Bab 3

207 14 2
                                    

PUKUL 04.30 pagi, kota London dirundung dingin oleh angin-angin yang menerbangkan daun-daun pohon dari segala arah. Berangkali embun-embun di dedaunan itu juga terbawa, memboyong kedinginan yang menjadi-jadi. Bila mana orang Indonesia keluar dalam keadaan telanjang dada di waktu itu, sudah pasti siangnya mereka akan menggesek-gesekan punggungnya dengan uang logam, masuk angin.

Sudah tau dingin menembus sampai di sela-sela pintu, Jowan palah berjalan terhuyung-huyung menuju kamar mandi dengan hanya mengenakan kaus kutang dan celana pendek. Tangannya meraba-raba dinding, sebab pandangannya masih samar-samar. Setibanya, ia membasuh wajahnya dan berkumur-kumur.

Dingin sekali. Padahal seluruh jendala kamar sudah ditutup. Ia bercermin sambil menggigil.

"Jowan!" Dirman mengetuk-ngetuk pintu kamar mandi itu berkali-kali. "Cepetan! Udah mau keluar nih!"

"Bentar lagi!" tariak Jowan dari dalam kamar mandi.

"Lagi ngapain?!"

"Bentar!"

Semenit kemudian, Jowan membuka pintu kamar mandi itu. Ia mematung dan tersenyum sumringah menatap Dirman yang sedang terpontang-panting menahan hasrat BAB.

Dirman menarik lengan Jowan secara paksa dari garis pintu itu, lalu segera duduk di kloset sembari menghela napas lega. Ia tak kalah menggigilnya, meski sudah mengenakan kaus kutang rangkap tiga.

Jowan yang masih tersenyum-senyum seperti orang gila lantas berjalan mundekati lemari. Barangkali senyuman itu adalah senam wajah agar tak beku oleh dinginnya suhu. Ia menggeragapi isi lacinya, mencari sehelai sejadah untuk digunakan sebagai alas bersholat subuh. "Mana nih?" Ia tak kunjung menemukannya, padahal biasanya ia menyimpannya di dalam laci.

"Dirman! Kamu tau sajadahku?!" tariak Jowan.

"Bentar!"

Jowan mendengus kesal, senyumannya pudar seketika. Jawabannya tidak nyambung sama sekali!

Dasar Dirman bolot!

Dering ponsel berbunyi, pandangan Jowan beralih kapada ponselnya yang tergeletak di atas ranjang. Ia segera mengambil ponsel itu. Sambil meletuk-letukan giginya, ia memandang layar ponselnya.

Ibu? Sebuah pesan WhatsApps dari Ibunya terpampang di layar ponselnya.

Ibu
Assalamulaikum anakku, Jowan.
Apa kabar?
Hari ini ibu ingin memberi tahumu dengan berat hati. Ibu dan bapakmu tidak bisa mengirimu uang untuk dua bulan ke depan. Hasil panen kentang bulan ini sangat menurun, jadi ekonomi kita sedang memburuk. Sedangkan nenekmu masih terbaring di rumah sakit, untuk sementara, uang yang kami punya untuk biaya berobat nenekmu.
Jika kamu sudah benar-benar tak punya uang, cobalah mencari hutangan atau kerja paruh waktu untuk sementara.

Maafkan ibu.

Anda
Walaikumsalam.
Iya Bu. Ndak apa-apa.
Jowan akan mencoba mencari  pekerjaan paruh waktu di sini.
Semoga nenek lekas sembuh.

Jowan menghela napasnya ketika membaca pesan dari ibunya. Selain mencemaskan neneknya, pikirannya juga tertuju pada isi dompetnya sudah kurus kerempeng di penghujung bulan. Jika dompet itu bia bernapas saja, ia tak kalah parah keadaannya dengan kondisi neneknya itu.

Lantaran dompetnya itu yang tak bisa diandalkan, bagaimana pun juga Jowan harus segera mendapatkan pekerjaan paruh waktu jika tak mau kelaparan di negeri orang. Atau setidaknya ada temannya yang sudi meminjamkan uangnya untuk beberapa bulan ke depan.

~•●•~

"Apakah kau sudah membali buku itu?" tanya Jae-yong sembari berjalan menyusuri koridor kampus bersama Jowan.

Pays to Be a LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang