Bab 59

68 6 0
                                    

Seusai menghadiri pernikahan itu, Jowan dan Emma beralih duduk di banch tepi danau, tak jauh dari posisi latar tempat pernikahan Victor dan Margot.

Sejak posisinya tepat terduduk di banch, Emma susah payah menahan air matanya. Sementara Jowan bangkit dari duduknya, lalu memunguti beberapa kerikil di sekitarnya. Hari ini mungkin adalah detik-detik terakhirnya melihat pria Jawa itu berdiri di dekatnya. Seorang pria yang dibayar secara cuma-cumu untuk membantu dirinya melupakan mantan pacarnya -Tommy Wayne-, tapi tanpa diduga ia benar-benar menjadi pengganti di hatinya. Kisah tentang pria Jawa yang dijadikan sebagai pacar sewaannya barangkali akan berakhir di hari ini. Setalah Jowan lepas landas, kisah itu telah usai dan hanya menyisakan memori di keduanya. Lantas mau membayar siapa lagi agar Emma bisa mencari pacar sewaan untuk melupakan Jowan?

"Ada permintaan terakhir lagi sebelum aku benar-benar pergi dari London?" Jowan melemparkan sebuah kerikil ke danau, seperti yang sering ia lakukan sewaktu kecil juga ketika ia akan ditinggal oleh Jazil dulu.

"Hati-hati di jalan," kata Emma. Satu air matanya mencuat, menyentuh tepian tulang hidungnya.

"Itu saja?"

"Ya," kata Emma. "Lagi pula jika aku meminta dirimu untuk tetap di sini, itupun tidak mungkin."

Jowan melempar lagi sabutir batu kecil ke arah danau. Air matanya mencuat, namun bergegas ia menyekanya. "Bolehkah aku meminta sesuatu?" tanyanya.

"Apa?" tanya Emma, nadanya terdengar merintih sedih.

"Lupakan aku, dan hiduplah bahagia."

"Tidak semudah ketika kau berkata-kata. Aku adalah tipe orang yang sangat susah untuk melupakan seseorang."

Jowan berbalik arah, memindai ke arah Emma yang duduk merapatkan dua lututnya sambil menunduk menyembunyikan wajah sendunya. "Maafkan aku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Barangkali memang aku dan kau tidak ditakdirkan bersama," kata Jowan.

"Tidak apa-apa," ucap Emma. Ia mendongak ke arah Jowan dan mencoba untuk lebih tegar sambil terus menyeka air matanya. "Sekarang kau boleh pergi. Kau harus menyiapkan barang-barang untuk dibawa ke rumahmu di sana. Waktu penerbanganmu tidak lama lagi."

"Kau tak ingin mengantarku, setidaknya sampai bandara saja?" Wajah Jowan memerah.

Emma menggelengkan kepala, ia sangat sedih. "Untuk apa? Kan kau yang memintaku untuk melupakanmu."

Jowan mengepalkan tangannya, merasa kecewa meski berusaha untuk memahaminya. Mungkin saja Emma tidak mau lama-lama melihatnya yang hanya menambah kepedihannya, sebab diantar atau tidaknya tetap saja pria Jawa itu akan pergi dari London. "Baiklah," ujar Jowan sambil melangkah mundur menjauhi Emma dan mengucapkan kata terakhirnya. "Maafkan aku."

Jowan berjalan cepat menjauhi danau itu, menjauhi Emma. Ia menyibak rambutnya beberapa kali sebagai pelampiasan kekecewaanya. Lebih tepatnya ia kecewa pada keadaan, pada sesuatu yang sudah terjadi. Jas hitamnya ia lepas, sebab kegusarannya itu mengundang hawa gersang di badannya dan beberapa gerakan larinya yang tanpa disadari telah membuatnya terengap-engap di pertengahan kota.

Bagi Jowan, hari ini semuanya adalah kekacauan, termasuk sekumpulan burung-burung merpati itu yang terbang menjauhinya ketika ia berlari mendekatinya. Lalu tatapan orang-orang di sekitarnya yang seperti mengandung kesinisan.

Sementara tangisan Emma pecah setalah bayangan Jowan hilang dari pandangannya. Suaranya merengek menguasai tepian danau itu, mengusik dua angsa yang tengah melakukan romantika di tengah danau. Riasannya luntur, membuat wajah Emma hampir seperti badut cantik di tepian danau, menangis cemburu melihat keromantisan dua angsa itu.

Kemudian dengan sangat kejam, langit mendramatisir suasana itu. Dengan lancangnya ia mencampuri perasaan Emma. Pada mulanya ia -langit- merubah warna menjadi keabu-abuan, lalu turunlah hujan membasahi bumi seisinya.

Wanita itu tak peduli apapun, ia masih merengek meski dua angsa itu bahkan telah menepi entah dimana sejak hujan turun. Dan Emma basah kuyup sendirian diterpa hujan bersama rengekan tangisannya yang tak berhenti menggema. Alih-alih kini ialah yang bersikap seperti anak SD yang tengah menangis kekanak-kanakan.

Sampai akhirnya terpaan hujan itu berhenti jatuh di badan Emma, dan selingkar peneduh membayanginya. Hujan itu masih turun, namun Emma tak peduli kenapa mereka tak menerpa badannya lagi, barangkali sudah bosan atau sekadar kasihan. Kesedihannya telah menutupi akal logikanya hingga ia tak mau berpikir lagi dengan sesuatu yang ganjil.

Tiba-tiba dari arah belakang, sebuah tangan pria menjalurkan tisu ke arah Emma. Lalu bergumam, "hapus air matamu," kata suara pria itu, terdengar berat.

Emma berhenti merengek, dan pikirannya justru terbang berfantasy. Ia berpikir ada malaikat yang baik hati turun di tengah-tengah hujan dan berusaha untuk melakukan interaksi menanggapi tentang kesedihan dan nestapanya. Barangkali ia berpikir bahwa malaikat itu handak menghiburnya atau lebih liarnya ia akan kehabisan air mata hingga sekarat dan mengundang malaikat itu untuk menghentikan tangisannya dan jika tidak ia benar-benar akan mencabut nyawanya..

Sampai detik itu, ia belum juga menoleh ke arah sumber suara itu.

"Jangan menangis," kata pria itu lagi.

Beru kemudian, Emma menoleh ke arah suara itu. Ia menemukan sosok tak asing tengah meneduhinya dengan payung hitam yang ia bawa. Badannya tinggi besar dibalut dengan kemeja putih dan jas hitam, rambutnya hitam lurus dan gondrong sampai sebahu. Tapi dia bukan Nick, karena ia tak berponi.

"Siapa?" tanya Emma ke arah pria itu. Suaranya parau karena sudah dikuras habis oleh rengekan tangisannya.

Pria itu tersenyum, dan lagi-lagi senyuman itu tidak asing bagi Emma. "Kau benar-benar sudah melupakan aku?" tanya pria itu. Tangannya meraba-raba saku jasnya, lalu ia menunjukan sebuah arloji dari dalam sakunya. "Aku ke sini ingin bertemu dengamu, dan mengembalikan jam tangan ini."

Emma masih meraba-raba ingatannya, kemudian pada titik tertentu baru ia sadar bahwa pria di hadapannya adalah Tommy Wayne. "Tommy?"

"Yaaa..!" serunya. "Apa kabar?"

Pays to Be a LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang