Bab 48

37 5 0
                                    

Di sela-sela selimut yang menenggelamkan badan Jowan, ia merenungi tentang kejadian tak mengenakan di British Museum, dan berharap tak bermimpi kejadian memalukan itu. Tetap saja ia merasa bersalah telah mengabaikan Emma, tapi rasa rindunya kepada
Jazil benar-benar seperti menghilangkan keberadaan Emma saat itu.

Emosi Emma tak seperti biasanya, memangnya biasanya seperti apa? Jowan baru bisa memahami, rupanya Emma ada sedikit memiliki sifat posesif di dalam dirinya. Ia tak menyangka, tapi mungkin kebanyakan wanita memang seperti itu. Namun sudah bukan manjadi rahasianya bahwa mempunyai seorang kekasih tentu saja gerak-geriknya tak akan sebebas ketika masih sendiri -jomblo-.

Bagi Jowan, semuanya menjadi serba salah. Apapun yang dilakukannya dengan wanita lain mungkin akan mendapatkan kecurigaan dari Emma. Bahkan dalam hal tersirat, Jowan dilarang untuk merindukan temannya, menemui teman yang dirindukan, dan menjalin kedekatan dengan teman wanita lain. Bahkan dalam hal yang berwujud, bisa saja Emma cemburu hanya karena Jowan menikmati masakan dari Jazil.

Sementara di lain sisi, Jazil tak bisa berhenti memikirkan nasibnya di kota London. Ia sesekali menangis setelah mendengar pengakuan dari Emma bahwa dialah kekasih Jowan. Jika kalian tahu, Jazil bukanlah orang yang gemar traveling jauh-jauh sampai ke mancanegara. Liburannya di ibukota Inggris bukan sekedar menghilangkan penat, alih-alih dia memang sengaja ingin menjumpai Jowan dan mengenalnya lebih dalam. Karena surat wasiat perjodohan dari kakeknya itu telah membawanya sampai ke tempat asing ini -bagi Jazil-, maka ia hanya bingung harus melakukan apa, sementara ayahnya juga mendesak agar amanat dari kakek terlaksana.

Ia benar-benar ingin mengenal sosok Jowan versi dewasa, bukan sosok Jowan kecil yang suka telanjang di tepi sungai sambil mengusap-usap ingusnya. Tapi pengakuan wanita itu membuat pikirannya kacau, ia tetap ingin mengenal sosok sahabat kecilnya itu, tapi di lain sisi enggan untuk merusak hubungan orang lain.

Jazil memang begitu penurut kepada orang tua. Ayahnya yang memintanya ia pergi ke London menemui Jowan dan Ratna, untuk menyambung silaturahmi dan menjadi salah satu jalan mewujudkan perjodohan. Demi itu juga Jazil harus mengorbankan seseorang yang tampak memiliki keseriusan dengannya. Yakni Eren Adskhan, teman kuliahnya yang berkebangsaan Turki itu pernah terang-terangan mengungkapkan perasaan cintanya terhadap Jazil, sampai berencana mengajak Jazil ta'aruf seusai wisuda. Namun seperti orang-orang mengatakan bahwa kenyataan tidak sesuai ekspektasi, dan apa yang direncanakan justru berujung dengan isakan tangis.

Ketika itu Jazil menemui Eren di sebuah kafe yang bertempat di kota Alexandria. Berhubung ia sedang berlibur bersama temannya di kota itu, sementara Eren juga tinggal bersama saudaranya di Alexandria. Maka dari itu Jazil berkesempatan untuk berbicara dengannya tentang kedekatannya.

Mata Jazil sudah berkaca-kaca saat akan berbicara. Meski ia belum merasakan cinta yang sepenuhnya kepada Eren, tapi tetap saja membuat sakit hati anak manusia adalah hal yang tidak mengenakan, apalagi selama ini Eren selalu berlaku baik padanya.

"Aku bingung harus memulai dari mana," tukas Jazil. Ia menunduk dan mengelus alis tebalnya karena kelimpungan bagaimana cara menyampaikannya kepada Eren.

"Apa yang terjadi?" Pria dengan brewok tipis itu menaikan dua alisnya. Perasaanya tak enak ketika pertama kali melihat mata Jazil bergenangan air mata.

Satu tetes air mata Jazil mengalir di hingga ke bibir atasnya, tertancap masuk hingga menyentuh pengecap rasa. Memang tidak ada yang manis jika menyangkut dengan luka tangisan. "Bisakah kau berhenti untuk menyukaiku?"

Eren tersentak mendengarnya, barangkali akan bergelimpangan ke lantai sambil menyentuh posisi jantungnya jika saja ia mengidap penyakit jantung, sayangnya dia sehat-sehat saja. "Kenapa?" tanyanya dengan raut keheranan. "Aku sungguh menyukaimu tanpa kubuat-buat. Mencoba berhenti menyukaimu itu mustahil."

"Orang tuaku sudah punya pilihan untukku." Bibir Jazil bergetar, tentu saja kembali membuat Eren tersentak dalam hati.

Pria itu berada di serangan jantung stadium 2 jika ada istilahnya dan andaikata ia sedang mengidap penyakit jantung, tapi sekali lagi dia dalam kondisi sehat. Matanya mulai berkaca-kaca dan bibirnya bergetar, berat hanya untuk sekedar mengatakan. "Kenapa ini harus terjadi?" yang pada akhirnya terucap juga setelah atom-atom udara menonton keheningan duka pekat itu selama tiga menit.

Selama tiga menit mereka diam, saling memamerkan matanya yang berlinangan air mata. Keduanya saling menatap, terus dan terus, karena bisa jadi inilah pertemuan terakhir mereka duduk di kafe berdua.

"Mungkin ini sudah jalannya," kata Jazil. Ia menunduk, memainkan jari-jemarinya untuk mendamaikan kegusaran yang tengah ia lakukan. "Semua orang sudah dicatat siapa jodohnya."

Eren memalingkan wajahnya, memindai ke arah luar kaca yang entah kapan dimulainya hujan itu, tiba-tiba saja sudah deras mewakili perasaannya. Mungkin hujan itu menimpa bumi sajak pertama kali ia menggigil di serangan jantung stadium 2, tepatnya 5 menit yang lalu. Padahal jika dipikir-pikir, negara setandus Mesir jarang sekali terguyur hujan. "Aku sangat berharap kau adalah takdirku," tukasnya.

"Dan jika takdir berkata lain, kau harus menerimanya."

Eren menggeletukan giginya beberapa kali saking syoknya. Tatapannya kini menghindari Jazil, sebab tangisnya akan menjadi-jadi jika ia terus menatapnya. Melihat ada banyak orang di kafe itu, tentu saja ia akan malu jika dipandangi orang sekiter tengah merengek di depan wanita cantik. Maka  dari itu ia berusaha untuk menghentikan air matanya.

Ia tak menduga-duga bahwa hari ini akan jadi yang terburuk dalam hidupnya.

"Aku senang bisa mengenalmu," kata Jazil, ucapannya serupa seperti ketika seorang yang mengucapkan kata terakhir kepada temannya yang akan berpisah. "Kau sangat baik."

Sementara Eren terus menatap ke luar kafe, memandangi mobil-mobil berlalu lalang di tengah-tengah guyuran hujan.

"Kita masih bisa berteman," ujar Jazil. Hidungnya kini memerah akibat isakan tangis yang tak terhenti.

Eren hanya diam dan diam mendekap erat mulutnya yang hampir saja ingin meneriaki dunia. Seharusnya sejak tadi ia sembunyikan hasrat menangis dan tak perlu repot-repot ikut andil membasahi isi bumi di depan Jazil, cukup sudah hujan yang mewakili perasaannya, ia tak ingin menangis dan lebih pantas untuk menangis di dalam kamar saja.

Sementara Jazil mulai menggenggam tas selempangnya. Ia nampak buru-buru bangkit dari kursi dan pamit kepada Eren di tengah hujan yang mengguyur. "Aku harus pergi, maafkan aku Eren." Wanita berhijab itu begitu saja melewati meja-meja kafe, ia melalui garis pintu dan nampak dari luar jendela kaca ia tengah merentangkan payung hitamnya, lalu menerbos hujan itu.

Lalu Eren masih merenungi keadaannya. Wajahnya lesu, ditopang oleh kedua tangannya, tapi hatinya sangat geram ingin memukul-mukul meja di hadapannya sampai hancur berkeping.






Pays to Be a LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang