Anak-anak kampung begitu asyik bermain sore itu. Saking asyiknya, mereka lupa jika matahari mulai mengurangi cahaya untuk ditebarkan ke hamparan bumi. Langit yang tadinya terang, perlahan berubah menjadi lebih pekat.
"Hei, anak-anak! Ayo pulang ke rumah! Sudah mau maghrib!" seorang wanita paruh baya berteriak. Wanita itu memberi isyarat dengan tangan kanan dengan maksud menyuruh anak-anak untuk masuk ke rumah. Seakan sebuah kebiasaan, anak-anak itu tidak akan bubar sebelum ibunya menyuruh mereka untuk meninggalkan tanah lapang.
"Sebentar lagi, Bu!" seorang gadis kecil menyanggah perintah wanita yang dipanggilnya sebagai ibu.
"Eee ... kamu bandel ya. Lihat langit sudah gelap. Nanti digendol kelong wewe!"
Panca tersenyum karena merasa lucu dengan sikap anak kecil tersebut. Dia teringat akan masa lalu dimana pernah mengalami hal yang sama. Panca merasa dejavu.
Panca terbiasa untuk menunggu maghrib tiba setelah selesai melakukan banyak kegiatan hari itu. Duduk-duduk di bingkai jendela kamar sembari memperhatikan kelakuan anak-anak di Desa Pujasari. Remaja laki-laki itu sudah siap dengan pakaian rapi untuk melaksanakan sholat maghrib. Celana panjang dan baju panjang setelan pangsi* dengan lilitan kain batik di pinggang serta ikat kepala warna merah hati menutupi tubuh.
"Hi ... hi ... hi ...," suara anak-anak yang cekikikan masih terdengar dari luar ketika Raden Panca baru saja selesai bersiap-siap. Dia tengok melalui jendela, adiknya, Raden Darma masih asyik berlarian berkejar-kejaran.
Panca hanya menggelengkan kepala.
Mata anak remaja itu pun beralih ke langit senja di ufuk barat. Bukan hanya warna merah kekuningan yang tampak, titik-titik warna hitam beriringan menghias langit. Ribuan kelelawar terbang beriringan mulai mencari makanan di tengah hutan.
"Ayah, kelelawar sebanyak itu asalnya darimana ya?"
"Di sebelah Selatan sana ada gua tempat mereka bersarang. Orang-orang tua menyebutnya, Gua Kelelawar," jawab Raden Bakti sembari mengikatkan kain batik yang menutupi kepala.
"Ayah pernah ke sana?" Panca mengerutkan dahi ketika mengajukan pertanyaan.
"Belum pernah. Ayah juga hanya mendengar dari orang-orang." Sang ayah hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum tipis. "Lagipula, Ayah tidak berani ke sana. Bahaya."
"Apakah tempatnya di seberang sungai atau sebelum sungai?"
"Ayah juga tidak tahu tepatnya sebelah mana. Tapi, lebih jauh lagi ke hulu sungai." Ki Lurah Bakti mengajak anaknya untuk membayangkan sebuah tempat nun jauh di sana. Lelaki itu begitu tenang menjabarkan wilayah yang dimaksud. Bagi seorang ayah, saat ini bisa menjadi kesempatan untuk berbagi pengetahuan kepada anaknya.
"Aku takjub pada kelelawar sebanyak itu ...."
"Semua karena kehendak Alloh, Anakku."
Sejenak, mereka berdua memperhatikan langit yang berhiaskan titik-titik hitam yang berarak. Dalam jenak tersebut, mereka berdua sama-sama termenung. Keduanya memiliki jalan pikiran yang nyaris sama. Karena anak dan ayah, hati mereka tertambat satu sama lain. Bahkan, adakalanya tidak perlu bicara untuk saling berkomunikasi sebagaimana saat ini.
Namun, anak dan ayah itu tiba-tiba saja dikagetkan oleh teriakan seseorang dari luar.
"Ki Lurah, anak saya hilang!" teriak seorang lelaki. Suaranya terdengar dari arah beranda rumah.
"Bukannya tadi main dengan anak-anak yang lain?" Ki Lurah Bhakti menghampiri orang yang dimaksud. Sebagai pemimpin kampung, wajar jika ada warga yang melaporkan kejadian apa pun kepada dirinya. "Tadi, aku melihat dia berlarian di lapangan."
"Tidak ada. Coba perhatikan." Lelaki itu menunjuk ke arah tanah lapang di depan deretan rumah warga.
Raden Bakti memperhatikan pekarangan rumah sekaligus tempat bermain anak-anak. Kini, tidak lagi sosok manusia di sana. Kecuali seorang anak kecil bertubuh sedang yang berlari sendirian. Kawan-kawannya pergi ke rumah masing-masing sesaat setelah mereka membubarkan diri.
"Ya, Ayah. Pranata tidak ada ...," anak itu bicara dengan setengah berteriak. Raden Darma pun berlari ke arah rumahnya sembari menunjukan wajah cemas.
Raden Bakti hanya terdiam, memikirkan sesuatu. Matanya menatap si anak bungsu yang datang semakin dekat dengan nafas terengah setelah berlarian.
Ketika mendengar kabar tersebut, Panca pun menghampiri ketiga orang di beranda. Anak remaja itu tidak berkomentar. Hatinya hanya bertanya-tanya, ke manakah Pranata pergi?
-----------------
* Pangsi : Pakaian khas ala pesilat.

KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Misteri Gua Kelelawar
Aventura"Ki Lurah, anak saya hilang!", teriak seorang lelaki di beranda rumah. "Bukannya tadi main dengan anak-anak yang lain?" "Tidak ada. Coba perhatikan." "Ya, Ayah. Pranata tidak ada ....", Raden Darma pun berlari ke arah rumahnya sembari menunjukan waj...