Ratna 'Si Setan Kampung', menyunggingkan senyum di depan garis pintu. Dan Jowan mulai jengah melihatnya. Bagaimana bisa ia bertemu dengannya lagi di tanah Eropa yang jaraknya teramat melampaui kata 'jauh sekali' dengan tanah Jawa. Ini benar-benar buruk untuknya, melihatnya lagi seperti menelan sebuah suplemen kesehatan yang sudah kadaluarsa, alih-alih sehat palah akan menimbulkan penyakit.
Jowan masih bergeming, sementara Ratna manaik turunkan alisnya, berlagak polos. "Ternyata benar kata Kak Jessy, Mas Jowan tinggal di sini," ucapnya, sekali itu menyeringai lebar.
Jowan memasang wajah cuai, dua tangannya dilipatkan di dada. Lambat laun wajahnya menjadi lebih masam terpangaruh oleh kedengkiannya. "Kamu nyasar apa gimana?"
"Enggak nyasar Mas, lah aku emang cari Mas Jowan. Aku mulai kuliah di sini bulan depan Mas, makanya datang lebih awal biar persiapannya matang."
"Terus?"
"Ya aku minta tolong dong Mas."
"Tolong apa?" Wajah Jowan semakin menyengat, tidak pantas untuk dipandang.
"Tolong cariin kost atau apalah buat tempat tinggalku."
"Kenapa mendadak gini si?! Kenapa nggak minta tolong sama Jessy?!"
Ratna hanya diam mengatupkan mulutnya. Ekspresinya nampak kebingungan entah apa yang akan ia lakukan jikalau pria yang pernah ia sakiti beberapa tahun lalu mengusirnya mentah-mentah. Padahal di tanah Eropa yang asing baginya ini ia tak tau lagi mau meminta bantuan ke siapa selain Jowan satu-satunya orang yang ia kenal, sementara keberadaan Jessy tak diketahui sebab ia hanya berbincang-bincang dengannya melalui chat.
Jika bukan kerena orang tua yang mendesak dirinya untuk melanjutkan jenjang pendidikan di luar negeri, Ratna tidak akan terjebak di situasi seperti ini dimana semua objek di pandangannya terkesan asing termasuk Jowan yang sudah berubah sikap jauh-jauh hari sebelum ia sampai di hadapannya. Meskipun Ratna terbilang pandai di bidang akademi dan selalu mendapat peringkat paralel di sekolah, tapi sejak lahir ia tidak punya mimpi apapun, tak pernah berpikiran jauh sempai menginjak tanah negara asing apalagi sampai melalang buana ke Eropa. Di sekolah, ia hanya mengejar nilai tinggi tanpa tau tujuan hidupnya, lalu ketika ayahnya mendesaknya untuk pergi ke Eropa ia lantas kelabakan dalam hati meski sulit untuk membantahnya.
"Masuk dulu," ujar Jowan.
"Nggak papa?"
"Jangan sok jual mahal," cerocos Jowan . "Kamu kan dari perjalanan jauh, istirahat dulu. Ayo," perintahnya. Suaranya agak memekik sebab memory kekesalan masa lalu yang belum mereda, meski begitu ia lebih memprioritaskan sisi kemanusian alih-alih meluapkan sisi egonya. "Nanti kucarikan tempat tinggalmu di sini. Tenang saja."
"Baik Mas." Ratna masuk ke dalam ruangan itu, duduk di kursi makan dengan gestur yang begitu sopan. Kakinya dirapatkan dan sepasang tangannya berpangku pada paha. Entah ia sedang membersihkan harga dirinya di depan Jowan, atau memang sikapnya sudah berubah. Biasanya, orang sekarang jika didiamkan bukannya memulai sebuah obrolan palah sibuk sendiri memainkan ponsel. Tapi wanita yang satu ini tidak keduanya, dia hanya diam seperti benar-benar tersesat jauh ke Eropa.
Jowan sibuk membuatkan teh hangat untuk Ratna. Dia masih mau berbaik hati. Mau bagaimana lagi? Jika bukan dia yang mau menolong wanita sekampungnya itu, siapa lagi coba? Ini tanggung jawabnya karena Ratna tidak kenal siapa-siapa di negara ini kecuali dirinya dan Jessy barangkali. Jika mau jahat-jahatan dalam kebaikan ini, sudah daritadi Jowan menyuguhkan teh dingin bekas liurnya Jae-yong.
"Kamu sendiri ke Eropa?" Jowan membuka obrolan, ia menarik langkah menuju meja di hadapan Ratna dan menaruh teh hengat itu ke hadapannya. Sedetik kemudian, tumpukan roti tawar dan selai cokelat ia taruh untuk menamani segelas teh di hadapan Ratna.
"Iya Mas," jawab Ratna.
"Ryan, pacarmu yang nama lengkapnya seubrek itu kenapa nggak bantu kamu?" Jowan memposisikan dirinya di meja belajar, sengaja menyibukan diri membuka lembaran-lembaran tugas mata kuliah daripada harus bertatapan dengan Ratna, yang pada benaknya masih ia juluki 'Setan Kampung'. "Setidaknya ngantarin kamu cariin tempat tinggal atau apalah," lanjutnya. "Dia kan anak sultan Wonosobo, masa pacarnya kayak dilantarin gitu."
Ratna terdiam untuk sesaat, menelan ludahnya kasar. Teh buatan Jowan seperti tanpa gula, pahit sekali ketika lontaran Jowan terdengar seperti menyindir daripada hanya sebuah pertanyaan. "Aku dan mas Ryan udah putus."
"Oh iya... kamu pasti nggak mau LDRan, makanya mutusin Ryan. Kan?"
"Bukan Mas," tanggap Ratna. Lagi-lagi Ratna harus menelan ludahnya lagi sembari mengerjap-ngerjapkan matanya. Jowan terus menyindirnya. "Mas Ryan yang mutusin."
Sekonyong-konyong Jowan terkekeh. Entah kenapa, ia ingin saja tertawa, barangkali alam bawah sadarnya suka bersenang-senang di atas penderitaan orang lain. "Kenapa dia mutusin?"
"Nggak mau LDRan katanya."
"Bagus deh. Biar kamu tahu rasanya digituin."
Ratna mengulum bibirnya lamat-lamat, berlangsung selama dua menit, geram dengan segala sindiran pria itu. Matanya tajam menetap punggung berbalut sweater abu-abu Jowan yang tengah membelakanginya. Sudah lelah dari perjalanan, lalu dilelahkan lagi dengan kata-kata yang menguras emosi di hati.
"Ryan sama kamu berarti nggak ada bedanya, bisa jadi jodoh si," gumam Jowan lagi, setelah mulutnya break selama 3 menit lebih.
Sudah tak tahan lagi, Ratna beranjak dari kursi dalam ekspresi muram durja. "Aku minta maaf Mas perihal masa lalu," ujarnya sembari mengepalkan tangan. "Kalau niat Mas hanya mau memanas-manasi hati Ratna, lebih baik sudah sejak tadi aku nggak ke tempat ini."
Sementara Jowan agaknya tergemap dengan sikap marajuk Ratna. Baru saja ia kira sikap wanita itu sudah berubah, ternyata itu hanya sampul untuk mencari simpati. Dan kini sikap serigalanya meluap, amarahnya seperti yang dilakukan di hadapan Jowan beberapa tahun lalu ketika berada di bangku SMA. Jowan tak asing lagi dengan kelakuan Ratna.
"Serius?" tanya Jowan enteng.
Ratna melangkah terburu-buru menuju pintu dengan luapan emosi di wajah sembari meraih trolley kopernya, hendak pergi meninggalkan ruang tempat tinggal Jowan. Tak kalah sigap, Jowan berlari ke arah pintu dan buru-buru berdiri di depan pintu menghalangi jalan Ratna yang tengah terkobar emosi.
"Kamu mau ke mana?" Jowan merentangkan tangannya, sebagai tanda penghalang jalan.
"Apa pedulinya Mas?"
"Kamu baru tiba di negara orang lain kan?" tanya Jowan. "Jangan sembarang bertindak, nanti kesasar-sasar. Walaupun Inggris negara maju, tidak menutup kemungkinan ada kejahatan semacam penipu dan lain-lain di negara ini."
Ratna menghela napas, kesal. "Aku mau cari kak Jessy."
"Tau?" Jowan melotot. "Tau alamatnya?"
"Bisa tanya."
"Gini aja," kata Jowan sambil memicingkan mata beberapa kali. "Ruang sebelah itu kosong. Alangkah baiknya kamu tinggal di situ, jadi kalau ada apa-apa kamu bisa minta tolong ke aku."
Ratna memudarkan amarahnya, berubah menjadi mimik kebingungan. "Kok mas kayak bunglon gitu? Berubah-ubah sikap," ujarnya. "Tadi nyindir-nyindir, sekarang kok baik?"
Jowan masih bergeming untuk sesaat, memilah-milih kata yang tepat untuk dilontarkan ke hadapan Ratna agar tak ada kesan menyinggung lagi. "Aku berusaha menolong sesama orang yang membutuhkan bantuan tanpa membawa-bawa perasaan. Apalagi kamu satu kampung denganku. Aku sedang berusaha," ujarnya. "Lagipula, Ibuku baru saja berpesan untuk menjagamu di sini."
Ratna memalingkan wajahnya, mimiknya kini bersalin menjadi masam. Ia melepaskan genggamannya di trolley koper.
•
•
•
Play List
D'Masiv - Cinta Ini Membubuhku
•
•
Terimakasih sudah membaca, jangan lupa vote
KAMU SEDANG MEMBACA
Pays to Be a Love
RomanceApa jadinya bila Pria Jawa dan Wanita Eropa saling mencintai? Emma Handerson seorang mahasiswi jurusan sastra Inggris yang susah payah melupakan mantan pacarnya. Setelah hubungannya dengen Tommy Wayne renggang, ia merasa risih didekati oleh banyak p...