Bab 33

40 5 0
                                    

Sementara Jae-yong dan Eliza pergi ke tempat karaoke setelah dinner. Bisa ditebak, mereka memutar puluhan musik kpop sembari menari-nari dan bernyanyi-nyanyi meski terdengar sumbang di telinga. Jae-yong tidak lagi memasang wajah kaku, mimiknya sudah dilenturkan oleh suara-suara merdu para member SNSD. Sedangkan Eliza seprti biasa, lincah dan agresif, penuh dengan gairah.

Sudah merasa lelah, mereka akhirnya pulang. Jae-yong mengantar Eliza dengan sepeda sembari berbincang-bincang di tengah perjalanan meski masih terasa canggung. Gelitik tawa-tawa sejoli itu mengindahkan udara dingin yang meraraba-raba. Eliza bahkan tanpa rasa malu menyanyikan beat lagu kpop beberapa kali saja sebelum Jae-yong mempercepat laju sepedanya dan membuat wanita itu terbungkam untuk beberapa saat meski suara sumbang itu akan lepas lagi dari mulutnya ketika laju sepedanya mereda.

Pada akhirnya Jae-yong turut menyumbang suaranya untuk mengurangi muram durjanya. Setidaknya ia bisa mendengarkan suaranya yang sedikit lebih baik dari Eliza sebab aksen koreanya yang lebih bagus. Mereka berdua bersenandung di sepenjang jalan mirip dengan pengamen jalanan dengan vocal-vocal kacau.

"Sudah!" gertak Jae-yong menghentikan suara Eliza. "Aku bahkan lebih baik mendengar dengungan nyamuk daripada suaramu," ketusnya sembari terkekeh singkat.

Eliza menepuk mencubit keras pinggang Jae-yong hingga pria itu mengerang. "Nanti mampir dulu ke rumahku," kata Eliza, ia terdiam duduk di jok belakang sembari tangan kanannya melingkar di pinggang Jae-yong, sedang tangan kirinya masih menggangam buket bunga beraroma tanah itu. "Aku ingin memperkenalkanmu dengan orang tuaku."

Jae-yong berkecap bibir mendengar ajakan Eliza, sejujurnya dia sudah sangat ngantuk. "Memangnya orang tuamu belum tidur selarut ini?" tanyanya sembari terus mengayuh sepedanya.

"Berangkali belum." Eliza menyeringai terkekeh di akhir kalimat.

"Sudah larut malam, lebih baik lain waktu saja."

"Kapan tepatnya?"

"Yang penting jangan sekarang."

"Aku akan meminjamkanmu mobil jika kau akan ke rumahku."

"Kenapa? Padahal aku lebih suka memakai sepeda pemberianmu."

"Ayahku lebih tertarik dengan pria yang terlihat mapan."

"Itu berarti kita akan membohongi orang tuamu?"

"Ya," ucap Eliza. "Demi hubungan kita."

"Baiklah." Jae-yong menghela napas sebal. Ia berpikir ini akan semakin rumit dari predikisi sebelumnya, perasaannya tidak hanya akan berbohong kepeda Eliza tatapi kepada orang tua Eliza juga. "Asal kau masih mau menggajiku, aku akan menurutimu. Dan... asal jangan mobil supercar."

"Ha?" Eliza menganga heran dan tergelak lirih. "Kau tidak bisa mengendarai supercar?"

"Memangnya kenapa?" Nadanya merajuk. "Bisa mengendarai supercar bukanlah syarat hidup."

Eliza mengguk-mangguk mafhum, lalu mengetupkan mulutnya dan terdiam.

Di lain tempat, Jowan dan Tn. Wang Handerson berjalan beriringan keluar pintu. Emma mengekor di belakannya, berijingkit-jingkit menjinjing ujung pakaiannya. Sementara di hadapan Tn. Wang, Jowan berusaha memasang ekpresi ramah meski terlihat anomali di wajahnya sembari itu manahan nyeri akibat pertikaiannya dengan dua pria pecinta Emma di koridor toilet.

Tiba di halaman rumah, mobil lamborghini hitam berhenti di hadapannya membuat Tn. Wang menyalang. Kemudian keluar Dirman dari mobil itu dengan gaya eksentrik paduan jas bercorak harimau dan celana tartan abu-abu serta kini terpasang kacamata vintage hitam di wajahnya. Ia melipat tanganya di dada dan duduk di depan mobil, sesekali membenarkan posisi kacatamanya sembari menatap ke arah Jowan yang berlagak seperti boss besar kaya raya.

"Ini mobilmu?" tanya Tn. Wong.

Jowan mengguk-mangguk meski tidak tampak natural.

"Wouu." Tn. Wang memoncongkan bibirnya serta mengangkat kedua alisnya secara kompak, tanda bahwa ia sedang terkagum-kagum dengan pria di sampingnya. "Mobilmu benar-benar mirip dengan mobil pemberian Frank." Ia menoleh ke arah Emma, gesturnya penuh tanya. "Benar sayang?" yang kemudian dibalas dengan anggukan meyakinkan oleh Emma. "Sepertinya anak jaman sekarang menyukai mobil semacam ini. Betul?" Tatapannya ditautkan lagi ke arah Jowan.

Meski merasa kelabakan, Jowan mampu menjawabnya dengan tegas, "Ya!" lantang seperti suara anak pramuka. Badannya bahkan terlihat kaku saking tegangnya berdiri di samping Tn. Wang yang tingginya menjulang menenggelamkan Jowan. Ubun-ubun Jowan hanya sampai di pundak Tn. Wang.

"Kudengar, kau anak dari juragan kentang?" tanya Tn. Wang.

Jowang mengangguk. "Betul," ujarnya.

"Aku ingin berkenelan dengan ayahmu," ucap Tn. Wang mengejutkan Jowan dan Emma. Namun lontaran semacam ini sudah diduga Emma.

Sementara Jowan menelan ludah kasar dan membuang wajahnya yang nampak tegang.

"Kapan kau bisa bawa ayahmu ke Inggris?" tanya Tn. Wang.

Lantaran nervous, Jowan mengerjapkan mata, keringat dinginnya bertecucuran di dahinya. Ia mendongak legi ke  arah Tn. Wang. "Emmmm...." mulutnya berkomat-kamit tidak jelas, mencari jawaban yang tepat untuk pria sekelas Tn. Wang.

"Ayah Jowan sangat sibuk, jadi akan susah untuk pergi ke Eropa ayah," potong Emma.

Tn. Wang menghela napas sesekali, nampak di wajahnya tergambar mimik kecewa. "Jika kau benar-benar serius dengan putriku, aku harus melihat orang tuamu dulu."

"Ya ya," Jowan mangguk-mangguk lagi, mulutnya menganga dengan diameter lubang bibir 28 mm, cukup untuk dimasuki seekor lalat jika jenis serangga itu sudi.

Tn. Wang mengindahkan lagi tatapannya ke arah mobil Lamborghini hitam, ia betolak pinggang dan terhitung lima kali berkecap bibir. "Mobil ini benar-benar menunjukkan kalau kau adalah orang kaya, tapi gesturmu tidak menunjukkan itu," ujarnya. "Tapi aku suka orang kaya yang rendah hati sepertimu, tidak seperti orang kaya lainnya yang selalu menunjukkan jati dirinya. Kau benar-benar rendah hati nak." Sekonyong-konyong, ia merangkul pundak Jowan yang sedikit membuat Jowan susah bernapas. "Tapi cobalah untuk memperbesar otot-ototmu. Sebagai pria, otak penting, otot juga penting. Bentuk badan akan menambah nilai kharismatik seorang pria."

Jowan mengangguk dan mengangguk lagi, seperti seorang anak yang sedang diberi petuah oleh gurunya nampun sungkan untuk melontarkan suara.

"Lain waktu, datang lagi. Aku ingin lebih mengenalmu."

Mereka berbincang untuk beberapa kata lagi meski Jowan lebih banyak diamnya dan mengangguk-angguk. Beberapa menit kemudian, ia menarik langkah ke arah mobil hitam itu. Pintu depannya bahkan sudah dibukakan oleh Dirman yang sikapnya sudah semacam jongos untuk Jowan.

Sampai di dalam mobil, Jowan memindai tatapannya ke arah Emma yang dibalasnya dengam lambaian tangan serta senyumam semanis cokelat turkey, namun ia segan untuk menatap wajah Tn. Wang yang datar namun tak terkesan ramah malahan ada garis keangkuhan dari pancaran matanya. Pria itu sungguh melampaui karismatik dan berwibawa membuat Jowan gentar untuk melangkah lebih meju. Bahkan akan sengat memberatkan jika masalah tolak ukur otot menjadi barometer untuk ekspektasi hidupnya. Itu akan merepotkan sekali karena Jowan tak perduli dengan hal semacam itu, persetan dengan pendapat orang lain tentang fisiknya.

Namun sepanjang yang orang tau, jarang sekali yang namanya mantu lebih cupu dari mertuanya. Betul?

Barangkali Jowan akan sangat menyukai Emma jika ia dibutakan oleh cinta, di luar itu ia tak ingin melangkah lebih jauh.




Play List
Kanashimi wo Yasashisa ni - Little by Little (Naruto OP 3)



Terimakasih sudah membaca,
Jangan lupa vote




















Pays to Be a LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang