Seorang pria tambun berwajah tampan layaknya seorang aktor Hollywood, dengan setelan kemeja putih dihiasi dasi hitam dan celana tartan motif kotak-kotak hitam, tampak tersenyum sumringah mendekati Emma. Dengan sebotol wisky di tangannya, ia sedikit terhuyung-huyung ketika berjalan. Sesekali meneguk lagi menuman kerasnya. Tatapannya yang merayu-rayu, membuat Emma jengah untuk menengok ke arahnya.
Singkatnya, dia adalah Frank Linggard. Anak bungsu dari seorang CEO perusahaan ternama di London. Orang tuanya sangat kaya raya, sedangkan Frank sebagai penghambur uang di keluarganya. Dia selalu modis, namun banyak tingkah, dan sedikit arogan dengan mulutnya yang banyak bicara. Point terpenting, dia sangat menyukai Emma Handerson meski cintanya salalu bertepuk sebelah tangan. Meski begitu, bagi ayahnya Emma, Frank adalah kandidat terbaik untuk masa depan putrinya. Dia -Frank Linggard- bermodalkan kekayaan orang tuanya dan parasnya yang menawan memikat para wanita dan orang-orang di sekitarnya.
"Emma, mana pacarmu yang kau janji-janjikan itu?" Frank menggeliat, menggesek-gesekan dadanya di punggung Emma yang tengah asik menari-nari menikmati musik DJ di klub malamnya.
"Tunggu saja Frank!" Emma mendorong pria tambun itu -Frank-. Mendekatkan jaraknya pada sahabatnya, Eliza. Melenggak-lenggokan pantat dan pinggangnya, ia terlihat seksi seperti kebanyakan wanita-wanita di sekitarnya dengan rok mini hitam dan kaos merah jambu. Sesekali menengoki pintu masuk dengan dahi mengerut. Pria Jawa itu belum juga tiba di tempat ini, apa dia lupa?
"Apakah dia lebih kaya dariku atau lebih tampan?" Frank terus mendekatkan diri, menggoyongkan pinggangnya pelan mengikuti irama musik. Tatapannya terkadang tidak fokus ke sana sini.
"Yang pasti dia lebih baik darimu!" ujar Emma, berteriak keras di samping telinga Frank.
Tatapan Frank beralih pada Eliza yang tengah berjoget-joget ria, tersenyum-senyum simpul memejamkan matanya. Ia menyentil bahu Eliza. "Benar itu Eliza?"
"A--?" Eliza membalas tatapan Frank dengan kebingungan, tidak tau maksud pertanyaan Frank. Ia kemudian melanjutkan tariannya.
"Apakah ada calon pendamping Emma yang lebih pantas dariku?" Frank menyentuh pundak Eliza, membuat wanita di hadapannya terpaku, lalu menatapnya.
"Tidak Frank! Kau yang terbaik! Hari ini kita nikmati saja musik ini!" Eliza lantas menari lagi, mengabaikan hembusan napas Frank yang menusuk berbau alkohol.
"Yaa.. aku yang terbaik." Frank melenggok pelan ke arah Emma, menatap sayu wajahnya. Tangannya perlahan menyentuh pantat Emma yang tengah asik berbelak belok. "Kau dengar tadi? Kata Eliza akulah yang terbaik untukmu Emma," ujarnya lirih. Napanya memburu di hadapan telinga Emma.
Dua pria dengan tatapan keraguan hendak memasuki ruangan yang dipenuhi dengan sisi gelap manusia itu. Jowan dan Jae-yong, mereka memindai pintu masuk itu, mendengarkan gaungan musik DJ di kepalanya, pening! Terutama Jowan, ia benar-benar tak pernah sekalipun menghadiri pesta klub malam dengen segala tetek-bengek yang ada di dalamnya, tak juga menyukai musik DJ. Apalagi memandangi wanita-wanita berloncat-loncat tak jelas dengan pakaian seksi, belahan dada yang terlihat, dan manusia-manusia dengan puluhan liter alkohol di sekitarnya. Sial!
"Gaja!" Jae-yong merangkul pundak Jowan, mengajaknya untuk segera mamasuki gedung itu. Namun badan Jowan masih tertahan, terpaku dan menunduk mengerjapkan mata.
"Lindungi aku hyung," gumam Jowan. Ia mencengkram ujung hoodie yang dikenakan Jae-yong, menarik kainnya agar lebih berdekatan dengannya. Karena sudah menerima bayaran dari Emma, barusan ia membeli hoodie merah jambu yang sedang marak dipakai oleh kalangan remaja dan langsung ia pakai untuk malam ini juga.
"Aighhh! Kau kira ini rumah monster? Jangan bersikap seperti itu! Sekali kau harus lihat yang seperti ini, jangan terlalu lugu!" Jae-yong mendengus, menatap Jowan dengan penuh kekesalan. "Temui Emma! Kau sudah dibayar, lakukan yang terbaik! Jangan pasang wajah culun seperti itu! Aku yang akan malu!" Ia melepaskan cengkraman Jowan, lalu berdiri berkacak pinggang di hadapannya. "Jadilah pria sejati untuk bidadarimu!" serunya.
Jowan mengangkat kepala, manatap sayup-sayup wajah Jae-yong yang terkesan seperti soarang ayah sedang memotivasi anaknya. "Jae-yong." Jowan menatap lagi pintu masuk itu dengan keraguan.
"Tegakkan badanmu, dan tersenyumlah!"
Jowan lantas menegakkan badannya, tersenyum lebar memperlihatkan ekspresinya yang tak sepenuh hati, terkesan canggung untuk dilihat. Garis senyumnya lebar kanan, matanya sayu, sedangkan lubang hidungnya tampak melebar. Justru terlihat buruk di mata Jae-yong, membuatnya malas lagi untuk menatap senyuman Jowan. Aghhhh! pria di depannya benar-benar lugu, absurd, abnormal!
"Jangan seperti itu, kumohon!" sarkas Jae-yong. "Lebih baik kau pasang wajah tenang, jangan perlihatkan kegelisahanmu."
"Okey!" Jowan menghembuskan napas, meregangkan badan-badannya. "Aku akan lakukan yang terbaik hmmm."
"Tidak ada lagi keraguan." Gumam Jae-yong. "Gaja!"
Jowan dan Jae-yong memasuki gedung klub malam itu. Jowan sembari menggesek-gesekan telapak tangannya bersandar di pinggir pintu, pening menatap ratusan orang berloncatan dengan ratusan siluet merah kuning hijau biru, musiknya yang jedar jedor membuatnya hampir berbalik arah untuk kembali saja dan tidur di rumah. Namun Emma menahannya, ia menggenggam tangan Jowan ketika Jowan hendak berbalik arah.
"Kukira kau tidak akan datang." Emma sedikit menggerutu. "Ayo kita menari bersama," ajaknya.
"Emma, aku tak bisa menari," ujar Jowan, menatap Emma dengan lesu.
Jae-yong yang berdiri di sampingnya lantas mendorong badan Jowan agar temannya itu terbujuk dengan ajakan Emma. "Kau hanya perlu meloncat-loncat," ujarnya.
Tiba-tiba Eliza datang, memperlihatkan senyumannya yang mempesona itu. Sekonyong-konyong ia menyentil pipi Jowan. "Hai Jowan!" serunya.
"Hai," balas Jowan.
Eliza lantas beralih memandang Jae-yong. Manatapnya dengan pengkhayatan. "Oppa! Oppa!" serunya histeris. Lantas memeluk Jae-yong, tiba-tiba.
Jowan jengah mendengarnya, menatapnya. Eliza, perempuan apa ini?! sok akrab sok kenal. Sedangkan Jae-yong hanya bergeming, terbingung-bingung dengan kelakuan orang yang tengah memeluknya.
Eliza melepaskan pelukannya, menatap lagi wajah Jae-yong yang terkesan charming tampan manawan seperti idol kpop yang ia agung-agungkan. Sangat berbeda dengan pria di sampingnya -Jowan- yang terkesan lugu, kusut, NERD! Eliza tak suka dengan nerd boy, mereka terlalu naif berdiam diri dan menghabiskan waktunya untuk membaca buku, membosankan. Bagaimana dengan Jae-yong? Dia bahkan belum tau namanya.
"Aku sungguh menyukai wajahmu, aku menyukai style orang korea, aku adalah seorang kpopers," cerocos Eliza.
"Ya," balas Jae-yong singkat. Menatap wanita di depannya dengan risih dan terheran-heran.
"Aku Eliza!" Ia dengan sigap mengulurkan tangannya di hadapan Jae-yong. Mengedip-ngedipkan matanya, merayu-rayu centil.
Jae-yong lantas menjabat tangannya. "Song Jae-yong." Ekspresinya masih datar. Ia tak terbiasa berhadapan dengan wanita agresif macam Eliza.
"Ah suara dan wajahmu sangat keren!" gumam Eliza. "Ayo kita menari bersama!" Ia sekonyong-konyong menarik lengan Jae-yong, membawanya ke tengah kerumunan orang-orang lalu mereka manari bersama dengan kecanggungan.
Untuk Jae-yong tentu ini sangat canggung. Sial! Padahal dia hanya berniat untuk menemani Jowan, kenapa dia harus tertimpa tangga? Bertemu dengan wanita agresif, astaga!
Jowan dan Emma hanya terdiam sesaat ketika melihat interaksi Eliza dan Jae-yong. Mereka tampak sejoli yang menarik, Eliza agresif tapi Jae-yong diam menjaga image-nya sedikit terkesan jual mahal.
"Ayo kita manari juga!" Emma menarik paksa lengan Jowan.
"Em---."
"Nikmati musik ini!"
•
•
•
•
Play List :
Derby Romero - Gelora Asmara
•
•
•
Terimakasih sudah membaca,
Jangan lupa taburi bintang agar author semangat nulisnya...
KAMU SEDANG MEMBACA
Pays to Be a Love
RomanceApa jadinya bila Pria Jawa dan Wanita Eropa saling mencintai? Emma Handerson seorang mahasiswi jurusan sastra Inggris yang susah payah melupakan mantan pacarnya. Setelah hubungannya dengen Tommy Wayne renggang, ia merasa risih didekati oleh banyak p...