Bab 54

36 6 0
                                    

Di sudut kota-London- itu, Jowan terduduk dalam sebuah k0afe,  menunggu seseorang yang sudah cukup lama baginya tidak bertatapan mata dan saling berbicara. Dia adalah Emma, wanita yang mengasingkannya selama kurang lebih dua bulan ini. Tanpa diduga, sore itu ia mengajaknya bertemu, entah pembahasan apa yang ingin dibicarakan. Padahal Jowan kira semuanya sudah tamat, dan ia berpikir bahwa Emma mungkin sudah tak sudi berbicara dengannya atau bahkan sekejar berdiri di hadapannya, meski bermula dari masalah yang sepele -bagi Jowan-.

Jujur saja Jowan merindukan obrolannya bersama Emma. Andai saja situasinya lain, Jowan tak akan seripuh ini memikirkan perasaannya. Jika dikatakan cinta, Jowan mencintainya, namun berpikir realistis juga penting bahwa identitas mereka berbeda meski memijaki tanah yang sama. Pada akhirnya sesuatu akan berjalan sesuai dengan skenario Tuhan, karena itu yang Jowan percaya.

Lima menit kemudian, ketika kopi di hadapan Jowan meninggalkan setengah dari volume isi gelasnya, wanita itu datang dengan busana yang sedikit tertutup. Ia mengenakan celana kulot berwarna hitam, baju turtleneck hitam dibalut dengan jas abu-abu, dan rambutnya dikucir kuda dengan sedikit balutan kerudung hitam di area kepala hingga lehernya.

Meski Jowan agak terkejut melihatnya, namun suasana canggung memaksanya untuk menjaga sikapnya. Ia pun membuka suara setelah Emma duduk di hadapannya dan minuman pesanannya tiba.

"Apa kabar?" tanyanya.

"Baik," jawab Emma.

Setengah menit terdiam lagi, hanya bahasa mata dan gaungan musik kafe yang berbicara, selebihnya angin spoi-spoi dan bising kendaraan dari luar yang bergaduh. Jika ada lalat-lalat di situ, mungkin serangga itu yang akan memecahkan keheningan di antara lentar-lentara di kafe dengan suaranya yang mengganggu, namun Jowan tidak menyerah pada kecanggungannya.

"Aku kira kau sudah tidak sudi bicara  denganku," kata Jowan.

Emma menggelengkan kepala. Tanpa dugaan apapun, seketika matanya berkaca-kaca.

"Kenapa tiba-tiba mengundangku bertemu?" tanya Jowan.

"Aku berusaha sebaik mungkin untuk melupakanmu." Mata Emma berlinang air mata, meski wajahnya dibuat sedatar mungkin tanpa raut kesedihan di sana. "Aku berusaha melupakanmu, tapi karena kau terlihat setiap hari di kampus itu, rasa rinduku muncul dan semakin menyakitiku." Ia menundukan wajahnya sambil menyeka air mata, lalu kembali mendongak ke arah Jowan. "Aku tidak bisa menahan rinduku. Aku merindukanmu."

Jowan menggaruk keningnya. Hanya karena kumpulam kalimat Emma itu, matanya mulai berkaca-kaca juga, dan hatinya terenyuh. Ia melihat wajah Emma begitu tulus, sampai wanita itu menangis lagi di hadapannya. Ia berpikir Emma semacam memiliki dualitas kepribadian yang kadang angkuh namun di lain waktu ia terlihat rapuh.

"Lalu apa yang kau harapkan lagi dariku? Atau apa yang harus kulakukan?" tanya Jowan.

"Bisakah kita kembali menjalin hubungan sampai setelah wisuda nanti, atau sampai kita tahu tujuan kita masing-masing, sampai takdir berbicara dengan sendirinya tentang hubungan kita? Bisakah?"

Jowan tertawa mendengarnya sambil mengusap air matanya yang tak terasa sudah mengalir hingga ke dagu. "Aku kira kau ingin memintaku untuk mengembalikan semua uang pemberianmu."

Emma menatapnya tajam. "Tapi aku serius tentang ini. Aku ingin bersamamu sampai kita tahu apa yang sebaiknya dilakukan setelah wisuda nanti."

Jowan memicingkan matanya, kedua alisnya kompak bergerak ke atas. "Bagaimana jika perjodohan itu benar, lalu aku pulang ke Indonesia dan tidak kembali lagi ke London?"

Emma mengerutkan dahinya. Ekspresinya ripuh, dan tatapannya fokus tertuju ke arah Jowan. "Kutanya. Apa yang akan kau lakukan jika hubungan itu benar adanya?"

Jowan menggelengkan kepalanya, dan berekspresi bingung. "Aku belum tahu," ujarnya. "Tapi sulit jika memikirkan hubungan kita, sebab faktanya latar belakang kita berlainan. Dan dalam prinsipku, mendapat restu dari orang tua adalah penting."

Lagi, Emma menitikan air mata sambil terus memalingkan wajahnya. Kalimat Jowan sudah merujuk pada ketidakpastian dan sedikit kemustahilan pada hubungan ini. "Setidaknya, aku ingin didekatmu sampai kau benar-benar pergi dari London," ujarnya.

Senyum Jowan merekah meski matanya sendu. Di hadapan Emma, ia memancarkan energi cerah melalui ekspresi dan kata-katanya. "Aku juga ingin menciptakan kenangan indah bersamamu di kota ini. Jika aku tidak di kota ini lagi, jiwaku masih akan tersenyum di sini mengingatmu dan kenangan-kenangan yang kita buat," ucap Jowan dengan bibir yang gemetar memindai linangan air mata di pipi Emma. "Mari bersenang-senang selama kita masih bisa bertemu."

Emma menangguk-angguk mafhum, dan isakan tangisnya beruabah arti menjadi isak haru mendengar kepuitisan Jowan yang semena-mena mencuat dari bibirnya.

Sejak itu, seminggu sebelum wisuda, Jowan dan Emma menghabiskan waktu bersama mengelilingi kota London meski itu agak membosankan bagi Emma.

Pada gilirannya, pria Jawa itu mengajak Emma  ke bioskop menyaksikan tontonan film disney 'Beauty and The Beast'. Lalu mentraktirnya di sebuah restaurant Indonesia yang berdiri di London - Nusa Dua -. Mereka memesan dua porsi Soto Lamongan untuk disajikan pada malam itu.

"Karena aku pernah menawarkanmu rendang dan opor ayam tapi mendapat respon negatif darimu,  jadi kali ini aku ingin mengenalkan masakan Indonesia lain," ujar Jowan.

Emma menutup mulutnya dengan kedua tangan dan tertawa mendengar kata 'respon negatif'. Padahal waktu itu ia cukup menikmati sajian rendang dan opor ayam yang ditawarkan Jowan, tapi karena mood-nya sedang kacau, munculah semacam respon negatif itu yang padahal sama sakali tidak merujuk pada citra rasa makanan Indonesia -Rendang dan opor ayam- itu.

"Ini namanya Soto Lamongan," jelas Jowan. "Kau harus mencobanya, ini sangat enak."

Emma mengangkat alisnya, dan menampangkan ekspresi meremehkan. "Sungguh?"

"Coba saja."

Emma memulai beberapa suap dan mengangguk-angguk sambil meresapi rasanya. "Ini sangat enak. Nilainya 8.5 dari 10."

Senyum Jowan merekah dengan suasana kearifan lokal di restaurant itu seakan telah membawa wanita di hadapannya ke kampung halaman. Semestinya jika itu terjadi, pasti dia sudah mengajaknya keliling-keliling ke daerah Wonosobo menyaksikan panorama Dataran Tinggi Dieng dan beberapa lokasi wisata di sekitarnya, melakukan pendakian ke Gunung Sumbing sambil memandangi panorama Gunung Sindoro atau sekedar berjalan-jalan ke Kebun Teh Tambi dan Waduk Wadaslintang.

"Lain waktu, aku akan mengajakmu menyantap menu makanan Indonesia liannya," ujar Jowan.

"Kapan?"

"Semoga setelah wisuda besok, kita masih diberi waktu," ujar Jowan. "Sejujurnya, aku ingin sekali mengajakmu ke Indonesia. Kau bisa melihat banyak keindahan di sana."

"Ajaklah," kata Emma sambil tersenyum.

"Masalahnya, aku tak terbiasa mengajak orang luar ke kampung halamanku apalagi teman wanita," kata Jowan. "Perlu kujelaskan. Di sana, membawa wanita ke rumahnya yang bukan istrinya adalah hal yang sensitif. Jika itu terjadi, bisa jadi aku dan kau akan menjadi buah bibir oleh kalangan Ibu-ibu sampai ke kampung sebelah."

Emma menghela napas sambil sedikit terkekeh. "Aku tak memahami pikiran ibu-ibu itu. Tapi kau benar, ternyata kita memang tumbuh dari lingkungan yang berbeda."

"Tepatnya," tanggap Jowan. "Maksudku, kapan-kapan datanglah ke Indonesia bersama keluargamu. Aku akan menyambutmu."

Emma lantas mengangguk dan tersenyum.

Pays to Be a LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang