23| Hari Pernikahan

306 57 10
                                    

Setelah apa yang aku dan Jaehyun lakukan semalam, kami tak bertegur sapa sama sekali seharian ini. Aku yang memilih tak acuh sementara dia entah mengingat kejadian sebelumnya atau tidak, mendadak diam.

Walau begitu, aku tetap melakukan tugasku seperti biasa—memasak dan menyiapkan baju serta air hangat ketika ia ingin mandi.

Oh iya, pagi tadi aku langsung ke apotik untuk membeli pil kontrasepsi. Aku yakin dia mengeluarkannya di dalam. Jadi sebelum janin itu tumbuh, aku harus menggagalkannya.

Padahal besok pagi kami baru akan menikah, apa Jaehyun tidak bisa menahan hasratnya lebih lama?

"Daddy dan bunda lagi berantem ya?" pertanyaan Junghwan membuat gerakan tanganku terhenti. Ku lirik anak ini sebentar, dan mulai fokus lagi mengunyah. "Makan yang benar, Jung. Jangan sambil berbicara."

"Tapi barusan bunda juga berbicara?"

"Jung sekarang udah berani membalikan pertanyaan?"

Jung menunduk. "Maaf, bun."

"Kalau udah selesai langsung ke kamar aja. Nanti bunda nyusul."

Jadi selama aku tidur dengan Jaehyun, Jung berada di kamar yang berbeda. Maka dari itu ketika adegan panas berlangsung, Jung tidak akan terbangun dari tidurnya karena kamar kami kedap suara.

"Tapi Jung mau nonton TV."

"Belajar, sayang. Katanya mau dapat rangking satu?"

"Bunda.."

"Ooh, kamu mulai gak nurut ya sama bunda?"

"Maaf, bunda." lagi-lagi dia mengucapkan kalimat yang sama. Aku menghela nafas. "Hari ini langsung tidur, ya? Jung kan capek tadi habis jalan-jalan sama daddy beli kado ulang tahun."

Ya, memang tadi siang Jaehyun dan anakku pergi ke mall untuk membeli barang yang di klaim sebagai hadiah ulang tahun tanpa ku. Jaehyun memang mengajakku sebelumnya, tapi ku tolak dengan alasan malas.

"Hari ini bunda tidur sama Jung?"

"Hm, enggak apa-apa kan?"

"Iya boleh. Jung ke kamar duluan ya bun, dad." pamit anak itu ketika makanannya sudah habis, lalu berjalan meninggalkan aku dan Jaehyun yang masih diam.

Pemuda ini juga ternyata sudah selesai makan, jadi aku segera merapihkan meja pantry dan mencuci piring bekas makan malam kami.

"Biar aku aj—"

"Gak usah. Kamu tidur aja." Balasku menyela kalimatnya.

"Chaey.."

"Ini udah menjadi tugasku."

Entah aku yang tidak fokus karena terbayang-bayang tentang kejadian kemarin atau merasa ada sesuatu yang mengganjal dalam pikiran, aku sampai tidak sadar Jae sudah berdiri di belakangku sambil memeluk pinggangku dari belakang.

"Apa aku berbuat kesalahan, sayang?"

"Enggak."

"Terus alasannya kamu mendiamkan aku kenapa?"

"Gak ada alasan. Kamu aja kali yang ngerasa begitu."

"Kemarin aku mabuk. Pasti ada kata-kata yang gak sengaja aku lontarkan dan menyakiti hatimu ya? Makanya kamu kecewa begini?"

Lebih, Jae. Kau bahkan menyetubuhiku seperti seorang jalang.

Diam-diam aku menangis. Semoga saja bahuku tak bergetar agar lelaki ini tak curiga.

"Maafin aku, Chaey. Apa yang aku omongin pas mabuk itu semuanya gak benar. Itu murni omong kosong."

Aku menggenggam piring dengan erat, menahan Isak kan yang hampir saja keluar dari bibir.

Stuck Misunderstood [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang