Bab 9

114 10 0
                                    

Lampu-lampu di ruangan itu seperti warna-warna pelangi yang secara random berkerlap-kerlip, seakan sistematisnya nampak seperti nafsu manusia yang terus menyoroti manusia-manusia seksi berpakaian ketat. Pada dasarnya memamg kebanyakan yang berada di tempat itu adalah manusia-manusia dengan pakaian minimalis. Beberapa diantaranya ada yang memakai celana jeans mini yang bahkan tidak mampu menutupi bokong besar mereka, berangkali sebenarnya tidak bisa disebut celana mini juga, hanyalah kancut dengan varian lain. Beberapa lagi ada yang memakai rok mini, yang sedikit saja meloncat, kancut dengan varian lain lagi akan terlihat. Paling banyak, tentu saja perempuan-perempuan dengan garis balahan dada yang ukuran panjangnya tampak bisa diukur dengan kasat mata.

Sementara hal itu juga yang membuat Jowan kedap-kedip mata berada di ruang klub malam yang glamor itu. Ia berdiri diam di tengah kerumunan orang yang tengah asik menggoyang-goyangkan badannya. Pening gusar dan bising! Ia bahkan hanya memutar-mutarkan jari telunjuknya ke atas ketika orang lain bahkan berulang kali memutar-mutarkan badannya. Ia  tak bisa menutupi kegelisahannya, ia ingin mual sekarang!

"Ayolah Jowan, nikmati musik ini," gumam Emma, ia menggenggam tangan Jowan lalu mengayun-ayunkanya mengikuti irama musik.

Pria Jawa itu sedikit beruntung karena Emma tidak berpakain minimalis seseksi perempuan-perempuan lain di tempat itu. Lantaran itu ia masih bisa bertahan menghadap Emma sampai detik itu.

"Emma! Toilet sebelah mana? Aku mual!" Jowan menarik tangannya dari genggaman Emma, lalu menutup mulut untuk menahan rasa mualnya.

"Sebelah sana!"

Jowan berlari ke arah Toilet, menyenggol beberapa orang di  depannya. Ia menggapit hidungnya dengan jari. Musik itu masih menggaung di otaknya, bising para orang-orang yang histeris berteriak kesetanan mendengarkan musik gila membuatnya muak, mual! Ia lantas terburu-buru memuntahkan isi perutnya ke dalam wastafel.

Sial! Jowan berpikir keras di hadapan cermin. Mengangkat satu alisnya, mengusap bibirnya yang basah dan kotor. Lalu berkumur-kumur. di tempat ini ia benar-benar marasa buruk. Tempatnya yang buruk, atau aku yang buruk? Hatinya berdebat.

Suara langkah berdentum dari pintu masuk. Frank menatap skeptis pria pendek berkulit cokelat dengan style kampungan; hoodie pink dan celana jeans hitam. Astaga! Ternyata ini pacar baru Emma, seleranya buruk sekali!

Ia sekonyong-konyong menutup kran wastafel di hadapan Jowan, membuat Jowan terkejut. Lalu Frank tersenyum merendahkan. "Hai," sapanya.

Jowan hanya terdiam, menatap lamat-lamat pria rupawan di hadapannya. Siapa dia?

"Frank Linggard." Frank mengulurkan tangannya. Matanya sayu, beberapa menit lalu ia kenyang menghabiskan dua botol minuman keras. "Salah satu anak dari seorang konglomerat di London," lanjutnya.

"Hai." Jowan menjabat tangannya. Memaksakan diri untuk tersenyum agar terlihat ramah. "Aku Jowanto Adiningrat, anak dari juragan kentang di Dieng."

"Wahh hebat." Frank menepuk pundak Jowan, lelu melipat tangannya di dada. "Kau pasti memberi Emma selusin karung berisi Kentang, sampai Emma mau menjadi pacarmu. Betul?"

"Ah?" Jowan tak paham arah bicara Frank. "Kau kenal Emma?"

"Aku Frank. Kandidat terbaik untuk masa depan Emma, tapi dia justru memilihmu."

"Ya dia memilihku." Jowan terkekeh lirih. Merasa lucu, kenapa juga Emma harus memilih dirinya? Seharusnya Emma memilih pria di depannya atau pria di luar sana juga banyak yang jauh lebih gagah darinya.

Untuk Frank, dilihat dari paras dan tampilannya, dia memang pantas menyandang sebagai kandidat terbaik, sekalipun dibandingkan dengan Nick yang berbadan atletis dan berkepala pelontos.

"Kenapa?" tanya Frank, kini tatapannya lebih serius.

Jowan tersenyum lagi, ia juga bertanya-tanya dalam hati. "Aku juga belum mengerti kenapa Emma memilihku."

"Apa kau punya sihir tertentu, kau punya mantra?"

Jowan terkekeh mendengar ucapan Frank. "Tidak-tidak. Mungkin aku hanya beruntung."

"Aku pernah memberi hadiah sebuah mobil untuknya ketika ia berulang tahun. Saat itu aku berharap ia akan tertarik kepadaku, tapi dia hanya tertarik pada mobilnya."

"Sungguh?" Jowan terkejut, matanya membesar ketika mendengarkan kisah perjuangan cinta Frank. Entah itu menakjubkan atau menyedihkan.

"Kau sudah memberikan apa untuk Emma?"

"Aku tak memberikan apapun," ujar Jowan, menatap kagum pada pria di depannya. "Aku justru dibayar untuk ini."

"Dibayar?" Frank menyitipkan matanya.

"Kau harus melanjutkan perjuangan cintamu Frank. Aku di sini hanya menjadi pacar bayaran untuknya. Setelah dua bulan, mungkin hubungan kita sudah selesai," gumam Jowan. Dengan polosnya, ia membeberkan rahasianya. Dia tidak lebih baik dari seorang idiot lugu.

"Sungguh?" Frank terkejut, matanya yang sayu berubah menjadi tajam. Ia tidak menduga-duga, ternyata Jowan hanya pacar bayaran.

"Kau adalah kandidat terbaik untuknya."

"Untuk apa dia membayarmu untuk menjadi pacarnya?"

"Untuk sementara ini dia merasa risih didekati pria-pria yang hanya memandangnya dari wajah dan materi. Dia berpikir, mereka akan menjauh jika aku menjadi pacarnya. Itu katanya."

Frank menalan ludahnya kasar. Ternyata ini yang dipikirkan Emma selama ini. Apakah yang dimaksud Emma adalah Frank? Sejak bertemu Emma, Frank memang langsung terpincut dengan parasnya yang menawan bagai karakter-karakter kartun cantik di dongeng-dongeng Desney, dan Frank membayangkan dirinya sebagai pengerannya. Tapi, apa lantas Emma menganggap Frank hanya memandang paras rupawannya saja?

"Apakah kau tidak benar-benar menyukai Emma?" tanya Frank.

"Emma adalah wanita yang sangat cantik untukku, tapi aku harus tau diri. Aku merasa tak pantas untuknya."

Sekejap ketika mendengarkan ucapan Jowan, Frank merasa tertampar. Pria pendek di hadapannya sangat rendah diri. Dia terbingung-bingung, kenapa Jowan masih merasa tidak pantas ketika dia bisa membuat senyuman tulus di wajah Emma? Frank benar-benar melihat pancaran senyum Emma ketika ia menari-nari di hadapan Jowan. Emma tampak bahagia. Dan Jowan benar-benar rendah diri, tidak seperti dirinya yang sombong meski sudah ditolak beberapa kali oleh Emma. Tapi untuk sekian detik lagi, persetan dengan kerendahan hati pria di depannya, Frank akan menyingkirkan parasit pendek ini!

"Aku harus melakukan yang terbaik untuk Emma, untuk beberapa minggu ke depan." Jowan menepuk pundak Frank, merasa iba setelah mendengarkan kisah cintanya, kisah membelikan hadiah mobil untuk Emma. Mendengarnya saja, dompet Jowan seperti meronta-ronta iri.

"Bagaimana jika Emma benar-benar mencintaimu?" tanya Frank.

Jowan terkekeh lagi. "Jangan melucu," ujarnya menghalau ucapan Frank dengan hempasan tangan.

"Semuanya bisa terjadi," ujar Frank.

Jowan terdiam sejenak, semuanya bisa terjadi. Ucapan Frank ada benarnya, namun... "kemungkinannya kecil. Tapi jika dalam beberapa minggu ini ia benar-benar mencintaiku....." Jowan berpikir sejenak apa yang akan dilakukan jika kemungkinan kecil itu terjadi. "Aku akan menjadi pesaingmu Frank."

"Jangan macam-macam denganku!" Nada ucapan Frank kini meninggi, ia terintimidasi dengan perkataan Jowan.

"Tenang saja Frank. Ini hanya kemungkinan terkecil," ujar Jowan. "Sekarang aku harus kembali menemui Emma, terimakasih dengan perkenalannya." Jowan menepuk pundak Frank sekali, sebelum akhirnya meninggalkannya sendiri, lalu pergi menemui Emma.






Play List :
Come on Eileen (ost The Perks of Being a Wallflower)



Terimakasih sudah membaca,
Jangan lupa ditaburi bintang agar author semangat nulisnya...



Pays to Be a LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang