Bab 61. End

272 9 0
                                    

Di minggu kedua Jazil mengajar di sekolah, hujan turun, dan selalu hujan yang mengiringi akhir kisah ini. Hingga waktu jam kerja usai, hujan masih sempat mengiringi kisah ini. Lantaran itu Jazil duduk di halte sekolah bersama beberapa muridnya untuk menunggu angkot berwarna kuning. Kebetulan saja waktu itu ia tak mambawa sepeda motor karena kuda besinya itu tengah diurus di bengkel masalah dengan mesin yang rusak dan tetek bengek yang tak ia pahami.

Ia memikirkan tentang Jowan yang katanya sudah tiba di Wonosobo dua hari lalu, tapi ia belum bertemu dengannya.

Dari arah utara, seseorang menerobos hujan dengan motor astrea dalam balutan jas hujan. Ia berhenti di hadapan Jazil, lalu menghadapkan wajahnya.

Panjang umur kalau kata orang bilang, belum selesai dipikirkan sudah datang orangnya. Jowan dengan seringai di wajahnya mampu menghangatkan suasana di tengah hujan dan membuat Jazil yang semula menggigil dingin jadi memasang wajah senyum merona.

"Sampai kapan?" tanya Jazil.

"Dua hari lalu," jawabnya.

"Mau kemana hujan-hujan begini?"

"Menjemputmulah. Mau kemana lagi memangnya?" Jowan memasang senyum meledek.

Jazil jadi tersipu malu sambil senyum-senyum dari balik jaketnya. "Tunggu pulang reda saja."

"Boleh," kata Jowan.

Sore itu hujan sudah reda meninggalkan gumpalan-gumpalan air kecil diatas dedaunan dan sungai-sungai kecil yang agaknya meluap, kemudian dingin kembali menusuk, dan para santriwati di kota itu keluar dari kandang untuk membeli jajanan. Sore itu juga untuk pertama kali Jazil dibonceng oleh Jowan dengan sepeda motornya melalui jalanan daerah Mojotengah. Untuk pertama kali juga setelah bertahun-tahun mereka bertemu lagi di tanah kelahiran kota Wonosobo, memandang gunung Sumbing yang menjulang dan meresakan dinginnya kota Wonosobo yang tak kalah dinginnya dengan daratan Eropa.

Sementara di daratan Eropa yang memang dingin, tepatnya di kota London, Eliza dan Nick ditemui tengah melakukan dinner bersama. Sepeninggalan Jae-yong yang pergi ke kampung halaman, Eliza benar-benar merasa sepi. Sementara Emma nampak tengah mengasingkam diri, wanita itu jarang keluar rumah akhir-akhir ini.

Lantaran pengakuan cinta Nick di panggung pernikahan Victor dan Margot kala itu, Eliza beritikad untuk memanfaatkan Nick  sebagai batu loncatan untuk melupakan Jae-yong. Meski ya... Eliza masih menganggap pengakuan cinta Nick hanyalah sekedar candaan barangkali untuk menutupi kegagalan cintanya kepada Emma, begitu pikirnya.

"Nick," kata Eliza.

Nick mengangkat kepala, poninya melambai-lambai sebab gerakan kepala itu, wajahnya penuh tanya. "Ya?"

"Maukah kau jadi pacarku untuk beberapa bulan?"

Nick menaikan kedua alisnya. Otaknya masih berputar. "Beberapa bulan? Maksudmu?"

"Aku ingin kau menjadi pacarku, aku akan membayarmu."

"Heh?"

"Aku akan membayarmu, kau juga bisa perlahan melupakan Emma."

"Aku... aku sudah benar-benar melupakan Emma. Kau tak dengar pengakuanku waktu itu?"

"Kau bersungguh-sungguh?"

Dan Nick menganggukan kepala, poni itu kembali melambai-lambai membuat siapa saja yang memandang merasa geli.

Pays to Be a LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang