Bab 50

44 5 0
                                    

Seminggu setelah pertikaian di tepi halaman kampus, Emma berhenti berbicara dengan Jowan.  Wanita itu berharap Jowan memiliki sedikit kepekaan ketika ia bersikap membisu. Namun alih-alih sikap itu membuahkan hal yang diinginkan, Jowan justru tampak acuh tak acuh. Ia bahkan membiarkan Emma mengabaikannya, seperti tidak terjadi apapun.

Malahan ia tetap mengajak Jazil pergi mengelilingi kota Londan dalam kurung waktu seminggu ini. Dari Tower Bridge sampai ke Camden Town, mereka bersenang-senang tak peduli apa tanggapan Emma jika ia mengetahuinya.

Meski sejujurnya ada rasa salah di benak Jowan melihat sikap Emma belakangan ini, tetapi ia belum ada itikad untuk memperbaiki hubungannya dalam waktu dekat. Memang benar wanita itu mengasingkannya, seperti berpuasa kata saat di hadapan Jowan, namun Jowan benar-benar ingin memikirkan dan mengingat hal-hal yang menyenangkan selama Jazil berada di London. Kedatangan  Jazil  seharusnya membuatnya bahagia, dia bukanlah racun, dia adalah masa kecil yang dirindukan.

Pada malam ke-7, Jowan dan Jazil menyambangi London Eye sebagai tempat objek wisata terakhirnya. Sore setelah hari nanti berlalu, Jazil akan terbang ke Indonesia untuk menengok saudara-saudaranya di kampung halaman.

Pada malam ke-7 ini, memang sengaja mereka memilih malam untuk melihat bianglala terbesar di dunia setinggi 135 meter atau 443 kaki itu.
Pemandangannya akan lebih indah ketika puluhan bintang di sekujur kota London berkerlipan, lebih-lebih pada malam hari bianglala raksasa itu meyala-nyala bak cincin ungu raksasa.

Dalam satu kesempatan, mereka masuk ke salah satu kapsul bianglala itu. Memandangi kota London dalam jarak pandang sampai 40 km. Jazil mendapatkan pengalaman yang berbeda, seakan terbang di atas kota -London- itu. Ia tak berhenti takjub sambil terus berkata-kata di hadapan Jowan.

"Wahh!" pekiknya. "London emang indah banget si," pujinya. "Ini benar-benar pertama kali naik bianglala."

Jowan tertawa. "Lagian dulu, kalau ada pasar malam di kampung kita, kamu ogah naik-naik yang kayak ginian."

"Kamu kan tahu sendiri. Aku dulu sering mual-mual kalo naik mobil. Ya... takut aja." Jazil tersenyum mengingatnya, pandangannya masih tertuju ke luar kaca, memandangi panorama kota London di malam hari.

"Aku nggak bawa kresek lo, takutnya kamu muntah lagi," kelekar Jowan.

Jazil menimpuk paha Jowan sekali, membalas senyum sinis ke arahnya. "Udah enggak kali."

"Yakin?"

Eliza mengepalkan tangannya di hadapan Jowan, ia tertawa. "Ngomong lagi, kupukul ni."

Jowan tersenyum tipis, mengamati lamat-lamat wajah Jazil  dalam seringai cerah mengalihkan kerlap-kerlip kota London. Ia menarik napas ketika memahami bahwa waktu sudah berputar lama sampai detik ini, tapi terasa begitu cepat ketika melihat Jazil dan dirinya sudah tumbuh sebesar ini. Rasanya baru kemarin mereka bermain-main di tepi sungai sambil melempari perahu kertas, tapi tiba-tiba saja mereka duduk di dalam kapsul bianglala dengan wajah yang lebih usang, tubuh yang lebih besar, sikap yang lebih dewasa, dan perasaan yang bukan kekanak-kanakan. Semuanya seperti berlalu saja, seperti itu terjadi dalam waktu semalam.

Pria itu berdeham. "Kenapa harus ke Indonesia besok?"

Jazil yang sejak tadi fokus memandangi gerlap-gerlip kota London, beralih memindai ke arah Jowan ketika pria itu bertanya alasan buru-buru ke Indonesia besok padahal ia baru seminggu di London. "Aku mendapat undangan Interview," ujarnya.

"Interview apa?" tanya Jowan.

"Interview kerja," jawab Jazil. "Jadi aku melamar jadi guru bahasa Arab di salah satu sekolah menengah Mojotengah."

Jowan mengangguk mafhum sambil berkecap bibir. "Aku kira kamu bakal di Mesir dalam waktu lama."

Jazil menggelangkan kepalanya, senyumnya tak pudar meski semakin menipis. "Aku akan tinggal di Indonesia," ujarnya. "Dan barangkali menikah dengan orang Indonesia juga."

"Owhhh." Jowan menaikan alisnya, dan mengangguk-angguk. "Siapa?"

Jazil menunduk ketika pertanyaan klise itu terlontar dari mulut Jowan. Ia tertunduk, bingung, dan berpikir di balik tindak-tanduknya, menimang-nimang keputusannya. Ia sejujurnya ingin memperjelas keadaan ketika wanita berambut pirang itu mengaku sebagai kekasih Jowan, namun ada keraguan jikalau pengaduannya membuat Jowan tersinggung dan menimbulkan kegundahan di antara keduanya.

Jazil menarik napas sebelum menoleh lagi ke arah Jowan. Senyum itu pudar dan berganti menjadi sendu. "Kamu tahu nggak sih tentang wasiat perjodohan kita?" tanyanya, dengan nada gematar.

Jowan menelan ludahnya ketika mendengar pertanyaan itu. Ia membuang pandangannya. Datik ini menjadi ripuh dan semakin runyam ketika Jazil tanpa diduga menggiring obrolanya ke arah perjodohan. Jowan tidak tahu-menahu kecuali yang pernah ia dengar dari Ratna, tapi dilihat dari tingkah orang tuanya yang sering membicarakan Jazil di depannya pada beberapa bulan lalu ketika ia di rumah, barangkali itu adalah isyarat perengai mereka bahwa simpang siur  perjodohan itu memang benar adanya, hanya saja Minah dan suaminya masih ingin merahasiakannya sampai ketika nanti Jowan sudah siap.

Jowan memindai lagi ke arah Jazil dan berusaha sekeras mungkin untuk menikamti malam terakhirnya bersama Jazil alih-alih harus mendapati stres memikirkan masalah hidup. "Jadi kamu mau nikah sama orang Indonesia. Dan orang itu aku?" tanyanya sambil tersenyum-senyum meledek.

Seketika pipi Jazil merona, ia langsung menunduk salah tingkah dan tergagap-gagap. "B-bukan itu maksudku," ucapnya.

Jowan mengangguk-angguk, senyumnya perlahan pudar seirama dengan keripuhannya yang kembali memenuhi kepalanya. Semuanya betul-betul semakin runyam, apalagi jika dicampur-adukan dengan permasalahannya dengan Emma, tentu saja hasilnya adalah migrain di kepalanya. Sekeras apapun ia akan menikmati malam ini, keripuhan itu seperti telah mengambil kendali otaknya untuk terus memikirkan permasalahan hidupnya. "Tentang perjodohan itu, aku baru mendengar dari Ratna. Aku belum mendengar dari orang tuaku," katanya.

"Aku diperlihatkan wasiat perjodohan itu dari ayahku. Kukira kamu sudah tahu."

Jowan mengatupkan mulutnya. Ada segumpal pelik yang penuh di otaknya. Tatapannya semakin tak meyakinkan.

Bianglala itu kemudian berhenti setelah 30 menit berputar. Setelah kalimat terakhir dari Jazil, di antara keduanya hanya hening tanpa suara dan terkesan kaku, sebelum akhirnya suara ketukan kaki mereka sendirilah yang memecahkan kehaningan ketika keduanya keluar dari kapsul itu.

"Kamu nggak perlu memikirin perjodohan itu," kata Jazil ketika mereka sudah berada di beberapa langkah dari posisi bianglala. Wanita itu tampak berusaha tersenyum walau mimik sendunya tak memudar, alih-alih justru senyuman yang dibuat-buat itu sengat kentara di wajahnya. "Lagi pula sekeras apapun keluarga kita menjodohkan anak cucunya, tetap aja jodoh sudah diatur oleh Sang Pencipta."

Jowan mengangguk mafhum, mulutnya masih mengatup rapat. Di balik itu, pikirannya berisik memenuhi frekuensi otaknya. Baru setelah 3 menit berjalan, ia mulai mereda ketika siluat lampu jalan mengiringi langkahnya di terotoar. "Aku nganter kamu besok ke bandara ya," katanya. "Kebetulan aku nggak ada kelas sore."

"Aku bisa sendiri kok. Tapi kalau kamu mau nganter, ya aku seneng."

"Sekalian mau nitip sesuatu buat bapakku."

"Apa?"  tanya Jazil.

"Teh Inggris," ujar Jowan. "Bapakku suka banget Teh Inggris. Setiap pulang dari sini, pasti aku bawain oleh-oleh itu."

Jazil mengangguk, kemudian lingkaran senyum itu timbul lagi menghiasi wajah centiknya mengalihkan siluet lampu yang menyilaukan.

Baginya tak terasa, malam demi malam berlalu begitu saja di kota -London- ini, hingga tiba pada malam terakhir yang akan menjadi titik awal kembalinya kerinduan itu. Setelah ini berlalu, barangkali kerinduan masa kecilnya akan dicampur tangani dengan kerinduannya di kota ini -London-. Mereka akan bertemu lagi di kampung halamannya nanti.

Pays to Be a LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang