Seminggu setelah wisuda berlalu, waktu seakan berjalan normal seperti biasa, tanpa konflik yang dipertontonkan, tanpa masalah yang diperlihatkan. Namun tidak untuk keripuhan yang bergejolak di pikiran Jowan dan Jae-yong. Alih-alih bisa menyegarkan pikiran setelah masa-masa kuliahnya usai, mereka palah dilibatkan dalam masalah batin yang tak berkesudahan. Memang semestinya mereka cepat-cepat ambil keputusan yang tepat sebelum rambut di kepalanya rontok satu per satu akibat runyam isi otaknya sendiri.
Baru setelah itu, tampaknya benih-benih air mata mulai mencuat menggenangi pelupuk mata. Jae-yong memberikan obrolannya yang terakhir kali sebelum ia akan pulang ke kampung halaman 3 hari lagi. Mereka -Eliza dan Jae-yong- duduk di sebuah banch yang menghadap ke arah jalanan area Little Venice.
"Aku akan pulang ke Korea tiga hari lagi," ujarnya. "Urusanku di negeri ini sudah selesai." Pandangan itu tak teralihkan, lurus memandangi perahu-perahu di tepian sungai.
"Ajaklah aku ke Korea," bujuk Eliza dengan gaya centilnya sambil bersandar di pundak Jae-yong. "Aku juga ingin jalan-jalan ke SM Town.'
Jae-yong menggelengkan kepalanya. "Jangan."
Sontak tanggapan itu membuat Eliza bangkit dari sandarannya, dan beralih memindai ke arah Jae-yong sambil berekspresi curiga. "Kenapa?"
"Pergilah sendiri. Kau kan kaya." Ucapan itu seperti sebuah candaan, tapi bukan.
"Aku ingin pergi bersamamu, berjalan-jalan di SM Town."
"Jangan," kata Jae-yong lagi.
"Kenapa?"
"Akan kukembalikan sepedamu besok, sisanya akan kukembalikan kapan-kapan," ujar Jae-yong membuat Eliza agaknya tersentak.
Wajahnya mulai berekspresi cemas dan kekhawatiran menghantuinya. Suasana romantis di Little Venice berubah menjadi ketidaknyamanan. "Sisanya apa maksudmu?" tanyanya. "Kenapa?"
"Uang yang kau berikan kuanggap itu hutang, karena aku tak berhasil menyukaimu."
Pria Korea itu menolah ke arah Eliza yang tampak di area wajahnya sudah marajuk murka dengan sikap tak terduga. Wanita itu mulai berkaca-kaca di tepi jalan itu, menatap pria berponi yang baru saja melukai dirinya dengan ucapan 'aku tak berhasil menyukaimu'.
"Kenapa harus sepeti ini?" Satu tetes air matanya terhempas angin hingga menggiringnya mengalir di tepian hidung mancungnya.
"Sudah kubilang. Aku akan pulang ke Korea. Aku tak akan ke London lagi dalam waktu dekat," kata Jae-yong. "Mari kita akhiri saja hubungan ini."
"Aku tidak mau."
"Eliza." Jae-yong menoleh ke arah Eliza, kini tatapannya iba melihat rengekan tangis wanita itu. Perlahan, tangannya bergerak menyentuh pipi Eliza, lalu dihapusnya air mata itu. "Kau sudah tahu dari awal. Aku menjalin hubungan denganmu karena uang." Eliza menyingkirkan tangan Jae-yong dengan kasar, wajahnya kini sendu bercampur marah. Sementara Jae-yong kembali memalingkan pandangannya, dan menatap lagi ke arah depan memandangi perahu di tepian sungai itu yang sudah mulai bergerak untuk bermuara dengan beberapa penumpang di dalamnya. "Lagipula ayahmu tidak setuju jika kau berhubungan dengan pria miskin sepertiku."
"Ayahku tidak pernah mengatakan seperti itu." Suara Eliza mulai serak dan tak berhenti memandangi Jae-yong dengan ketidaknyamanannya.
"Beberapa waktu lalu, ayahmu memergokiku di tempat kerjaku. Dia menyuruhku untuk menjauhimu. Katanya aku tak pantas bersanding denganmu, keluargamu punya standar tinggi dalam memilih anggota keluarga, dan dia sudah tahu kalau kita berbohong."
"Sungguh?" Dalam tangisnya, Eliza berekspresi tak percaya.
"Kalau tak percaya, tanya saja pada ayahmu," ujar Jae-yong. "Selama berhubungan denganmu, pikiranku bergejolak ripuh karena bersanding dengan anak orang kaya sepertimu. Itu sudah seperti beban bagiku. Ketika aku berusaha mencintaimu karena kebaikanmu, tapi aku tak bisa dan alih-alih palah menganggapmu sebagai teman dan sekaligus atasanku yang membayarku setiap bulannya. Kupikir aku ingin mengakhiri hubungan tak wajar ini dan menjalin pertemanan saja denganmu. Lagipula apa yang kau harapkan dariku? Aku mungkin tampan, tapi tampan bisa menjadi biasa-biasa saja karena bosan melihat setiap hari dan kemudian rasa kagum itu bisa memudar. Apa yang kau harapkam dariku? Aku tidak kaya dan perasaanku padamu juga tidak tulus. Tapi bagaimanapun terimakasih sudah menjadi teman mengobrolku setelah masa-masa yang membosankan di kota megah ini."
Eliza merangkul pinggang Jae-yong sambil terus berdera air mata. Kepalanya kembali disandarkan pada pundak Jae-yong. "Aku akan berusaha menerima keadaan ini," ujarnya. "Selama 3 hari ini, aku ingin habiskan waktu bersamamu. Singkirkan dulu perasaanmu yang kau anggap diriku hanya teman."
Jae-yong menolah ke arah Eliza dan mengangguk. "Sudah. Jangan menangis lagi." Ia mengelus rambut Eliza dengan lembut. "Meski aku akan pergi ke Korea, tapi kisah absurd ini tak akan kulupakan. Hubungan yang berawal dari keanehan."
Eliza tak menghentikan tangisannya, malahan air matanya itu kebas membasahi pundak Jae-yong.
"Barangkali, jika nanti aku sudah menjadi kaya, aku bisa liburan ke negeri ini lagi mengenang kisah aneh lagi dan menemui temanku, Eliza. Semoga kelak kau sudah tak berperasaan lagi kepadaku dan hidup lebih bahagia dari hari-hari yang lalu, dari hari ke hari."
Meski dalam perasaan sedih dan dalam keadaan menangis, Eliza merasa janggal saja mendengar Jae-yong yang tiba-tiba benyak bicara dan agaknya berpuitis di beberapa kata. Namun ia terus melanjutkannya kesedihannya sambil terus membatin dan berharap mendengar ocehan pria Korea itu lagi.
"Mianhae," gumam Jae-yong.
"Gwaenchanayo," balas Eliza, masih terus bersandar di pundak Jae-yong dan mendekap pinggang pria Korea itu. "Aku juga tidak membutuhkan uang itu lagi. Tidak perlu mengembalikan uang-uang itu lagi kepadaku."
"Aku akan mengembalikannya."
"Aku akan menolaknya."
"Akan kutransfer ke rekeningmu."
"Tidak mau!" pekiknya. Ia bangkit dari sandarannya, lalu menghapus air matanya dan tersenyum sumringah. Sekonyong-konyong ia menengadahkan kedua tangannya sambil berekspresi memelas.
Jae-yong hanya bingung dengan sikap 'tiba-tiba' wanita itu. "Apa maksudnya?"
"Jika mau bayar kembali, bayar sekarang kepadaku. 10 detik dari sekarang! Jika tak bisa, hutangmu dianggap lunas," ujar Eliza bersemangat. Ia mulai menghitung dari detik pertama. "Satu, dua, tiga....."
Jae-yong hanya menggeleng-geleng kepala mendengar perjanjian tak waras itu "Perjanjian macam apa?" Ia merajuk kesal. "Kau bercanda."
"Tuju, delapan, sembilan, sembilan setangah...... sepuluh!" Eliza melambai-lambaikan tangannya, seperti sejanak melupakan kesedihan akan saat-saat terakhir bersama Jae-yong. Tangannya meremas-remas bahu Jae-yong dengan gemasnya. "Yeeee! Hutangmu lunas! Kau tak perlu membayarnya lagi! Karena kau terlambat, 10 detik itu sudah berlalu." Eliza ramai begejolak dengan celotehnya, namun tatapan matanya tidak bisa berbohong. Tetap saja ia tengah merasakan kesedihan paling menyiksa.
Gejolak ramai itu padam setelah beberapa detik yang direspon dengan keheningam oleh Jae-yong. Air matanya berdera lagi di sandaran Jae-yong tanpa kerutan senyum lagi di wajahnya. Kedua tangannya perlahan merangkul lagi pinggang Jae-yong, seakan pria Korea dijerat dan tak boleh lepas dari jeratan itu sekalipun melangkah maju dalam satu pijakan saja.
"Aku sudah bingung caranya merespon kegilaanmu," ujar Jae-yong.
"Gwaenchanayo," kata Eliza. "Dua hari lagi, temani aku ke pesta pernikahan temanku. Temani aku untuk yang terakhir kalinya," pinta Eliza.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pays to Be a Love
RomanceApa jadinya bila Pria Jawa dan Wanita Eropa saling mencintai? Emma Handerson seorang mahasiswi jurusan sastra Inggris yang susah payah melupakan mantan pacarnya. Setelah hubungannya dengen Tommy Wayne renggang, ia merasa risih didekati oleh banyak p...