Bab 4

161 11 0
                                    

MATA Jowan berkeliling ke seluruh ruang kantin. Ia mencari wanita paling cantik di tempat itu, Emma Handerson. Mana wanita itu? Rambut pirang, hidung mancung, mata hijau, dan badan ramping. Di mana?

Jowan berjalan lagi beberapa langkah, menengok ke kanan kiri macam orang kehilangan arah, macam orang linglung pula. Ia mengamati satu persatu wanita-wanita di kantin itu. Banyak sekali yang berambut pirang, hidung mancung, dan bermata hijau. Tapi tak ada yang seperti Lady Diana yang terlahir lagi. Ah apa dia membohongiku?

Jowan mendengus kesal lalu membenarkan kerah kemajanya yang sudah sedikit lusuh karena jarang disetrika. Ia masih menengok ke kanan kiri, namun lehernya sudah lelah diputar-putar. Ia membalikan badannya hendak menemui Jae-yong di perpustakaan saja.

"Hai," Emma berdiri di hadapan Jowan. Tatapannya hangat, membuat Jowan hanya diam menatap balik. "Ayo kita makan."

"Ya a--." Ucapannya terbata-bata sembari memperhatikan penampilan Emma. Kaos putih dibalut kemaja hijau army, dan celana jeans biru serta rambut pirangnya yang dikuncir kuda. Ia seperti anak tomboy yang tak menghilangkan kesan feminim dan cantik.

Emma menggandeng tangan Jowan. Lalu tersenyum di hadapannya. "Kau kira aku akan mengingkari janji?"

"A--. Anu---." Pikiran Jowan seketika blank. Sentuhan tangan Emma yang menyambar halus bagai bulu-bulu randa tapak yang menyentuh kulitnya membuatnya tak bisa fokus. Baru tadi pagi oleng karena ciumannya, kini sudah dibuat oleng lagi karena digandeng olehnya.

"Kau makan apa?"

"Mie saja."

"Tunggu di sini. Aku akan memesan."

Jowan duduk di kursi kantin sembari memainkan jemarinya. Ia baru tersadar meninggalkan ponselnya di dalam tas. Rasanya sangat canggung. Bagaimana bisa ia menjadi gematar seperti ini? Padahal pagi tadi ia biasa saja, hanya oleng beberapa saat lalu kembali pulih. Bahkan ia sempat sedikit memaki Emma.

Tak lama kemudian Emma datang membawa dua porsi mie instan dan dua gelas orenge juice. Sial! Badan Jowan bergetar lagi.

"Mari kita makan bersama," ucap Emma. Ia lantas duduk di hadapan Jowan.

"Ya."

"Nikmati waktu bersamaku." Emma menyeringai, lesung pipinya kini terlihat samar. "Aku jarang menghabiskan waktu bersama pria, kecuali dengan ayahku."

Jowan menghela napas dalam-dalam lalu menghembuskannya dengan perlahan. Tak habis pikir jika omongannya benar, mana mungkin wanita secantik Emma hanya menghabiskan waktu bersama ayahnya sendiri tanpa disisipi dengan pria tampan lainnya?

Ia mencoba menyegarkan diri dan berusaha menikmati waktu bersama Emma. Kapan lagi bisa mengobrol dengan Emma? Tak akan ada waktu seperti ini lagi jika ia sudah pulang ke kampung halaman. Jika kau tau, bidadari Eropa macam Emma ini mana ada di Jawa, barangkali level kecantikannya juga berbada.

"Kenapa jarang menghabiskan waktu dengan pria?" Jowan memulai obrolan. Ia mulai tenang tanpa rasa gemetar.

"Mungkin belum ada yang cocok denganku."

"Memangnya yang cocok denganmu seperti apa?" tanya Jowan. Barangkali ia bisa mempersiapkan diri apabila dirinya adalah kriteria cowok yang diidam-idamkan Emma. Mimpi! Mana mungkin Emma menyukai pria yang tingginya hanya 170 cm. Untuk ukuran tinggi orang Eropa tentu itu dikategorikan pendek. Tak heran jika Nick mengatai Jowan sebagai pria boncel. Yang penting kepalaku tak botak Nick!

"A---." Emma menggelengkan kepala lalu menyeruput orenga juice di hadapannya. "Aku tak punya kriteria apapun, yang terpenting bisa membuatku nyaman."

Pays to Be a LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang