenapa gitu?" Tanya Lyra mencoba untuk tetap tenang, meski tangannya kini mulai terkepal untuk mengurangi rasa gugup serta perasaan tidak nyaman di dadanya.
"Ada masalah? Kamu di mana sekarang?""Jisung di---"
Kalimat Jisung terpotong oleh suara-suara asing nan berisik di seberang sana, tidak terlalu jelas apa itu yang pasti bukan suara anak sekolahan. Bisa dipastikan Jisung tidak sedang berada di sekolah apalagi di rumah sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Beloved Son ✓
Fiksi PenggemarIn another life [ Son From The Future ] "Kamu sayang banget ya sama buna?" "Iyalah! Buna itu hidup dan matinya Jisung" anak laki-laki itu menarik ingusnya, sebelum melanjutkan ucapannya. "Jadi jangan pergi, jangan pernah pergi dari hidup Jisung." St...