Bab 57

45 5 0
                                    

Sementara di tempat lain, Queen Mary's Garden menjadi pijakan terakhir bagi Jowan dan Emma. Taman bunga mawar di London yang menyuguhkan suasana romantis dan pemandangan indah itu menjadi awal mula gejolak perasaan khawatir, dan hingar bingar kata per kata hanya untuk berakhir dengan ucapan perpisahan.

Mereke duduk hening di banch menghadap bunga-bunga itu yang diselingi oleh tiupan angin spoi-spoi. Sesekali Jowan melirik ke arah Emma sambil berpikir untuk memulai kata-katanya. Raut wajah wanita itu menampakan kecemasan seperti sudah tahu bahwa hari ini ia tengah menunggu keputusan dari Jowan tentang jalan hidupnya setelah wisuda ini. Barangkali hatinya sudah berteriak-teriak rintih jika pada kenyataannya harapan itu pudar menjadi realita yang lebih berlogika. Barangkali memang Emma terlalu berharap.

"Kuharap aku bisa melihat senyummu hari ini," kata Jowan. Ia menoleh ke arah Emma, lalu dibalas dengan senyuman oleh Emma sesuai permintaannya. "Dua hari lagi mungkin aku akan ke Indonesia," katanya. Ia menghela napas, merelaksasikan rasa sesaknya. "Tentang perjodohan itu ternyata benar." Kalimat itu seperti berat untuk diucapkan lewat bibirnya, terlebih berada di hadapan Emma.

Hati Emma tersentak, seperti seseorang memukul hati itu. Angin spoi-spoi itu beralih menabraki rambut Emma hingga beberapa helainya mengibas-ngibas di wajahnya yang mulai berkaca-kaca. Awalnya bibirnya seperti beku oleh kesedihan itu, namun ia berbicara juga. "Aku hargai keputusanmu."

"Maafkan aku," kata Jowan sambil menghela napas lagi. Sedetik kemudian air matanya mengalir juga meski sigap langsung menyekanya di hadapan bunga-bunga itu.

"Tidak apa-apa." Emma berusaha tersenyum meski air matanya mengalir menghiasi wajah. "Jazil benar-benar cocok denganmu, dia juga memiliki latar belakang yang sama denganmu mengenai budaya dan agama."

Jowan tak tahan dengan air matanya. Ia menangis di tempat itu dengan suara rengekan kekanak-kanakan, disusul dengan beberapa suara tarikan napasnya di hidung yang mendadak terserang flu. "Astaga. Kenapa aku harus menangis seperti ini."

Emma hanya tersenyum-senyum sambil berdera air mata melihat Jowan menangis seperti itu. Baru kali ini dalam hidupnya melihat orang dewasa menangisnya seperti anak SD. Ia kemudian beranjak dari tempat duduknya dan beralih untuk membungkuk tepat di hadapan bunga mawar itu, lalu yang ia lalukan adalah memetik sehelai mahkotanya dan didengusnya aroma harum dari mahkota bunga mawar itu untuk meredakan hingar bingar kesedihannya tentang kata-kata perpisahan. Sehalai mahkota itu kemudian lepas dari tangannya dan melayang-layang terbawa oleh angin sampai terjatuh lagi dan entah dimana keberadaannya. "Pukul berapa tepatnya kau akan lepas landas?" tanya Emma yang dibarengi dengan lirikan matanya ke arah Jowan.

"Sore hari, setelah maghrib barangkali," jawab Jowan.

"Bolehkan aku meminta sesuatu untuk yang terakhir kali?"

"Apa?"

"Temani aku ke acara resepsi pernikahan temanku. Kau masih ada waktu kan sebelum pergi ke London?"

"BAku masih ada waktu."

***

H-2 kepulangan Jae-yong ke Korea, ia dan Eliza masih sempat menghabiskan sisa-sisa kebersamaannya dengan mengelilingi sudut-sudut kota menggunakan sepeda. Sambil mengabadikan dirinya bersama kota megah -London- itu dengan kamare sewaan, Jae-yong mencuri-curi wajah Eliza untuk dipotret ke dalam kameranya.

"Mari kita foto berdua, abadikan kisah yang katamu absurd ini. Kau bisa memajang wajahku di dinding kamarmu nanti," ujarnya diselingi dengan tawa.

Jae-yong hanya mengangguk dan tersenyum. Ketika seseorang melintas di depannya, dengan sigap ia mencegah langkahnya dan sekonyong-konyong memberikan kemara itu dan meminta orang itu untuk mengambil gambar dirinya bersama Eliza di depan salah satu gedung autestik kota London.

Setelah itu, mereka kembali melanjutkan genjotan sepedanya, mencari spot-spot indah lainnya untuk dipotret selagi ada kemara sewaan dan masih bersama menghirup udara di kota London. Hal yang paling menyenangkan adalah mendengar senandung-senandung dan siulan-siulan tak jelas dari mulut Eliza, dan raut-raut wajahnya yang gila namun tidak meninggalkan kesan menawan di bawah terpaan angin yang malawan laju sepedanya. Barangkali di hari terakhirnya bersama Jae-yong, ia harus benar-benar bahagia alih-alih harus merenungi kesedihannya yang tak berguna.

Di lain tempat, Si Aneh Nick tengah melakukan gladi bersihnya bersema beberapa grup musik jazz yang diundang di acara resepsi pernikahan temannya -Victor dan Margot-. Nick melakukan peragaan tari kpop -Girl Generation - Gee- dengan baik meski tak meninggalkan kesan kaku. Setelah berlatih berhari-hari sampai rambut wignya rontok satu persatu dan kakinya kram beberapa kali, akhirnya ia bisa bernapas lega dan bisa menampilkan tarian ini dengan baik di hadapan Eliza nanti, yaa pertunjukan ini bukan ditujukan kepada tamu undangan lain terlebih yang tek mengenal Kpop.

"Aku sungguh tak sabar," ujar Nick. "Aku tak sabar ingin melakukan ini di depannya."

"Kau sudah bekerja keras kawan," puji Victor sambil menyeringai memamerkan gigi-gigi putihnya dan melemparkan sebungkus keripik kentang ke arah Nick.

"Menurutmu apa yang harus kulakukan setelah ini?" tanya Nick ketika ia duduk di tepi panggung itu dan menghela napas setelah melakukan beberapa gerakan tarian.

"Kau harus mempelajari apa yang Eliza sukai termasuk semua hal tentang kpop," Victor mengalihkan badannya, duduk di samping Nick. "Ajaklah dia jalan-jalan, dan berbicara mengenai kpop seakan kau benar-benar fanboy of kpop. Kalau bisa, belikan dia tiket nonton konser EXO di kota ini."

Nick mengangguk-angguk. "Aku akan mencobanya. Kali ini aku tak mau gagal lagi."

"Kau harus tahu. Orang biasanya akan nyaman jika pasangannya satu frekuensi dengannya. Kalau bisa, kau harus benar-benar menyukai kpop untuk menghindari sandiwari. Tapi lalukan dengan cara alami, jangan memaksakan diri."

Nick mengangguk-angguk lagi. "Aku akan mencobanya."





Pays to Be a LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang