Bab 13

106 10 0
                                    

Emma terduduk seperempat jam di depan masjid, menunggu Jowan selesai berdzuhur. Pandangannya tak beralih, melihati orang-orang penganut Islam yang lalu lalang di depannya dengan pakaian serba tertutup. Beberapa yang membuatnya heran adalah seorang wanita yang berpakaian hitam rapat hanya memperlihatkan setengah wajahnya. Sesekali ia juga menengok ke arah dalam masjid ketika beberapa orang termasuk Jowan tengah menunggingkan badannya bersama. Ia hanya mengernyitkan dahi, bertanya-tanya apa arti dari gerakan-gerakan itu.

"Hai." Dari arah belakang, Jowan memukul pelan pundak Emma sembari mengenakan sepatunya.

Emma menoleh, lalu tersenyum ketika manangkap bayangan Jowan di hadapannya. "Sudah selesai?"

"Sudah," jawab Jowan. "Maaf sudah menunggu lama."

Emma memghempaskan tangannya sekali. "Tidak masalah." Ia memperlihatkan gigi-giginya yang putih, tersenyum ramah.

"Ayo pulang." Jowan berdiri, tanpa diduga ia menarik tangan Emma hingga posisi mereka sejajar. Lantas tersenyum berbinar dengan pipi merona, ia memaksakan senyumnya yang kurang natural. Membuat dahi Emma kembali mengernyit, baru kali ini Jowan yang memulai pendekatan.

"Kau baru mendapat wahyu apa dari Tuhan? Sampai bereaksi tak biasa seperti ini?"

Tanpa menggubris pertanyaannya, Jowan berjalan menggandeng tangan Emma. Melewati garis gerbang masjid, lalu menyusuri trotoar jalan menuju rumah Emma yang menyisakan beberapa langkah lagi, mungkin 200 langkah atau lebih.

Hening, mereka sibuk dengan pikiran masing-masing, terkadang tersenyum-senyum tanpa sebab. Hampir 7 menit tanpa sepatah katapun. Emma sampai menggeleng berpikir sedang menggandeng sebuah patung berjalan.

Akhir-akhir ini sejak mereka baranjak dari toko buku itu, Emma terus memikirkan betapa membosankannya diajak kencan oleh Jowan. Untuk pertama kalinya ia digandeng pergi oleh seorang pria ke toko buku dan sudah, setelah itu selesai dan pulang. Membosankan, tapi cukup menarik melihat pria langka yang bersikap semacam itu.

"Jowan." Emma memecahkan keheningan. Menoleh ke arah Jowan yang masih memandang lurus ke depan dengan senyuman tipis yang entah dari mana datangnya, mungkin datang dari sekawanan burung merpati itu yang tengah membuang kotoran di atap rumah.

"Ya?"

"Kau harus berapa kali shalat dalam sehari?" Pertanyaan yang tak terduga tercuat dari mulut Emma. Ternyata itu yang sejak tadi terkulai-kulai di otak Emma barangkali dalam tebakan Jowan.

Senyum tipis Jowan seketika luntur ha?. Sejujurnya, ia tak suka membicarakan tentang agama, terlalu sensitif, bahkan kedang sebuah peperangan terjadi diawali karena orang-orang yang berselisih tentang agama. Tapi pertanyaan Emma sepele jika harus dijawab. "Lima kali sehari yang wajib,"  jawab Jowan.

"Lima?" Emma mengernyitkan dahi.

Jowan menoleh ke arah Emma sembari sedikit memicingkan matanya. "Ya, kenapa?"

"Kau sungguh selalu melakukan itu lima kali sehari?"

"Ya sejak umur 17 tahun. Terkadang lebih jika ditambah dengan shalat sunnahnya. Terkadang kurang jika bangun kesiangan atau lalai." Jowan terkekeh di akhir kalimat.

"Wahhh." Emma menganggukan kepalanya sembari mengangkat kedua alisnya. "Kau ternyata taat beragama."

Jowan hanya berdeham menanggapi pujian Emma. Memoncongkan bibir, lalu menggelengkan kepala dua kali. Rasanya masih jauh dari kata 'taat'. Selama ini ia hanya rajin bershalat, tapi tidak untuk ibadah-ibadah sunnah lain. Di Eropa ini bahkan ia pikir lebih banyak maksiatnya ketimbang ibadahnya, terutama nafsu pandangannya yang sangat sulit dijaga.

Pays to Be a LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang