Bab 58

57 4 0
                                    

Acara pernikahan Victor dan Margot dilakukan di ruang terbuka -adalah sebuah lapangan hijau di pinggiran danau dengan beberapa pohon di sekitarnya yang menjadi latar tempat acara itu-. Kecuali para tamu pria yang memakai setelan jas hitam di acara itu, semuanya bernuansa putih termasuk para tamu wanita.

Para tamu terduduk rapi mendengarkan ucapan janji pernikahan kedua mempelai, termasuk Jowan yang duduk bersanding di samping Emma dan beberapa kali melirik ke arah Jae-yong di sebalah kirinya. Ia merasa canggung karena adat pernikahan di Eropa tidak seribet acara pernikahan adat Jawa yang rasanya terlalu sakral dan pakem mengikuti adat istiadat nenek moyangnya. Mendapati acara pernikahan Eropa rasanya tenang, meski canggung tapi rasa sukacita itu terasa hingga menular ke lingkar senyumnya.

"Kapan kita harus memberi amplop ke mempelai?" bisik Jowan kepada Jae-yong.

Jae-yong mengedikan bahunya. "Tidak tahu. Aku tak membawa amplop apapun," ujarnya.

"Bukankah kita harus memberikan sesuatu? Kan kita di sini dikasih makan gratis."

"Tidak ada yang mawajibkan. Hanya sukarela."

Mendengar ucapan itu, Jowan hanya terbengang sesaat. Sebab diadatnya, membawa kado atau amplop hajatan adalah hal yang wajib. Sekali lagi ia berpikir, pernikahan sesimple ini rasanya akan lebih mudah dinikmati daripada jika ia lihat acara pernikahan di Jawa yang secara penampakan mewah dari luar namun jika kita masuk lebih dalam, berjibah para ibu-ibu berkeringat untuk melayani tamu undangan yang tak kalah berjibahnya, malahan berkali-kali lipat lebih banyak sebab orang dari kampung sebelah bahkan dari  kota sebelah bisa diundang sekalipun mempelainya tak mengenali tamu undangan itu.

Pada gilirannya, setelah pengucapan Wedding Vow oleh sepasang mempelai -Victor dan Margot-, Nick lantas tanpa diduga ditunjuk oleh Victor untuk sebagai Maid of Honor yang akan berpidato mengucapkan sepatah dua patah kata tentang Victor dan Margot. Dengan gelagapan ia berkata-kata dan beberapa kali mengusap keringatnya yang mencuat di pipinya karena gugup, serta wig poninya yang beberapa kali diposisikan dengan benar. "Ha-hallo semuanya. Selamat sore." Ia menarik napas pelan. "Astaga aku tak pernah seberat ini ketika menarik napas. Tapi yang paling menjengkelkan kenapa mempelai pria ini tak berunding dulu sebelumnya ketika aku akan ditunjuk sebagai Best Man, aku benar-benar gugup sekarang dan bingung ingin berbicara apa." ujarnya sambil menunjuk Victor yang tengah cengengesan dibarengi dengan tawa para tamu undangan. "Tapi.... ya.. aku sangat bahagia karena temanku, Victor mendapatkan pasangan yang tepat, Margot. Tapi ngomong-ngomong, perkenalkan aku Nick. Aku sudah berteman dengan Victor sejak SMA dan kami adalah teman sabangku saat itu. Aku mengenalnya dengan baik, dia lebih bersikap sebagai pendukung dan kadang sok tahu, tapi ya dia selalu mendukungku, singguh. Dan yang paling penting aku menjadi saksi benih-benih cinta Victor kepada Margot sejak itu, sejak SMA," ucapnya.

Ia melanjutkan pidatonya. "Saat itu kelas 1 SMA, mungkin kami baru berusia 16 atau 17 tahun. Aku berbicara mengenai gadis tercantik di sekolah itu," matanya memindai jauh ke arah Emma yang mengenakan jas putih dipadu dengan jumpsuit berwarna putih. Ia tengah duduk anggun di samping Jowan.

Sementara Nick melanjutkan pidatonya lagi dan mengalihkan pandangannya ke arah Victor. "Tapi dia, Victor tidak setuju dengan pendapatku. Dia bilang ada gadis tercantik di sekolah itu versinya. Tapi aku tetap bersikukuh bahwa gadis tercantik itu...." Nick memindai ke arah Emma, sedetik kemudian beralih ke arah Eliza yang duduk di samping Jae-yong. Wanita berambut pirang dengan potongan sebahu itu tak kalah anggunnya. Ia tampil minimalis namun classy dengan jumpsuit putih berlapis brokat. "Berinisial E," lanjut Nick.

"Kami malakukan perdebatan tak penting di situ, tentang gadis tercantik di sekolah itu. Lalu kutanya siapa gadis tercantik versinya? Dia menjawab 'Margot'." Para tamu tersenyum mendengarnya sebelum Nick melanjutkan lagi pidatonya. "Aku mengerutkan dahi mendengarnya. 'Margot? Gadis dengan bandana besar dan seribu bintang berwarna pink di kepalanya?' kutanya dan ia mengangguk. Aku hanya heran kenapa dia menyukai gadis dengan seribu perhiasan plastik di kepalanya."

"Maafkan aku sebelumnya. Tapi Margot benar-benar belum secantik sekarang, dan ya tentu saja bagiku gadis berinisial E itu lebih cantik dari siapapun di sekolah itu meski surat-surat cintaku tak pernah dibalas olehnya. Tapi ngomong-ngomong, aku jadi berpikir bahwa cantik atau tampan itu memang relatif, setiap orang punya selera. Dan hal yang memang benar bagiku, bahwa cinta itu buta. Tak peduli siapa dirimu dan apapun wujudmu, bagi orang yang mencintaimu dengan setulus hati, dirimu adalah yang terbaik dari yang terbaik. Sekarang aku mengucapkan ini, dan aku menjadi berpikir bahwa pasangan hidup penting karena secara tidak langsung mereka telah memberi tahu kepada kita bahwa kita adalah orang yang berharga."

"Aku sungguh merasakan ini ketika melihat Victor. Kau tahu? Pria Nigeria ini jauh-jauh dari benua Afrika untuk menjemput cintanya. Cinta itu buta. Sejauh apapun cintamu berada, sesulit apapun cintamu dibalas, kau akan terus melangkah dan berjuang untuk cinta itu. Karena cinta itu buta."

"Dan kau lihat sekarang. Cinta buta milik Victor telah membuahkan hasil." Ia menghela napas, sambil memindai ke arah Eliza. "Mari kita beri tepuk tangan kepada Victor dan Margot! berikan doa harapan terbaik kepada mereka!"

Para tamu undangan bertepuk tangan, dan Nick mengucapkan beberapa kalimat terakhirnya. "Aku adalah Nick. Meski banyak cintaku yang tak terbalas, dan aku hampir saja putus asa. Tapi sekarang, aku termotivasi untuk mengejar cintaku seperti Victor."

Pidato itu berlangsung selama 10 menit dan berhasil menggetarkan hati dan mengundang tawa para tamu undangan tak terkecuali Emma yang merasa tersindir beberapa kali.

Pada gilirannya, musik-musik jazz itu bersenandung mengiramakan acara pernikahan itu. Para tamu undangan sibuk mengobrol sambil menikmati hidangan pernikahan.

Nick mulai beraksi lagi, hari itu ia menjelma menjadi tokoh utama dalam acara pernikahan sahabatnya. Lagu SNSD - Gee itu siap untuk diputar tatkala para pemusik jazz itu berhenti memainkan alat musiknya. Dalam hitungan detik, Nick mengambil alih panggung itu dan semua mata tertuju pada pria berponi itu, lalu seseorang memutar lagu kpop itu. Nick mulai menari dengan gaya kakunya sambil mengganggam microfon seakan-akan ia tengah menari dan bernyanyi dalam satu waktu. Tentu saja 'seakan-akan' itu merujuk pada aksi lipsyingnya di atas panggung.

Beberapa tamu merasa terhibur dengan aksi kocak pria itu, namun tak sedikit juga yang jengah dan merasa terganggu dengan tabiatnya yang seperti orang gila dan tak tahu malu. Namun seperti yang ia katakan, bahwa 'cinta itu buta', meski banyak orang dengan tatapan sinis dan skeptis terhadapnya, namun matanya hanya tertuju pada Eliza yang kini tampak mulai tersenyum-senyum girang melihat aksinya.

Wanita itu tanpa terduga menarik lengan Jae-yong, melewati para tamu undangan menuju tangga panggung. Ia membawa pria Korea itu ke atas panggung, dan keduanya berdiri di belakang Nick. Mulanya Eliza mulai memperagakan tarian 'SNSD - Gee' itu mengikuti gerakan Nick, namun Jae-yong yang seorang penggemar Taeyeon SNSD tentu saja sudah hafal koreagrafi lagu itu. Tanpa berpikir lama, ia pun mulai menari bersama dua manusia Eropa itu. Aksi itu menghasilkan tiga orang yang tengah menari kompak di atas panggung dengan lagu kpopnya, dan berhasil membuat suasana ramai dengan beberapa tepukan tangan dari tamu undangan -bagi mereka yang menikmati pertunjukan itu-, sisanya masih terlihat jengah.

Seusai itu, musik berhenti. Mereka bertiga tersenyum di hadapan para tamu undangan, seperti bangga telah melakukan aksinya di hadapan orang-orang. Lalu senyuman bangga itu diteruskan dengan obrolan ringan.

"A-aku e.. aku tak menduga kalian akan naik ke atas panggung," ucap Nick, tak meninggalkan kesan gugup di hadapan orang yang ia sukai. Ia tersenyum -Alih-alih senyuman itu hanya untuk menutupi rasa gugupnya-.

"Apakah kau suka kpop Nick?" tanya Eliza, tangan kanannya masih merangkul pinggang Jae-yong. Sementara pria korea itu masih memindai ke arah para tamu undangan yang tatapannya tengah menyorot ke arahnya.

"Ya ya.. aku suka."

"Luar biasa. Baru kali ini aku mengenal pria Eropa yang suka kpop."

"Ya ya.. aku suka." Pujian-pujian dari Eliza semakin menambah beban gugupnya hingga ia sudah bingung untuk memilih kata-katanya.

Di lain sisi, Eliza teringat kejadian aneh yang mengganjal ketika Nick pernah memberikan pedang Star-Wars di depan pintu gerbang rumahnya. Ia mengernyitkan dahi dan skeptis menatap ke arah pria berponi itu. "Kau menyukai kpop bukan karena kau menyukaiku kan?"

"Hah?" tanggap Nick.

Pays to Be a LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang