1 bulan kemudian, waktu berjalan begitu cepat, seakan jarum jam bergerak tak sewajarnya. Hubungan Emma dan Jowan terbilang stabil tanpa hambatan. Meski selama libur semeser ini, mereka justru jarang bertemu akibat kesibukan Jowan. Mereka hanya bertemu tiga kali seminggu itupun jika Jowan tidak terlalu lelah akibat kerja seharian.
Sepertinya Ratna mulai berhenti dengan kelakuannya, ia menyibukkan diri bekerja di restaurant bersama Dirman sambil menunggu kuliah masuk. Minah -Ibu kandung Jowan- semakin sering menghubungi anaknya dan berkata-kata lebih cerewet dari biasanya setelah mengetahui anaknya ada sesuatu dengan wanita Eropa. Namun Jowan mengabaikannya, ia tak suka dikekang. Baginya selama tidak tenggelam terlalu dalam dengan gaya hidup orang-orang barat, itu bukanlah masalah.
Sementara hubungan Jae-yong dan Eliza semakin remang-remang meski tidak ada masalah berarti di antara keduanya. Selama Jae-yong berada di Korea, ia bahkan hanya satu kali dalam seminggu menyempatkan diri menelephone Eliza, itupun tidak sampai setengah jam sudah kehabisan topik pembicaraan dan berakhir dengan menghentikan obrolan. Padahal keduanya sama-sama kpopers yang apabila berinisiatif untuk memperpanjang obrolan bisa beralih ke topik industri musik terbeken di Asia itu, lalu membicarakam tentang perkembangannya atau mengobrol sesuatu yang tengah viral di dunia kpop.
Ya, sesungguhnya Eliza si cantik itu seringkali berusaha memperpanjang obrolannya, sayangnya Jae-yong seperti mengacuhkan usaha Eliza ketika ia menggiring obrolannya ke sesuatu yang meyakinkan, yang tampak akan menjadi obrolan tak terhentikan dalam jangka waktu yang lama.
Perbedaan waktu di Korea dan Inggris yang berjarak cukup jauh secara tidak langsung juga berkontribusi menjadi parasit untuk hubungan mereka.
Pada suatu hari, kejadian yang cukup aneh dialami Emma. Nick, pria aneh itu tiba-tiba datang menemui Eliza di gerbang pintu rumah dengan gaya yang berbeda. Pria kekar itu mengenakan rambut palsu untuk menutupi kepala botaknya, bahkan rambutnya itu diuraikan ke bawah membentuk sebuah poni. Pakainnya kini dibalut dengan sweater leher panjang berwarna kuning dan jas mantel hitam. Dia terlihat eksentrik dan risi untik dipandang.
Di wajahnya, pria itu menampikkan ekspresi gugup sambil menggenggam sebuah benda persegi panjang yang dibalut rapi dengan kertas kado, bibir pria itu beberapa kali bergetar seperti ingin mengucapkan sesuatu tapi tidak mampu.
"Nick," gumam Eliza. "Kau kenapa?"
"Apa kabar?" Nick melambaikan tangannya seperti anak idiot dengan tubuh kekar, senyumnya bahkan terlihat canggung untuk dilihat. Poninya bergoyang ke kanan kiri mengikuti gerakan kepalanya.
"Baik," kata Eliza sambil mengernyitkan dahi.
"Ini untukmu." Nick menyodongkan benda persegi panjang itu.
"Ohhh." Eliza mengguk-mangguk. "Sekarang kau bekerja sebagai kurir?" tanya Eliza sambil mengambil benda itu dari genggaman Nick. "Kiriman dari siapa?"
Nick menggelengkan kepala, wig itu seperti akan terlepas dari kepalanya kalau saja ia lebih menggelengkan kepalanya lebih keras lagi. "Aku bukan kurir," katanya. "Ini benar-benar dariku."
"Kenapa tiba-tiba kau memberiku sesuatu."
"E......," Nick manahan ucapannya, berpikir untuk berkilat dari perasaannya. "Belakangan ini aku sering memikirkanmu, jadi aku meberikan hadiah ini kepadamu."
"Dasat aneh," umpat Eliza. "Ini benda apa?"
"Buka saja nanti di rumahmu," kata Nick.
"Okey."
"Kalau begitu aku pergi dulu."
Eliza menganggukan kepala, sesekali menggaruk-garuk dagunya karena bingung dengan kelakuan pria yang satu ini. Sementara Nick pergi menjauh dari pintu gerbang. Ia berjalan di terotoar, dan tampak berlari di persimpangan menemui orang berkulit hitam yang tak lain adalah Victor si dalang dari kacanggungan ini.
Tiba di kamar, Eliza benar-benar membuka bingkisan kado itu. Ia mengernyitkan dahi ketika melihat isi kado itu adalah sebuah pedang menyala dari salah satu senjata fiksi terkuat di dunia Star Wars, orang-orang sering menyebutnya Lightsaber. "Maksudnya apa dia memberi benda ini? Dia mengajak perang?" batin Eliza
Hari yang canggung itu kemudian terabaikan begitu saja. Eliza tak mempedulikan tentang Lightsaber itu, tapi ia masih terbayang-bayang wajah abnormal Nick dengan poninya.
Kemudian hari demi hari berlalu begitu saja. Liburan semester telah berakhir. Song Jae-yong langsung terbang ke London, ia disambut hangat oleh Eliza yang dengan girangnya meloncat-loncat ketika menemukan pria korea itu tengah mengerek koper hitam, ia mengenakan kombinasi sweater leher panjang yang dibalut dengan jas mantel, wajahnya dihias oleh kacamata hitam dengan rambut yang dibiarkan terurai ke bawah.
Sakonyong-konyong Eliza merangkul Jae-yong dari samping dan membuat pria itu terkejut karena tidak tahu dengan kedatangannya. "Kau mengagetkanku!" pekiknya.
"Aku minta maaf, aku merindukanmu." Eliza melepas rangkulannya.
Jae-yong menatap tajam ke arah Eliza selama beberapa detik, perlahan wajah marah itu pudar menjadi datar. Ia kemudian melemparkan senyum. "Aku punya sesuatu untukmu," kata Jae-yong.
"Apa?"
Jae-yong mengeluarkan sebuah lighstick EXO dari dalam saku mantelnya, lalu menyodongkannya ke arah Eliza. "Semoga kau suka," katanya.
"Waaahhh." Eliza merasa tersanjung. "Sebenarnya aku sudah punya tiga, tapi ini yang paling spesial," katanya.
Jae-yong mengernyitkan dahi. "Spesial? Karena?"
"Karena ini pemberian darimu."
"Sudah kutebak jawabanmu." Jae-yong mulai menarik langkah maju menuju ke luar bandara, diikuti oleh langkah Eliza. "Tapi, ngomong-ngomong itu kubeli dari uang yang kau transfer."
"Tidak masalah," kata Eliza sambil mendengus ujung lighstick yang ia genggam. "Lagipula itu sudah jadi uangmu," katanya.
"Okey," ujar Nick.
"Aku mau menceritakan hal aneh kepadamu," ujar Eliza sambil terus berjalan.
"Silahkan."
"Ini benar-benar aneh." Eliza berbicara sambil menggelengkan kepala. "Kau tau Nick?"
"Pria yang menyukai Emma?"
"Ya."
"Kenapa dengannya?"
"Dua minggu lalu ia datang ke rumahku dengan rambut poni."
"Bukannya dia gundul?"
"Dia menggunakan rambut palsu."
"Mengejutkan." Jae-yong terkekeh. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana bentuk wajah Nick ketika menggunakan gaya rambut berponi.
"Dia datang dan tiba-tiba memberiku sebuah benda yang dibungkus kado," intonasi Eliza meninggi.
"Mengejutkan lagi," kata Jae-yong, tersenyum.
"Kau tau apa isinya?"
"Boneka ular?"
"Bukan!"
"Pencukur rambut?"
"Bukan!"
"Lalu apa?"
"Lightsaber! Pedangnya Darth Vader di film Star Wars!"
"Benar-benar mengejutkan," kata Jae-yong sambil tertawa lagi.
"Kau tau kira-kira apa maksudnya?"
Jae-yong berhenti, lalu menatap Eliza yang juga berhenti menatap balik. Perlahan pria Korea itu tersenyum menampikkan pesona manis di wajahnya. "Dia menyukaimu," kata Jae-yong.
"APA?"
"Dia menyukaimu," ucap Jae-yong lagi.
"Apa hubungannya?" Eliza mengernyitkan dahi dan bergestur tidak paham.
"Dari tiba-tiba dia datang ke rumahmu, gaya rambutnya yang seperti orang Korea, lalu memberimu sebuah Lightsaber." Jawaban Jae-yong sedikit meyakinkan. "Kau suka Kpop kan? Dia pasti sudah riset semua tentang dirimu." Sepasang alisnya naik dengan kompak, dan senyumnya sedikit meledek. "Pria bodoh itu mungkin berpikir bahwa Lighsaber dan Lightstick Kpop adalah benda yang sama." Pria itu tertawa lagi dengan pikirannya. "Secara tidak langsung, dia sudah memberimu Lighstick versinya, namum dalam bentuk pedang." Pria itu tidak berhenti tertawa, sementara Eliza menimpuknya geram beberapa kali sampai tawanya berhenti dan kembali menarik langkah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pays to Be a Love
RomanceApa jadinya bila Pria Jawa dan Wanita Eropa saling mencintai? Emma Handerson seorang mahasiswi jurusan sastra Inggris yang susah payah melupakan mantan pacarnya. Setelah hubungannya dengen Tommy Wayne renggang, ia merasa risih didekati oleh banyak p...