Bab 11

101 9 0
                                    

"Ini rumahku!" ujar Emma, membuat jantung Jowan hampir putus.

Mereka berhenti di depan sebuah rumah megah, seperti kastil tetapi dengan gaya modern. Bangunannya menjulang tinggi berlantai dua, atau tiga? Jowan agak susah menebak.

Pria Jawa itu tak henti-hentinya menganga di hadapan Emma, tidak bisa menutupi kekagumannya. Tatapannya memindai lagi ke arah garansi rumah Emma yang terbuka memperlihatkan dua mobil mewah dan beberapa motor klasik. Luar biasa! Sekarang mode kampungannya aktif lagi. "Rumahmu sangat menakjubkan Emma, seperti istana raja."

Emma terkekeh. "Memang sangat megah dibanding dengan rumah-rumah di sekitarnya. Tapi aku sudah terlalu bosan. Ini membosankan."

"Membosankan apa maksudmu? Lihatlah! Rumahmu sangat megah. Sangat megah." Ia mengulang-ngulang kata-katanya dengan penekanan.

"Ya membosankan. Karena aku sudah terbiasa berada di sini, rasanya hidup tanpa gairah."

"Hah!" Jowan masih terkagum-kagum, terlalu bersemangat membuat nada bicaranya hampir saja menimbulkan percikan liur dari mulutnya. Astaga! Lalu kini terheran-heran dengan ucapan Emma. Ia tak tau isi otak wanita di depannya, ia tak tau arah pikirannya. Barangkali memang isi otak orang kaya susah ditebak. "Untuk apa kau hidup bergairah? Kau sudah menikmati keindahan duniawi. Semua orang bahkan ingin sepertimu Emma."

"Ya," ucap Emma. "Mereka hanya menilai hidupku dari luar saja."

Jowan mangguk-mangguk. Kini dia mengerti kenapa Emma tak perlu repot-repot bangun subuh lalu memasak, menyiapkan baju untuk calon anak-anaknya, membersihkan lantai, blablablabla. Dia tak perlu itu, dengan uang semuanya BERES!

"TUNGGU di sini, aku berganti pakaian dulu." Emma memegang kedua bahu Jowan di depan pintu gerbang rumahnya, seakan-akan memaku badannya agar pacar palsunya itu tidak pergi ke mana-mana. "Maafkan aku, aku tidak bisa membawamu ke dalam dulu. Jika ayahku tau aku baru pulang sakarang, dia akan memaki-maki. Apalagi jika batang hidungmu muncul di depan matanya, kau akan habis seperti diterkam serigala. Jadi, tunggu di sini!" carocos Emma.

Jowan menatap lesu. "Jangan lama-lama." Pengalaman sebelumnya, hal terburuk dalam menjalin sebuah hubungan dengan wanita adalah menunggu pasangannya berdandan yang bisa menghabiskan waktu berjam-jam. Memanjangkan alis, mewarnai pipi, mengecat bibirnya, memilah-milih baju, membuat buku matanya menyerupai ekor merak, dan segala sesuatu yang terlihat njelimet di mata pria. Menyebalkan sekali jika harus menunggu lama!

"Ya tunggu beberapa menit saja."

Emma melangkah hendak membuka gerbang rumahnya, namun sentuhan tangan Jowan yang melingkar di pergelangan tangannya membuat Emma kembali berbalik arah.

"Kenapa lagi?" tanya Emma.

"Tidak usah merias wajah."

"Aku har---"

"Kau sudah sangat cantik meski tanpa make up! Aku tidak mau menunggu lama-lama." Jowan memotong ucapan Emma.

Emma tersenyum berbinar, lalu mengangguk. Ia menatap Jowan yang masih diam berekspresi datar sejak mendengar kata 'tunggu', hanya bulatan pipinya yang sedikit memerah. "Apa kau sedang memujiku? Menggodaku?"

"Ya, cepat masuk!" ujar Jowan menunjuk ke arah rumah Emma. "Dan sekarang aku tidak punya waktu lama, cepat berganti baju dan aku akan menunggumu di sini."

Emma membelai pipi Jowan pelan, namun Jowan segera menyingkirkannya, ia terlalu risih dengan segala belaian manja sebab tak pernah ada yang memperlakukan hal seperti itu kecuali Emma.

"Ahh kau sangat manis Jowan," gumam wanita itu. Lekukan senyumnya bertambah lebar, membuat kepala Jowan susah untuk digerakan. Ia berusaha memalingkan wajahnya, namun Emma telah menguasai otaknya mempengaruhi pandangannya yang tak mau melepas sedikitpun dari gerak-gerik wanita yang ada di hadapannya.

"Tunggu di sini. Okey!" Emma berlalu meninggalkan posisi berdirinya dan suara-suara ketukan langkah dari sepatunya. Ia membuka gerbang dan berjalan menuju pintu kaca rumahnya yang bahkan sangat estetik, dengan lukisan tumbuh-tumbuhan di permukaannya.

Sementara yang dilakukan pria Jawa itu adalah berdiri melipat tangannya di dada sembari megetuk-ngetukan ujung kaki kanannya, memandangi rumah-rumah di sekelilingnya. Rumah Emma benar-benar yang paling megah di antara yang lain, pantas saja ia dipasang-pasangkan dengan anak CEO itu, Frank Linggard.

Usai ketukan-ketukan langkah Emma memudar, celetuk-celetuk suara  sebuah mobil ferarri silver melintas di hadapan Jowan. Frank Linggard, panjang umur orang ini, baru saja terlintas di pikiran Jowan, ia kemudian muncul tengah mengemudi mobil Ferarri itu. Sedangkan di jok sebelahnya tampak seorang pria sepantarannya yang tak kalah menawan tangah duduk menikmati sebungkus kacang polong. Siapa dia? Wajahnya mirip dengan Emma.

Mobil itu lalu melewai gerbang, dan terparkir di antara mobil-mobil yang ada di garansi itu.

Dua orang itu keluar dari mobil. Mereka tampak akrab. Pandangan Frank lalu bertaut pada Jowan yang masih diam di tempat.

Pria yang tidak dikenal Jowan lalu menghampirinya dengah tatapan merendahkan. "Hai," sahut pria maskulin itu, dengan brewok tipis di sekujur rahangnya dan hidung mancung, wajahnya seperti tak asing bagi yang sering melihat boyband-boyband Inggris tampil di panggung atau televisi.

"Hai," balas Jowan menengok ke arahnya. Ia hanya sekali menatap pria yang ada di depannya, kemudian menunduk lagi.

"Menunggu siapa?"

"E--."

"Ayahku sedang tidak ada di rumah. Kalau kau butuh uang untuk pembangunan gereja atau semacamnya, aku tidak bisa melayani. Kau bisa kembali lagi ketika ayahku di rumah," pria itu tidak memberi kesempatan Jowan untuk berbicara. "Atau kau seorang pialang saham?"

"Ah.." Jowan tersenyum masam. Ia sedikit meresa direndahkan. Dia pikir aku pencari sumbangan?! "Bukan-bukan."

Pria itu mengangkat satu alisnya. "Lantas?"

Jowan berdeham sekali, lalu menghela napas. "Aku menunggu Emma."

Pria itu kini mengerutkan dahinya. "Emma Handerson? Adikku?"

"Ya ya. Dia adikmu?"

Pria itu menyipitkan matanya, ia penuh dengan pertanyaan. "Kau siapanya adikku?"

Jowan berdeham lagi, lalu menhela napas, lagi dan lagi, batinnya seperti tengah dibantai oleh tatapan tajam pria di depannya. Entah kenapa ia merasa sediki nervous. "Aku pa-----."

"JIMIE!" Ucapan Jowan terpotong dengan teriakan Emma yang sekonyong-konyong menepuk keras pundak kakaknya, Jimie Handerson.

Selintas pandangan Jowan bertaut pada penampilan baru Emma. Seperti biasa, T-shirt pink dibalut kimono putih, skinny jeans berwarna putih, sepatu sneakers, dan rambutnya kini dibiarkan terurai ke bawah, like The Angel!

"What teh fuck!" Jimie mengerang. Menoleh ke arah Emma dengan tatapan sewot. "Aku tak suka kau seperti itu."

"Maafkan aku Jimie." Emma mengelus-elus rambut Jimie, namun Jimie segera menyingkirkan tangan itu. "Aku pergi dulu!" Sekonyong-konyong ia menggandeng lengan Jowan, lalu melangkah menjauhi Jimie.

Jimie kembali betanya-tanya. "Kau mau ke mana?"

"BERKENCAN!" teriak Emma sembari berjalan.

"Ngomong-ngomong, siapa pria di sampingmu itu?"

"PACARKU!" Emma dan Jowan semakin jauh.

"APA!? Frank ada di sini untuk menemuimu Emma!"

"PEDULI SETAN DENGANNYA, USIR SAJA DIA DARI RUMAH!" Emma berteriak sembari tertawa-tawa. Jaraknya semakin jauh dengan Jimie. Sementara bagi Jowan, ia bergidik ngeri melihat ceketukan kakak adik ini dan melihat paras menawan mereka tak ada bandingnya. Ia dirangkul Emma, sambil sedikit menggigil.

"EMMAAAAA! AKU AKAN MENGADU PADA AYAH!"

"ADUKAN SAJA HAHAHA!"

"EMMAAA!"






Play List :
The Strumbellas - I'll Wait



Terimakasih sudah membaca,
Jangan lupa taburi bintang agar author semangat nulisnya...




Pays to Be a LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang