Jowan sempat membiarkan Jae-yong pergi dulu ke kantin ketika pria Korea itu mengajaknya makan. Dari dalam ranselnya, sebuah box makan berisi opor ayam buatan Jazil dan sisa rendang ia ambil untuk dibawa ke kantin dan akan ia bagikan kepada teman-temannya.
Langkahnya meyakinkan, penuh dengan senyuman di wajahnya seakan-akan permasalahnnya dengan Emma sudah usai atau bahkan tidak pernah terjadi.
Pria itu berjalan ke arah meja yang sudah disinggahi oleh Jae-yong, Eliza, Emma, dan entah kenapa ada Frank di situ. Tentu saja mereka sedang sibuk menyantap menu makanannya.
Saat Jowan bersinggah di kursi sebelah Emma, ia memindai ke arah Frank dengan raut curiga. "Kau sedang apa di sini Frank?" tanyanya.
"Aku mewakili ayahku, ingin memberi donasi ke kampus ini," ujarnya.
"So good!" Jowan mengajukan jari jempolnya ke arah Frank. .
"Kau membawa apa?" Jae-yong mendelik ke arah Jowan, kemudian tatapannya jatuh ke arah kotak makan di genggaman Jowan.
"Okey!" seru Jowan. Ia sekali tersenyum ke arah Emma yang masih memasang wajah merengut, kemudian mengabaikannya dan tersenyum kepada teman-temannya. "Aku membawa makanan spesial untuk kalian." Ia membuka tutup kotak makan itu dengan seringai di wajahnya, kemudian menunjukan masakan rendang dan opor ayam buatan Jazil. "Rendang dan opor ayam, masakan Indonesia."
"Wow." Frank berdecak, hidungnya mendengus-dengus. "Sepertinya enak."
"Aku tak sabar ingin mencobanya," ujar Eliza.
"Makanlah." Jowan menyodorkan makanan itu ke tengah meja dan membiarkan mereka mencicipi makanan itu.
Pertama-tama, Frank mengambilnya paling cepat. Satu potong ayam dan satu potong daging rendang dicicipi satu persatu bersama dengan sesuap nasi, sambil kepalanya diangguk-anggukan ketika mengunyah seperti sudah tau bahwa Jowan sedang menunggu penilainnya tentang makanan ini. Sementara Eliza dan Jowan masih menunggu reaksi Frank sebelum mereka mencobanya, dan Emma masih merengut tanpa berkata apapun.
"Ini benar-benar enak," ujar Frank. "Tapi yang daging sapi ini rasanya lebih kaya, aku sangat suka ini." Sedetik setelah berkomentar, ia menyunyah lagi rendang itu dengan sesuap nasi.
"Itu memang makanan terenak di dunia."
Mendengar reaksi dan komentar Frank, Jae-yong dan Eliza secara bergantian mengambil masing-masing daging rendang dan opor ayam di kotak makan itu. Emma harus dilayani Jowan agar ia mau memakannya, pria jawa itu mengambilkan daging rendang dan opor ayam itu ke tempat makan Emma. Sementara sejak tadi wanita itu terus saja mempertahankan ekspresi murungnya.
Dalam satu suapan, Eliza sudah menggoyang-goyangkan kepalanya seperti dirinya tengah mendengarkan lagu kpop di sebuah konser. Matanya membelalak dan wajahnya tersenyum lebar. "Aku benar-benar menyukai rendang. Ini sangat enak!" serunya.
"Kau yang membuatnya sendiri? Dan tentu saja bukan." Jae-yong tersenyum menghina.
"Ini buatan Jazil," jawab Jowan.
"Teman hijabmu itu?"
"Ya."
Seketika Emma membanting garpu dan sendoknya ke atas meja, ekpresinya tak berubah, masih murung membisu seribu kata, malah jika dilihat lagi dia tengah bermuram durja dengan alasan yang tak jelas. Perbuatannya itu membuat Jowan, Jae-yong, dan Eliza menatap heran ke arahnya, hanya Frank yang bersikap santai dan melanjutkan aktivitas makannya.
"Kau kenapa?" tanya Jowan.
Namun belum ditanggapi oleh Emma, Frank buru-buru mencerocos. "Ini benar-benar enak," katanya. "Kurasa kau beruntung punya pacar cantik dan pintar memasak. Apalagi kalian sama-sama orang Indonesia. Kalian terlihat sangat cocok ketika kulihat di British Museum tempo hari."
Semua orang di meja itu bergeming hening selain Frank yang kemudian masih terus mengunyah makanannya. Suasana berubah menjadi tegang, sementara Emma menghela napas beberapa kali, matanya mulai berkaca-kaca.
"Jazil bukan pacarku." Sorot mata Jowan tajam mengintimidasi ke arah Frank. Ia harusnya dari tadi menghindari kehadirannya jika tahu Frank akan berulah nakal seperti biasa.
"Bukannya kau dan Emma menjalin hubungan dengan kepalsuan? kau hanya berpura-pura menjadi pacar Emma karena kau membutuhkan uang," cerocos Frank.
Lagi, Emma membanting sendok dan garpu itu ke lantai. Ia bangkit dari tempat duduknya, menatap dengan murka orang-orang di sekitarnya, lalu berlari pergi. Eliza dan Jae-yong tentu saja hanya termangu melihat aksi tak terduga Emma, sementara Jowan segera bangkit dari tempat duduknya untuk menarik langkah mengejar Emma.
Di samping meja dekat pintu kantin, Jowan berhasil meraih pergelangan tangan Emma. Wanita itu berbalik ke arah Jowan dengan tatapan nanar. Tangan di genggaman Jowan itu dihentak-hentakan, berusaha untuk melepas diri, namun ia tak kuasa menandingi tenaga Jowan.
Sementara di belakang Emma, seorang pria mengenakan wik poni berwarna kuning tengah bersender di gawang pintu kantin, sorot matanya tertuju ke arah Jae-yong dan Eliza. Awalnya wajah itu tampak familiar namun sulit untuk dikenal, tapi setelah beberapa detik menatapnya, Jowan baru menyadari bahwa pria berambut poni kuning itu adalah Nick Nilson dengan gaya barunya. Pria itu semakin hari semakin aneh menjadi-jadi, namun yang lebih aneh lagi, Nick tak mengedarkan matanya ke arah Emma sedikitpun, padahal jarak mereka hanya berkisar 2 meter dari posisi berdiri.
"Lepaskan aku!" pekik Emma. Baru setelah itu, Nick memindai ke arah Emma namun dengan ekspresi datar.
Melihat ada Nick di dekatnya, Jowan buru-buru menyeret Emma ke luar kantin dan menggiringnya ke tepi halaman kampus. Pria itu masih belum mengerti dengan sikap Emma yang tampak murung, bahkan sekarang berkaca-kaca.
"Aku tidak mengerti," kata Jowan. "Ada apa denganmu?"
"Kau benar-benar pria yang tidak memahami keadaan, tidak peka sama sekali!" Emma mendongak ke arah Jowan, kali ini hidungnya bahkan memerah dibarengi dengan suara tarikan napas ke dalam. "Sebenarnya apa hubunganmu dengan wanita itu?"
"Jazil hanya temanku."
"Kau menyukainya?"
Jowan menggelangkan kepala tiga kali. "Aku menyukainya sebagai teman. Aku dan dia sudah 8 tahun tidak bertemu, kami merindukan satu sama lain."
"Aku tak peduli kau merindukannya. Aku tak suka kau dekat-dekat dengannya!" pekik Emma.
"Tapi aku sudah lama tak bertemu dengannya. Bagaimana bisa aku menjauhinya."
Emma mengusap air matanya. Bibir bawahnya dikulum-kulum, tatapannya mengintimdasi memunculkan ekspresi arogan dari dirinya. Ia mengalihkan tangannya ke atas, lalu melipatnya di dada. "Jika kau pacarku, kau harus melakukan keinginanku. Aku tak menyukainya," ujarnya.
Jowan menghembuskan napas beberapa kali, ripuh kelimpungan bagaimana cara menanggapinya. Dadanya terasa sesak, namun tetap saja ia akan menemui Jazil sesering mungkin selama temanny itu masih di London, tak peduli berapapun sikap diktator Emma meluap-luap. Sebab baginya, pertemuan adalah hal yang mahal dibanding harus memprioritaskan ego Emma.
Wanita berambut pirang itu kemudian pergi menjauhi Jowan dengan masih memasang wajah marah. Sementara Jowan masih bergeming di tepi halaman kampus, ripuh dan ripuh sampai rumput-rumput hijau di halaman kampus itu terlihat buram.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pays to Be a Love
RomanceApa jadinya bila Pria Jawa dan Wanita Eropa saling mencintai? Emma Handerson seorang mahasiswi jurusan sastra Inggris yang susah payah melupakan mantan pacarnya. Setelah hubungannya dengen Tommy Wayne renggang, ia merasa risih didekati oleh banyak p...