Sejak pertikaian antara Jowan dan Emma menjelang konser itu, hubungan mereka mulai renggang. Mereka tidak menyapa satu sama lain, tidak ada juga yang berkeinginan untuk memulai obrolan. Seakan semua kembali ke titik dimana mereka belum saling mengenal.
Jowan pikir sikap Emma terlalu berlebihan, hanya perihal memberi tahu rahasianya kepada Frank saja ia sudah bertindak semaunya dan sekonyong-konyong mencabut ikatan kontraknya sebagai pacar bayaran. Hal yang lebih memusingkan lagi adalah bagaimana caranya Jowan mencari uang lagi untuk menyambung hidupnya di London, sedangkan sampai sekarang Ibunya belum bisa mengiriminya uang.
Jowan menopangkan kepalanya di meja perpustakaan malas-malas, lalu menggaruk tengkuknya canggung ketika mendapatkan notifikasi pesan dari Jessy, "Belum ada lowongan kerjaan di sini Jowan," tulisnya.
Ia memukul-mukul pelan permukaan meja itu, geram. Haruskah ia berkeliling kota London lagi untuk mengemis-ngemis lowongan kerja?
Andai saja ia tak sebodoh ini, yang dengan lugunya mengatakan hubungan palsunya kepada Frank, Jowan tak akan seripuh ini lagi.
"Hai?" suara berat mendeham dari sisi kanan Jowan.
Jowan menoleh, ditemukannya sesosok pria kekar yang di kepalanya mulai tumbuh rambut setinggi 0,1 inc. Tak lain adalah Nick, pria berpenampilan layaknya pegulat WWE tapi perasaannya selunak tokoh kartun berkacamata di serial Doraemon. Seperti biasa, ia mengenakan jaket jeans biru yang membalut kaos hitam, serta bandana hitam yang melingkari sisi-sisi kepalanya.
Pria itu memasang wajahnya gahar. "Ayo kita bergulat," ajaknya sembari itu menyisingkan lengan jaketnya dan memperlihatkan otot-otot kerasnya.
Ajakan itu agaknya menyentak jantung Jowan. Pria yang mungkin baru sedetik duduk di sampingnya tahu-tahu mengajaknya bergulat. Aneh.
"Daripada susah payah bergulat, mending kau belikan aku roti. Aku lapar." Jowan menyipitkan matanya, tersenyum.
"Aku akan membelikanmu Roti, tapi berikan Emma padaku."
Ucapan polos Nick membuat Jowan berdekak seketika. "Emma itu wanita cantik. Kau hanya ingin membarternya dengan seharga roti?"
Nick mengerjapkan matanya, bola matanya menjuling ke kanan kiri sembari mengajukan lagi tantangan pertama. "Kalau begitu, kita gulat saja," cerocos Nick. "Jika aku menang, kau harus menjauhi Emma."
"Itu tidak adil," Jowan merenggut, lalu bersandar lagi di atas meja seakan menganggap Nick hanyalah seekor lalat yang keberadaannya tak penting. Wajahnya diputar membelakangi Nick.
"Bersikaplah seperti pria," kata Nick.
"Bersikapalah adil," tanggap Jowan dengan nada malas. "Jika bergulat, aku sudah pasti kalah kerena lenganmu saja hampir sebesar pahaku."
"Hai.." Nick menyentil telinga Jowan sekali. "Kau tau Rey Mysterio?"
Jowan menoleh ke arah Nick sembari menajamkan alisnya. "Mysterio?" tanyanya.
"Ya."
"Ya ... dia musuhnya Spiderman." Jowan memalingkan lagi wajahnya. Ia merasa kedatangan Nick tidak terlalu penting, ia hanya lalat pengganggu seperti anggapan Emma.
"Bukan itu!" Nick mulai merajuk. Tatapannya menajam seketika. "Ray Mysterio pegulat dengan postur kecil pendek itu."
"Oh." Sayup-sayup pandangan Jowan mulai buram, ia menguap sekali lalu memejamkan mata. Rasa kantuknya mulai mengambil alih kendalinya.
"Ray Mysterio dia berbadan kecil, tapi dia sangat jago bergulat."
"Tetap saja dia terlatih." Suara Jowan semakin memelan. "Kalau kau suka dengan Emma, kejar saja. Aku tak ada hubungan lagi dengannya."
"Sungguh?"
"Jika Emma bersikeras menolakmu, itu berarti bukan jodohmu. Jangan menangis lagi."
Lambat laun Jowan mulai samar-samar mendengarkan ocehan Nick. Suaranya timbul tenggelam dan berakhir dengan ketiadaan. Ia tertidur dan berada di alam bawah sadar ketika menemukan dirinya masih remaja berusia 15 tahun bersama dengan teman kecilnya, Jazil di kampung halaman.
Alih-alih menganggapnga mimpi, ia seperti melihat masa kecilnya ketika detik-detik terakhirnya di tepi sungai bersama Jazil.
.
"Kenapa mendadak pindah ke Mesir?" Jowan menundukan kepalanya agar raut getirnya tidak terlihat.
"Kamu tau kan Ibuku orang Mesir?" Jazil merangkul pundak Jowan hangat-hangat. "Ayahku ditugaskan bekerja di sana, jadi kita pindah ke negara itu." Sementara itu tangan kirinya meremas-remas kumpulan kerikil untuk dilemparkan ke tengah sungai.
Mereka berdua sering menepi di pinggiran sungai hanya untuk melempar-lempar kerikil ke tengah sungai, atau sekedar menaruh perahu kertas ke sungai yang diasumsikan akan berlayar hingga ke hilir sungai atau laut jika difantasykan secara berlebihan.
"Padahal aku yang ingin menjelajahi dunia, kenapa kamu duluan yang ke luar negeri." Jowan masih menundukan wajahnya sembari itu mengusap air matanya sesekali.
"Suatu hari kamu pasti bisa ke luar negeri kok," Jazil terkekeh mendengar ucapan kekanak-kanakan Jowan. Ia melemparkan sekali sebutir kerikil di genggamannya jauh ke arah tengah sungai. Kemudian sekonyong-konyong ia menghadapkan wajahnya ke arah wajah Jowan yang tengah sekuat tenaga menahan tangisannya. "Jangan menangis."
"Aku kelilipan." Jowan mengelak, memerkan tatapannya yang nanar. Kemudian memaksakan diri untuk tersenyum. "Besok kalau aku tidak bisa ke luar negeri, ajak aku ya ke Mesir. Tapi kamu yang membelikan tiketnya."
Jazil mengangkat sepasang alisnya yang tebal itu. "Ya tentu." Diiringi dengan tawa lembutnya.
"Jangan lupakan aku kalau kamu mendapat teman baru di sana."
"Nggaklah." Jazil menggeragapi isi saku bajunya, lalu diambilnya sebuah sebuah parahu kertas yang sudah penyok di beberapa sisinya. "Ini parahu terakhir yang akan kulemparkan ke sungai ini." Lalu ia lemparkan perahu kertas itu juga ke arah sungai.
Jowan tak bisa menahan dera air matanya. Ia mebuang tatapannya, memalingkan wajahnya dari Jazil. "Mataku samekin pedas, mungkin sebutir kerikil masuk ke dalam air mataku."
Sementara Jazil yang sedari tadi berusaha untuk tersenyum kini mulai berderaian air mata. Bersama itu ia menyembunyikan pilunya dengan kedua talapak tangannya yang meregang di sekjur wajahnya. "Aku juga kelilipan," gumamnya.
Suasana tangis itu berlangsung selama beberapa menit, sebelum akhirnya mereka berdua pulang ke rumah masing-masing.
Jika bisa dijelaskan secara history, hubungan dekat Jowan dan Jazil bukan tanpa sebab. Kakek Romlan -Kakeknya Jowan- yang kini sudah almarhum dan Kakek Dullah-kakeknya Jazil- mereka bersahabat erat sejak kecil dan kini turun temurun sampai ke cucunya Jowan dan Jazil. Kedua orangtua mereka juga diketahui satu angkatan sewaktu SMA dan menjalin hubungan erat sebagai sahabat karib. Romlan sendiri sempat berpikir ingin menjodohkan salah satu anaknya dengan anaknya Dullah, namun sayangnya Romlan hanya dikarunia seorang putra, sementara Dullah dikaruniai dua putra. Tentu saja karena anak-anak mereka semua berjenis kelamin laki-laki, niat untuk menjodohkan anak-anaknya diurungkan dan bisa jadi jatuh kepada cucu-cucunya nanti.
Romlan diketahui punya tiga cucu dari anak tunggalnya itu, sementara Dullah memiliki 5 cucu dari dua putranya yang salah duanya adalah Jazil dan Ratna.
•
•
•
•
Play List :
Tulus - Manusia Kuat
•
•
•
•
Terimakasih sudah membaca,
Jamgan lupa taburi bintang agar author semangat nulisnya..
KAMU SEDANG MEMBACA
Pays to Be a Love
RomanceApa jadinya bila Pria Jawa dan Wanita Eropa saling mencintai? Emma Handerson seorang mahasiswi jurusan sastra Inggris yang susah payah melupakan mantan pacarnya. Setelah hubungannya dengen Tommy Wayne renggang, ia merasa risih didekati oleh banyak p...