Eliza tiba di perpustakaan. Sembari memeluk lipatan jaket jeans yang di pangkal kerahnya masih tercantol hangtag merk. Tatapannya mengerling ke kanan kiri, memindai ke sudut-sudut terjauh di setiap bagan-bagan ruang perpustakaan. Hidungnya menangkap bau parfum Jae-yong yang melekat di jaket lapuk pria itu.
Pria korea berwajah oriental itu tengah berjingkat-jingkit di lorong perpustakaan setelah pandangannya menemukan Eliza di depan lobi perpustakaan. Ia berniat bersembunyi, namun sejurus kemudian wanita itu menangkap gerak geriknya dan sudah berada di seberang lemari bak hantu yang berteleportasi antar ruang sesingkat cahaya.
"Jae-yong," gertek Eliza. "Aku menemukanmu. Tunggu aku di situ."
Eliza berderap ke tikungan lorong yang tak tersekat oleh lemari, dan secepatnya berbelok arah menuju Jae-yong, sementara pria itu menelan ludah kasar dan menahan kelu lidahnya. Ia menghela lalu menunduk kesal. Wanita aneh itu terus mengikutinya.
Eliza menyodongkan jaket jeans yang baru saja ia beli di mall beberapa jam lalu ke arah Jae-yong. Ia sengaja berniat membelinya sejak melihat jaket lapuk Jae-yong ketika hendak menonton konser, yang bahkan hingga kini masih melekat di badannya.
"Untukmu," kata Eliza tersenyum.
Jae-yong membersut. "Dalam rangka apa?"
"Jaketmu sudah lapuk kan? Makanya aku ganti ini." Eliza menyandarkan jaket itu di bahu Jae-yong pelan-pelan. "Ayo dicoba."
Secuil rasa tak enak hati bersemayam di hati Jae-yong, meski ia menggenggam erat ujung resleting jaket itu. Ia masih tak beranjak mengenakan jaket yang tersandar di bahu. "Kau tidak perlu seperti ini," katanya.
"Aku menyukaimu," gumam Eliza. Senyumnya memancar menggoda-goda, sementara pinggangnya bergoyang ke kanan kiri genit. "Ayo kita pacaran Jae-yong." Tangannya ditengadahkan tepat di bawah dagu tajam Jae-yong dan hampir menyentuhnya.
"Kau menyogokku dengan jaket ini?" Jae-yong menyingkirkan tangan Eliza yang beringsut-ingsut menyentuh dagunya. Tatapan skeptisnya menghentikan gelagat manja Eliza.
Sementara Eliza bereksperesi muram tatkala pertanyaan dan sikap tak diduga meluncur dari mulut Jae-yong. "Aku sungguh membelikanmu jaket ini tanpa mengharapkan iba sedikitpun. Aku membelikanmu karena aku menyukaimu dan untuk memgganti jaketmu yang sudah lapuk. Aku ingin menjadi pacarmu, apa jawabanmu?" Eliza memicingkan mata ragu. Ia menarik napas untuk membuang rasa gugupnya. Bagaimanapun, ia harus memulai dulu jika berhadapan dengan pria sekaku Jae-yong. "Sementara lupakan saja tentang jaket itu."
"Aku tidak menyukaimu," kata Jae-yong. Ia menyandarkan balik jaket itu di bahu Eliza setelah kata-kata tajamnya membersit di hati wanita itu.
"Jangan." Eliza mengembalikan lagi jaket itu pada tempatnya, menyandarkannya di bahu Jae-yong pelan-pelan. "Ini untukmu." Tatapannya berkaca-kaca.
"Aku tidak ingin pemberian darimu."
"Anggap saja ini bukan dariku," ujar Eliza sembari menyeka air matanya. "Oh ya.. aku tidak ingin mendengar penolakanmu sekarang, aku akan memberimu waktu untuk menjawab. Jika kau ingin menolakku, jawab tolakanmu seminggu lagi agar aku bisa menyiapkan diri dan tidak menangis memalukan seperti ini." Tangisan Eliza menjadi-jadi, ia berusaha menahan isakannya agar pengunjung perpustakaan lain tidak terganggu. "Harusnya tempat ini tidak untuk menangis."
"Aku tidak ingin melihat seseorang menangis gara-gara aku, tapi kau harus menyiapkannya jika dalam seminggu ini perasaanku tidak berubah."
Tiba-tiba perut lapar Jae-yong berbunyi keroncongan, ia menekan perutnya halus-halus sambil menahan nyeri rasa laparnya.
Eliza yang sibuk dengan isakan tangisnya tidak mengindahkan suara keroncong itu. Padahal dalam pikiran culas Jae-yong, ia berharap wanita yang tengah menangis di depannya akan berempati dengan keadaannya.
Eliza Sembari menyeka air matanya berkali-kali, ia berbalik arah hendak menjauhi pria korea itu. Namun Jae-yong segara menggengam lengannya dan menghentikan gerakan Eliza.
Di tengah keadaan yang krusial ini, ia harus melakukan apapun dan mengesampingkan harga dirinya. Cacing-cacing di perutnya mungkin sedang berdemo sebab kelaparan. "Aku lapar," ujar pria itu.
Eliza berbalik menatap Jae-yong. Wajahnya masih menampikkan tatapan nanar penuh kesedihan. "Jika aku mentraktirmu makan, apa peluang menjadi pacarmu akan semakin besar?"
Jae-yong mangguk-mangguk. Ekspresinya tak lepas dari niat tidak bermalunya, memasang wajah belas kasihan.
"Ayo ke kantin. Kita makan." Eliza tersenyum lebar sembari itu meredam isakan tangisnnya. Ia melangkah ke arah pintu perpustakaan, dan membiarkan genggaman Jae-yong bertahan di lengannya. "Kau tak perlu menggenggamku erat-erat, aku tidak akan pergi."
"Sebenarnya......" Jae-yong bergumam, ia masih ragu akan berucap atau menahannya. Niat busuknya sudah bergelamut jauh-jauh hari sejak obrolannya dengan Jowan ketika hendak pergi ke konser kpop, hanya saja ia merasa belum mantap dengan keputusan liciknya yang terkesan memainkan perasaan Eliza. Namun keadaan harus membuat Jae-yong mengesampingkan ketulusan cinta wanita yang tengah digenggamnya.
Eliza menghentikan langkahnya, badannya diputar 90 derajat manja den sejurus kemudian memasang senyuman menggoda. "Katakan saja. Jangan ragu. Aku ini kan calon pacarmu lo."
"Aku....." Jae-yong memejamkan mata sekali, ripuh akan keputusannya.
"Aku?"
"Aku mau jadi pacarmu, tapi ada syaratnya--."
Belum sampai hitungan detik, Eliza langsung memeluk erat pinggang Jae-yong. Wajahnya merekah bahagia. "Sungguh!?" pekiknya.
Jae-yong meregangkan tangannya, menjauhkan lengannya dari badan Eliza yang tengah mendekap badannya lekat-lekat. Ronanya malu dan mendapat rasa menggelikan ketika wanita di depanya mulai bersikap agresif berlebihan, sementara pandangan beberapa Mahasiswa mulai memindai ke arahnya ketika pekikan bahagia Eliza mencuat.
"Tapi ada syaratnya," kata Jae-yong lagi.
"Ayo kita ke kantin dulu, kau bisa mengatakan apa saja persyaratannya di kantin nanti."
Eliza menarik tangan Jae-yong di sepenjang koridor kampus hingga mereka sampai di depan meja kantin. Mereka duduk berhadap-hadapan. Eliza tak berhenti menatap mimik wajah Jae-yong yang datar tanpa ekspresi, sementara pria itu sok sibuk memindai ke kanan kiri untuk menghindara tatapan genit mata Eliza.
Eliza membuka tasnya, ia menyobek secarik kertas dari buku catatan mata kuliah. "Sebelum memesan makanan, ayo tulis dulu persyaratan menjadi pacarmu." Ia mendekatkan secarik kertas dan pulpen ke hadapan Jae-yong. Senyumannya tidak luntur secuilpun, bahkan air matanya yang mencuat beberapa menit lalu sudah kering kerontang sebab senyuman itu.
"Ah." Jae-yong menggelengkan kepala. "Tidak perlu dicatat."
"Kalau begitu sebutkan saja."
"Begini...." pikiran Jae-yong ripuh lagi, antara mau menyampaikan sekarang atau nanti-nanti saja. Semuanya seakan-akan begitu menggantung di kerongkongan.
"Sebutkan ayo. Aku tidak sabar ingin menandai tanggal hari ini sebagai hari jadian kita.."
"Emmmm..." Jae-yong menunduk, jari-jemarinya sibuk memilin-milin ujung bawah kaosnya. Sebisa mungkin ia harus membuang rasa malunya meski ada kemungkinan dicap sebagai cowo matre.
"Ayo....." Eliza menipuk pelan siku Jae -yong yang diletakan di atas meja. Mendesaknya secara halus.
"Kau..." Jae-yong mengangkat kepalanya. "Kau harus membayarku 400 poundsterling sebulan sekali jika ingin menjadi pacarku."
Seketika Eliza memicingkan mata dan menganga. "Ha?"
•
•
•
•
Play list
Irwansyah - Pecinta Wanita
•
•
•
Terimakasih sudah membaca,
Jangan lupa taburi bintang agar author semangat nulisnya..
KAMU SEDANG MEMBACA
Pays to Be a Love
RomanceApa jadinya bila Pria Jawa dan Wanita Eropa saling mencintai? Emma Handerson seorang mahasiswi jurusan sastra Inggris yang susah payah melupakan mantan pacarnya. Setelah hubungannya dengen Tommy Wayne renggang, ia merasa risih didekati oleh banyak p...