Bab 34

40 4 0
                                    

1 bulan kemudian semua berjalan lancar. Jowan beberapa kali  menyambangi rumah Emma untuk sekedar berteduh karena hujan atau punya rencana mengobrol panjang lebar dengan Tn. Wang mengenai bisnis kentang ayahnya di kampung halaman, atau saling bertukar pandangan mengenai budaya Eropa dan Asia Tenggara.

Sementara hubungan Jae-yong dan Eliza semakin hangat. Mereka berjalan beriringan di setiap sudut kampus di setiap waktu senggang, sampai Jowan tak punya kesempatan untuk mengobrol dengan pria Korea itu. Meski Jae-yong masih tampak kaku, tapi ia mulai memberikan perhatian lebih secara diam-diam kepada Eliza.

Pada pertengahan bulan, Jae-yong mendapatkan pinjaman mobil Lamborghini berwarna merah untuk digunakan ke acara dinner keluarga Eliza. Ia kalang kabut, lalu mengomel-omel kepada Eliza melalui telephone.

"Kan sudah kubilang, jangan pinjami aku supercar!" Jae-yong berseru di hadapan layar ponsel. Mengoceh-oceh tak henti-hentinya. Bagi Eliza ini tak mengagetkan, meski Jae-yong nampak sedikit pendiam dan kaku di hadapannya tapi ia sering menemukannya tengah menghardik-hardik Jowan beberapa kali.

"Aku hanya punya dua mobil, dan semua adalah Supercar," jawab Eliza enteng.

Detik itu juga Jae-yong mematikan sambungan telephonnya. Sementara di lain tempat, Eliza hanya meringis-ringis gemas melihat reaksi Jae-yong.

Pada estape berikutnya, Jae-yong menyambangi kediaman Jowan, lantas mencari-cari pria Surabaya itu yang rupanya tengah membuang air di toilet. Malam ini Jae-yong diundang dinner dengan keluarga Eliza, dan dituntutnya ia oleh Eliza untuk berangkat menggunakan mobil Lamborghini merah itu. Beberapa kali Jae-yong menggaruk-garuk rambutnya yang tak gatal, ripuh sekali memiliki pacar congah macam Eliza.

"Ada apa?" tanya Jowan. Ia tengah mengaduk secangkir teh untuk disajikan di hadapan Jae-yong. "Jarang sekali kulihat kau gugup seperti itu."

Jae-yong memposisikan duduknya di kursi belajar, sesekali mengigit-gigit jari telunjuknya gemas. "Malam ini aku diundang dinner dengan keluara Eliza. Dan aku butuh supir untuk mengendarai mobil supercar titipan Eliza."

"Kau diharuskan untuk menggunakan mobil? Bukannya bisa dengan sepeda itu?" Jowan menaruh secangkir teh itu di hadapan Jae-yong.

"Aku tidak tau. Mungkin orang kaya memang gengsi berhubungan dengan orang-orang macam kita. Makanya, di hadapan orang tua mereka, kita dikemas seperti layaknya orang kaya terpandang."

Jowan menghela napas, sementara pantatnya digeser-geser untuk mendapatkan posisi duduk ternyaman di atas ranjang. "Ya," katanya. "Benar-benar merepotkan," tangannya mengacung ke arah Jae-yong. "Makanya, waktu itu aku sangat butuh bantuanmu hyung, tapi kau menolakku, aku kecewa sekali dan sekarang kau bisa rasakan apa yang kurasakan sekarang."

Sekonyong-konyong Jae-yong melemparkan sebuah pulpen ke arah Jowan yang syukur saja  lemparannya meleset sebab Jowan dapat mengelak. "Kalau aku bisa mengendarai supercar, pasti sudah kubantu kau. Aku bahkan sekarang butuh Dirman untuk mengantarku ke acara dinner malam ini." Jae-yong agak merajuk kali ini. "Kau benar-benar menyalahkan orang tanpa logika."

"Ya.. oke... aku tak menyalahkanmu. Ini semua karena Emma, dan untukmu adalah Eliza." Jowan merebahkan badannya di atas ranjang, meratapi langit-langit rumah yang nampak putih polos nampak menggambarkan kepolosan pacar bayaran yang memerlukan isi dompet dan rekening, tentu tak lain lagi adalah dirinya dan pria korea yang tengah mengalami keripuhan. "Kita mungkin dibayar, dan berlebihan jika mengatakan ini merepotkan. Ini benar-benar merepotkan karena belum terbiasa mungkin, belum terbiasa dengan budaya orang kaya di sini. Barangkali seperti itu," ujarnya.

"Menurutmu bagaimana?" Jae-yong mendelik ke arah Jowan. "Apakah ini bisa berlangsung lama? Rasanya aku belum bisa mencintainya meski sudah berusaha dan aku merasa kebebasanku terampas."

Pays to Be a LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang