Bab 40

46 4 0
                                    

Suara yang familiar memanggil Jowan ketika dirinya tengah meratapi langkah Emma di Green Park. Wanita berambut pirang itu tenggelam oleh pepohonan taman dan entah ke arah mana ia melangkah. Jowan hanya merasa pening kepala, dia tidak tau apakah sikapnya sudah tepat atau salah, pikiran itu terus menggantung. Bagaimana bisa Emma menyukaiku? Meski itu seperti keajaiban, tapi itu adalah hal yang harus diambil dengan keputusan dan pikiran matang bukan semata-mata seperti hadiah doorprize yang dalam satu waktu bisa dibawa ke rumah.

Berhubungan dengan keluarganya juga, apakah mereka akan merestui jika suatu hari ia hendak menikahi wanita Eropa? Melihat akar-akar keluarganya yang cukup erat memegang anutan agama, tentu saja itu perkara yang tidak mudah jika sekarang menuruti keinginan hati, hal terburuk ia akan akan dihapus dari anggota keluarga jika kemungkinan itu terjadi.

Jowan benar-benar ripuh. 3 menit sudah sejak Emma pergi, ia masih duduk termenung meratapi beban pikirannya, sementara Dirman dan Ratna sudah duduk di sebelahnya tanpa disadari.

"Mas." Ratna menyentuh pundak Jowan dan menyadarkan pria itu dari lamunannya.

Sontak Jowan menoleh ke arah Ratna dan memindai lagi ke arah Dirman yang tengah berdiri di hadapannya.

"Itu kenapa cewekmu ninggalin kamu?" tanya Dirman.

"Bukan urusanmu," tanggap Jowan.

"Kita mau pulang, mau bareng nggak?" tawar Dirman.

Jowan mengangguk tanpa energi. Keripuhannya menguras, menguasai dayanya. Ia bangkit dari tempat duduknya seperti orang yang belum makan tiga hari tiga malam dengan gerakan yang semalas itu.

Mereka bertiga pulang menggunakan bus. Dirman berdiri memegangi handle grip, sementara Emma dan Jowan duduk berdampingan di kursi bus. Meski Jowan merasa risih didekati Ratna, ia berusaha mengabaikannya sebab ada beban pikiran yang lebih berat untuk dipikirkan, tentu saja itu adalah Emma dan tugas kuliah yang masih menumpuk.

"Mas," gumam Ratna di hadapan telinga Jowan.

Jowan menoleh, mengerutkan dahinya. Tatapannya tajam seperti mengancam 'diam kau!' Tapi ia masih belum membuka suara, bahkan menatapnya saja serasa berat. Sedetik kemudian, ia memindai lagi ke arah depan dan segera mengambil sebuah headset untuk dikaitkan ke telinga.

"Itu yang tadi ninggalin kamu di taman beneran pacarmu Mas?"

Jowan mengangguk sambil mengaitkan headset sebelum akhirnya dicegah oleh Ratna dan mencopot lagi headset itu dari telinga Jowan.

"Aku belum selesai Mas," kata Ratna. Raut wajahnya menunjukan bahwa dia tidak suka melihat reaksi dan jawaban Jowan.

Lantas Jowan memindai lagi ke arah Ratna, kini tatapannya lebih tajam dan mengintimidasi. "Kenapa?" Ia membuka suara, nadanya menghujam tapi terdengar lirih. Rasanya ia ingin segera bangkit dari tempat duduknya, tapi tatapan Ratna yang tak kalah melagak membuatnya ingin melayani.

"Keluargamu nggak akan setuju jika kamu berhubungan dengan orang Eropa mas," kata Ratna.

"Bukan urusanmu itu," ujar Jowan sambil berusaha meraih kepala headset di genggaman Ratna.

"Aku hanya ingin mengingatkanmu Mas sebelum kamu masuk lebih dalam."

"Apa pedulimu?"

"Mas Jowan belum tau ya?" tanya Ratna. "Kakekku meninggalkan wasiat untuk menjodohkan salah satu cucunya dengan cucu-cucu kakekmu. Dan wasiat itu jatuh kepada kita dan kak Jazil," ujarnya.

Mendengarnya, Jowan terbengang untuk beberapa detik, lalu memalingkan wajahnya dan memasang wajah tak peduli. "Aku nggak akan menikahimu."

"Kalau begitu, Mas Jowan bisa memilih Kak Jazil."

"Jangan bicara lagi, aku nggak percaya sama omonganmu."

"Kalau bukan karena wasiat perjodohan itu, mana mungkin aku mau repot-repot jauh ke sini."

"Sudah kubilang, jangan bicara lagi," perintah Jowan. Ia merampas headset-nya dari Ratna dan memasangnya lagi di telinga.

"Itu tergantung keputusan Mas Jowan. Ada kemungkinan setelah Kak Jazil wisuda nanti, ia berencana untuk menyambangi kota London dan bertemu denganmu Mas."

Lagi-lagi Jowan dibuat terkejut dengan ucapan Ratna namun berusaha keras untuk menyembunyikan reaksinya. "Aku nggak denger," ujarnya .

Jazil akan menemuiku? Itu seperti keajaiban lagi, ia bahkan sudah lupa kapan terakhir kali ia bertemu dengannya. Ia rindu dengannya tapi ia bahkan tidak tahu wujud rupanya sekarang seperti apa. Dulu ketika kecil, ia begitu manis dengan alis tebalnya dan hidung mancungnya namun sekarang entahlah apalah kabarnya. Mereka tak pernah berjumpa dan melayangkan kabar, ia bahkan tak tahu akun instagram-nya, akun facebook-nya, akun twitter-nya, ia tak tahu apa-apa lagi tentangnya kecuali nama-nama keluarganya dan tanggal lahirnya. Seakan nama Jazil hanya timbul ketika ia tengah bermimpi dan mengingatnya di beberapa waktu, sisinya seperti hangus dari ingatannya.

Jowan jadi teringat kapal kertas di tepi sungai itu, mereka sering membuat kapal-kapalan saat setelah pulang sekolah, lalu dilayarkan kapal itu sampai ke hilir sungai. Ia rindu kisah itu, dan jika benar-benar Jazil akan menemuinya, itu pasti akan sangat canggung.

Tanpa aba-aba, sekonyong-konyong Ratna mencopot lagi headset yang terkait di telinga Jowan, membuat pria itu mendelik ke arahnya. "Apa lagi?" raungnya dengan tatapan kesal.

"Mas masih perjaka kan?" tanya Ratna.

"Maksudmu apa tanya kayak gitu?"

"Aku tau Mas bagaimana gaya pacaran orang barat."

"Tenang aja," kata Jowan sambil memalingkan wajahnya dan berekspresi cuai, lalu mengangkat kembali kepala headset-nya. "Aku masih Islam. Lagian masalah masih perjaka atau enggaknya itu privasiku, itu urusanku."

Ratna mecegah lagi upaya Jowan mengaitkan headset di telinga. "Aku mendapat amanat dari ibumu untuk mengawasi gaya hidupmu di sini."

"Nggak usah repot-repot, aku udah lama hidup di Eropa dan nggak pernah ngehamilin anak orang, nggak pernah minum miras, sholat lima waktu juga aku jaga," kata  Jowan. "Harusnya aku yang ngawasin hidup kamu di sini, tapi males juga sebenarnya."

"Syukurlah."

Jowan merebut headset-nya dari genggaman Ratna, lalu mengaitkan lagi di telinga. "Jangan copot lagi headset-nya."

Sementara Jowan menikmati senandung lagu, Ratna berderap ke belakang melewati posisi berdirinya Dirman. Ia memindahkan posisi duduknya di jok bus bagian belakang sambil menunduk. Kemudian bersandar di jok dan menautkan tatapannya ke luar jendela bus saraya menyeka air mata.

Di lintasan jalan, tepatnya di tepi jalan itu Ratna melihat  sebuah cafe berisikan keluarga Tionghoa yang saling melemparkan tawa sambil menikmati es krim, kemudian dua orang Negro ayah dan anaknya berjalan bergandengan tangan dengan rona bahagia, satu orang lagi tampak seperti orang berwajah melayu tengah berpelukan hangat dengan orang kulit putih. Ia menjumpainya dengan pandangan matanya yang sayu.

Tidak seperti orang-orang lain yang pergi ke luar negeri dan mendapat kebahagiaan di musim pertama, Ratna justru tak merasakan hal serupa. Bermula dari desakan ayahnya, yang kemudian bertambah buruk ketika tidak ada sambutan hangat yang diharapkan dari siapapun. Ia juga sudah menduga sikap sarkas Jowan akan menimpa padanya. Bahkan pesona kota London yang tak bisa ia jumpai di negara manapun, tidak bisa menutupi rasa pilunya. Ia  berpikir, kenapa menghirup napas di Eropa sesulit ini?







Pays to Be a LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang