"Kau menunggu apa?" tahu-tahu Nick sudah berada di belakang Eliza.
Eliza terperanjat sedikit, ia mendengus sembari membalik arah. Nick benar-benar seperti hantu yang tak di undang ke pesta ini, tiba-tiba datang, tiba-tiba makan, dan kini tiba-tiba bersuara di belakang Eliza. Andai saja ia mau memanjangkan rambutnya, detik ini saja Eliza tak akan menyepadankannya dengan hantu. Dia -Nick- benar-benar lebih buruk dengan kepala pelontos dibanding saat SMA ketika rambut hitamnya tumbuh lebat.
"Kau menunggu apa?" tanya Nick lagi. "Kau sungguh seperti penjaga pintu yang tak berguna," ujarnya.
Eliza menatapnya dengan sinis. "Apa urusanmu botak?"
"Sesi dansa akan segera dimulai." Nick sesekali menengok ke arah belakangnya, melihati orang-orang yang saling berhadap-hadapan tertata sedemikian rupa. Mereka menunggu aba-aba ketika sesi dansa berpasangan akan dimulai.
"Memangnya kenapa?" Eliza agak merasa ganjil dengan sikap Nick. Dia memang aneh, seperti yang dikatakan Emma.
"Daripada kau jadi penunggu pintu seperti ini, lebih baik kita dansa berpasangan bersama mereka." Nick menunjuk ke arah para sejoli-sejoli yang sudah tidak sabar ingin memain-mainkan sendi-sendi mereka.
Benarkan, dia aneh. Betul-betul aneh seperti hantu dan kini tiba-tiba ia mengajak aku menjadi partner dansanya. Eliza membalik badannya lagi ke arah luar pintu. Tawaran Nick sungguh tak terduga, dan dia aneh. "Aku tidak bisa," kata Eliza. "Aku sedang menunggu pasangan dansaku di sini."
"Kenapa menunggu?" tanya Nick, seperti tak tau diri. Padahal Eliza jelas-jelas sudah menolaknya dengan perkataannya tadi. Nick beraksi lagi, "Kau tak perlu menunggu lagi, barangkali aku sudah ditakdirkan menjadi pasangan dansamu di sini." Nick menghala napas mengingat Emma sedang sibuk dengan pria lain, sabab pada dasarnya memang Emma tak pernah melakukan kesibukan bersama Nick kecuali jika Nick tengah berlari kesetanan mengejar-ngejar Emma. "Lagi pula Emma sedang berdansa dengan pria berkulit cokelat itu."
Eliza menahan emosinya. Ia menggenggam tangannya. Rasanya ingin sekali menampol wajah Nick jika saja dia tak setinggi galah dan sekekar samson. "Bukan aku Nick," kata Eliza, masih sanggup mengontrol nada bicaranya tanpa memperlihatkan emosinya. Sudah gondok menunggu lama kedatangan Jae-yong, eh kini palah datang pria tak diundang yang sekonyong-konyong mengajaknya berdansa. "Cari saja pasangan lain," ujarnya lagi sembari membalikan badan.
Dan lagi, Nick seperti hantu. Tahu-tahu ia sudah menghilang entah kemana, keberadaannya bukan lagi di belakang Eliza. Namun sedetik kemudian ia menangkap penampakannya, ternyata Nick sedang terbirit-birit ke kamar mandi. Mungkin dia terlalu banyak makan di sini.
Eliza merasa lega. Tatapannya kembali tertaut ke arah luar pintu yang kali ini cukup mengejutkan untuknya. Jae-yong telah tiba di parkiran motor dan tengah memandang ke arahnya. Lebih mengejutkan lagi karena Jae-yong berangkat dengan sepeda yang ia belikan.
Eliza berjingkat-jingkit riang ketika melihat Jae-yong melambaikan tangan ke arahnya. Pria Korea itu menganakan kemaja putih dibalut jas abu-abu, salah satu jas yang tempo hari dibelikan Eliza (hampir semua atribut yang dikenakan Jae-yong adalah pembalian Eliza, kecuali calana dalamnya mungkin). Dia berdiri di dapan parkiran motor memegangi setang sepeda, sekali itu menyunggingkan senyum yang tampak lebih alami dari biasanya. Semantara itu Eliza baru tiba di hadapannya dan menemukan bercak noda berwarna cokelat di celana dan ujung jas yang dikenakan Jae-yong.
"Kau kenapa?" tanya Eliza.
"Aku hampir mati tadi," ujar Jae-yong, masih mempertahankan senyumnya. "Sebuah truk hampir menyerempetku, tapi aku gesit menghindar hingga terperosok ke tepi jalan."
Eliza berekspresi merengut. Ada-ada saja! Truk sialan! "Jadi sekarang bagaimana? Kau perlu mengganti pakaianmu kan? Apa ada yang luka?"
Jae-yong menggeleng-geleng.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pays to Be a Love
RomanceApa jadinya bila Pria Jawa dan Wanita Eropa saling mencintai? Emma Handerson seorang mahasiswi jurusan sastra Inggris yang susah payah melupakan mantan pacarnya. Setelah hubungannya dengen Tommy Wayne renggang, ia merasa risih didekati oleh banyak p...