Bab 32

45 5 0
                                    

"Emma!" seru Jowan lirih ketika tangan Emma disandarkan pada pundaknya, dan satu tangannya lagi saling mengenggam. "Aku sungguh tidak bisa berdansa," raungnya.

Emma tersenyum-senyum elok, memaju mundurkan menggeser kanan kiri kakinya mengikuti alunan irama dansa. Semua itu membuat Jowan kelabakan, sampai mengoceh-ngoceh bukannya melakukan hal yang lebih romantis semisal melontarkan pujian 'kau sangat pandai berdansa, kau sangat elegan, malam ini kau cantik dan wangi', atau semacamnya. Ketika wajah mereka saling berdekatan setidaknya ia mengajak Emma bicara, bukannya mengacau. Sejujurnya, dari sekian banyak pasangan dansa yang bermain di area, Jowan dan Emma adalah yang terburuk. Si Anak Rumahan itu, jangankan berdansa, melakukan tarian jawa pun ia sangat kaku seperti wayang golek.

"Emma," kata Jowan lagi. "Hentikan-hentikan."

"Anggap saja ini latihan," ujar Emma. "Kau harus bisa berdansa jika ingin bertahan menjadi pacar orang kaya."

"Bukan itu." Jowan melepaskan genggammannya, dan meneruskan genggaman itu pada daerah vitalnya sementara satunya lagi mengapit pada bagian duburnya. Ia meraung-raung lirih, membungkuk tidak tertahankan lagi untuk melaksanakan keinginan buang air. "Aku kebelet," cetusnya.

Emma menelan napas dengan mulut, wajahnya merah padam. Ia malu. "Pergi ke toilet sana! Jangan bertingkah anah." Beberapa orang yang tadinya sibuk berdansa bahkan menoleh ke arah Jowan yang terlihat bertingkah aneh di pandangan mereka.

Jowan terbirit-birit ke toilet. Langkah larinya sangat kampungan dan tidak sopan, ia mungkin merasa tempat ini adalah pasar tradisional yang sering ia kunjungi sewaktu kecil di Jawa dulu, lalu menumpang berhadas di toilet umum. Batin orang-orang yang melihatnya mungkin terheran-heran dalam hati, seorang Emma baru saja berdansa dengan pria bertingkah aneh itu alih-alih mengira bahwa Jowan tengah menahan dahaga ee'.

Setibanya, Jowan menyeruak ke dalam toilet, membuka celana dengan kasar dan memposisikan pantatnya pada lubang wc. Ia mengejan beberapa detik sebelum akhirnya bernapas lega pada pembuangan pertama.

Ketika itu Nick baru saja menuntaskan hadas besarnya setalah 30 menit mendekam dalam kenikmatan, ia melangkah melewati garis pintu toilet dan mendapati Jowan tengah berlari secepat The Flash menabrak pintu toilet sebelahnya. Nick memicingkan mata, ia bersandar pada dinding yang yang menjadi sekatan dua toilet itu, menunggu pria itu keluar sambari mendengarkan hembusan-hembusan napasnya dari luar toilet.

Bajingan itu lama sekali.

15 menit kemudian Nick mulai jemu. Ia terjongkok sambil terus memainkan ponsel-ponselnya dan memakan beberapa cemilan pesta yang diam-diam ia simpan di dalam saku celana. Pria pendek itu belum juga keluar dari toilet, atau jangan-jangan ia tertidur? Nick akan mencekeknya jika ia keluar nanti.

Pintu toilet itu terbuka, Jowan menarik langkah kaki sajak pintu itu dibuka, namun ia mengurungkannya karena Nick tahu-tahu sudah memasang badan di hadapannya. Pria botak itu memasang wajah garang, dan dadanya sengaja dibusungkam dengan berharap Jowan akan takut padanya dan bersujud-sujud meminta ampun.

Seperti yang sudah-sudah, alih-alih takut Jowan justru mengumpat, "Kau menghalangi jalanku pria botak."

Nick masih mengunci mulutnya, matanya ditajamkan semacam singa botak yang hendak menerkam.

"Kau mau buang air? Atau kini kau bekerja sebagai penjaga toilet?" Jowan mengeluarkan dompetnya, dan mengambil lembaran uang sejumlah 20 Poundsterling yang kemudian disodorkan ke arah Nick. "Ini untukmu tukang jaga toilet," ujar Jowan dengan tampang meremehkan.

Nick merampas uang itu kasar, ia marajuk. "Masih kurang!" gayanya kini bertolak pinggang dengan harapan yang sama. "Kembalikan uang yang 100 Pounds itu!"

Pays to Be a LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang