Emma memandang Jowan dengan tatapan sayu, tangannya meraba bahunya pelan. Ia sudah mabuk berat di pangkuan sofa, sudah tidak memperdulikan ceplas-ceplosnya di hadapan orang. Beberapa kali ia mengoceh tidak jelas sembari menunduk lalu mengangkat lagi kepalanya berulang kali.
"Jowan, ayo menari lagi," ujarnya lirih. Lalu merebahkan badannya lagi di sofa.
Jowan hanya terduduk diam, berulang kali memegangi kepalanya yang pening. Bukan karena miras, ia pening karena suasana klub malam yang penuh dengan kebisingan, siluet warna-warni menambah penderitaanya. Tatapannya jengah memindai ke arah Emma yang napasnya pengap berbau alkohol. "Kita pulang saja, ayo," ajaknya lalu menggenggam tangan Emma.
Jowan lantas memindai pandangannya pada pria berkulit putih dengan rambut hitam berponi yang sudah menghabiskan 1 jam lebih berjoget di kerumunan orang-orang, Jae-yong. Ia tampak menikmati suasana klub malam ini namun Jowan segera menepuk pundaknya, sudah saatnya mengakhiri waktu buruknya.
"Pulang!" Jowan menarik lengan Jae-yong, membawanya ke hadapan Emma yang terbujur lemas di sofa.
Emma mengangkat kepalanya pelan, tersenyum ketika pandangannya menangkap bayang-bayang wajah Jae-yong. "Hai orang korea, kau sudah puas menari-nari dengan Eliza?"
Jae-yong memandang kesal pada wanita cantik itu, bisa-bisanya ia semabuk ini. Merepotkan! "Ini tanggung jawabmu," katanya kepada Jowan.
"Ya kau harus tanggung jawab Jowan," sahut Emma memejamkan-mejamkan matanya sembari tangan kanannya terangkat hendak meraih Jowan.
"Aku ingin menbawanya pulang, tapi tidak tau rumahnya," ujar Jowan.
Jae-yong menghela napas, memposisika kedua tangannya di pinggangnya -- berkacak pinggang. Sekali lagi dibuat kesal oleh Jowan. "Kau pacarnya, kenapa tidak tau rumahnya?"
"Aku hanya pacar palsunya." Jowan berlagak bodoh.
"Mau pacar palsu atau asli, seharuanya kau tau." telunjuk Jae-yong mengguncam di hadapan Jowan. Ia memang kesal, tapi reaksinya terkesan berlebihan. "Kita pulang saja, biar Eliza yang membawanya pulang."
"Jangan-jangan."
"Kenapa?" Langkah Jae-yong dipaksa untuk berhenti ketika badannya hendak berbalik arah.
"Eliza juga dalam keadaan mabuk."
"Kalau begitu bawa pacarmu ke rumahmu."
"Ya." Ini keputusan yang sulit, tapi tidak ada pilihan lain. Jowan menarik lengan Emma, melingkarkan lengan Emma di lehernya, lalu mengangkat badannya dengan kedua tangan. "Carikan taksi hyung!" Ia berjalan terhuyung pelan menuju pintu keluar. Meski berbadan ramping, Emma terbilang berat untuk tenaga Jowan yang tek seberapa.
"Kau romantis sekali Jowan," ucap Emma, tersenyum di genggaman Jowan ketika mereka tiba di tepian jalan, mengharap taksi melewati jalan itu.
Siluat-siluat lampu jalan menambahkan kesan romantis di mata Emma yang tengah dimabuk alkohol. Namun bagi Jowan, ini tak lebih baik dari seseorang yang baru saja keluar dari goa lalu menghirup udara dengan bebas, meski bingar-bingar kebusukan goa itu masih tercium samar-samar dalam pelukannya.
~•●•~
Setibanya di kediamannya, Jowan membaringkan badan Emma di ranjang sambil menutup telinga sebab suara dengkuran Dirman yang sangat menganggu.
Pria Jawa itu meluruskan posisi kaki Emma, menempatkan kepalanya di atas bantal, dan menyelimutinya dengan kain selimut. Baru setelah itu, matanya melayangkan pandang menikmati keindahan wajah Emma. Meski dalam keadaan tertidur, pesona cantiknya tidak luntur. Visualnya benar-benar luar biasa.
Pukul 08.00 pagi, Emma membuka matanya perlahan. Dalam kesadarannya yang belum 100 persen, ia masih bisa meregangkan badannya, putar sana putar sini, meluruskan kaki dan tangan, lalu mengucek wajahnya yang kemudian terkaget-kaget ketika menemukan dirinya tengah berada di ruangan asing dan seorang pria tengah duduk di pojok ruangan sambil berkomat-kamit. "Kau sedang apa?" tanyanya.
Pria yang dimaksud Jowan itu kemudian menolah ke kanan lalu ke kiri dan mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Ia lantas menoleh ke arah Emma yang masih lontang-lantung di atas ranjang. "Kau sudah bangun?"
"Ya," jawab Emma. "Apa yang baru saja kau lakukan?"
"Berdo'a." Jowan bangkit sambil melepas peci dan melipat sadjadahnya. Ia berderap ke arah lemari, dan disimpannya dua benda itu ke dalam tempat penyimpanan itu. "Kau mau makam roti selai?" tawarnya sambil memindai lagi ke arah Emma.
"Ya. Aku lapar."
Jowan membuka lemari di atas wastafel, ditariknya setoples kecil salai cokelat dan seplastik roti tawar. "Aku tidak memasak hari ini, sedang malas saja." Ia menaruh selai dan roti itu di meja samping ranjang, kemudian menuangkan segelas air dan disajikan bersama dengan roti selai itu. "Ini untukmu."
Emma mengambil sepasang roti tawar dan menaburinya dengan selai cokelat. Ia menggigit rotinya seraya melayang pandang ke arah Jowan lagi. "Kenapa kau membawaku ke sini?"
"Tadi malam kau sangat mabuk sementara aku tidak tau di mana rumahmu." Jowan berangsut-angsut duduk di samping Emma, menggeser-geserkan pantatnya untuk mendapatkan posisi yang ternyaman. "Kau terbiasa bangun jam segini?"
"Ya," ucapnya. "Lagi pula hari ini libur."
"Jika tidak libur?"
"Tergantung jam kelasnya."
"Kupikir itu kebiasaan buruk."
"Ya benar.... tapi kupikir tidak terlalu buruk," ucap Emma. Ia mengambil lagi sepasang roti tawar dari dalam plastik. "Saudara-saudaraku juga memiliki kebiasaan bangun tidur yang serupa denganku."
"Tapi kusarankan kau harus bangun lebih pagi karena kau calon Ibu." Jowan berdiri sambil bertolak pinggang menghakimi pengakuan Emma. "Kau tau? di negaraku, orang-orang bangun pukul lima pagi atau bahkan sebelum itu."
Emma mengangkat kedua alisnya dan mengangguk tiga kali. "Aku tidak tinggal di negaramu Jowan dan aku belum menjadi seorang Ibu."
"Alangkah baiknya kau persiapkan dari sekarang. Kerena ketika kau menjadi Ibu, kau harus memasak untuk keluargamu, kau harus menyiapkan alat sekolah untuk anakmu, dan kegiatan pagi lainnya."
"Itu bisa dilakukan oleh pembantu rumah tangga seperti ketika aku masih kecil dulu."
"Waw," Jowan berkecap. "Alangkah lebih baiknya juga kau membiasakan diri untuk bengun lebih pagi."
"Saran yang bagus," Emma mendelik ke arah Jowan dengan tatapan remeh. Barangkali rasa kantuknya juga belum memudar.
"Kau harus melakukannya, jangan hanya wacana."
"Kupikirkan lagi nanti," Emma tergelak meledek.
"Terserah kau!" seru Jowan sambil mengibaskan tangan dan berderap ke arah kamar mandi. "Hari ini aku akan pergi ke toko buku," ujarnya ketika dirinya baru saja melalui garis pintu kamar mandi dan menopangkan badannya di hadapan cermin.
"Mau beli buku apa?"
"Bisnis kuliner mancanegara," jawabnya. Ia menatap dirinya di kaca dan mulai menaruh pasta gigi di sikat giginya. "Kau mau ikut atau kuantarkan saja ke rumahmu?"
"Aku ikut!" Emma bersemangat. "Tapi aku harus mengganti baju dulu, sekalian kutunjukan alamat rumahku."
"Okey!"
•
•
•
•
•
Play List
Tulus - Sewindu
•
•
•
Terimakasih sudah membaca,
Jangan lupa taburi bintang agar author semangat nulisnya...
KAMU SEDANG MEMBACA
Pays to Be a Love
RomanceApa jadinya bila Pria Jawa dan Wanita Eropa saling mencintai? Emma Handerson seorang mahasiswi jurusan sastra Inggris yang susah payah melupakan mantan pacarnya. Setelah hubungannya dengen Tommy Wayne renggang, ia merasa risih didekati oleh banyak p...