Emma memarkirkan mobilnya di depan sebuah rumah megah berkonsep kastil elit modern. Dua dinding melingkar yang timbul dari atap-atap rumah dengan masing-masing dua balkon di sisinya. Dinding-dinding dengan lukisan susunan bata merah, pintu kayu yang menjulang tinggi berpasangan, dan beberapa pintu kaca kecil di sampingnya..... ah bukan pintu, itu jendela yang ukurannya tidak wajar.
Mereka berempat keluar dari mobil itu. Sementara Jowan memperlambat langkahnya, tidak bisa menahan kekagumannya menatap bangunan semacam kastil di hadapannya seperti tak pernah melihat saja bangunan keren di kota London, keren sekali. Ia berujar dengan otak udangnya, "Kau bilang kita akan menonton konser di Emirates Stadium? Apa konsernya dipindahkan ke bangunan megah ini?"
Heeeaah. Emma menghela napas, Jae-yong dan Eliza membentuk dirinya menjadi pribadi yang lebih sabar. "Ini rumah Eliza," ketusnya.
Wajah Jae-yong mereh merona, meski masih bersikap dingin. Terbesit di hatinya rasa malu melihat tingkah lugu Jowan, rasanya ingin menempeleng wajah pria itu, atau jika tidak ia bisa menutupi wajahnya dengan jaket jeans lapuk, dan mengetakan 'aku bukan temannya! Aku sungguh bukan temannya!'
Bersama itu Eliza bermuram durja, kesal dengan keluguan pria berjaket Varsity itu. "Ternyata ada yang lebih bodoh dari Patrick Star."
"Kau mengatai aku bodoh?" Jowan merajuk.
"Siapa lagi?" Emma memasang senyum merendahkan. "Konser mana yang sehening ini? Pikiranmu dangkal sekali!"
"Dia tidak pernah menonton konser," sambar Jae-yong, sembari menyimpan dua tangannya di saku jaket, membeberkan rahasia udik milik Jowan.
"Pantas saja."
Jowan mengatupkan mulutnya, membuang wajahnya kasar, berusaha menahan umpatan-umpatan keji dari sekelilingnya. Dia hanyut dalam renungan sesaat, bagaimana dirinya dianggap seperti anak bodoh yang seakan buta dalam segala hal? Namun Emma buru-buru menggandeng lengannya, mengikuti langkah Eliza dan Jae-yong yang sudah melewati garis pintu.
Jowan dituntun oleh Emma, berpapasan dengan pintu megah itu. Dahinya mengernyit, namun motif bunga samar-samar yang membumbung di sepenjang pintu itu tak terlewatkan dari pandangannya. "Kenapa kita mampir dulu ke rumah Eliza?"
"Kita makan Pizza dulu di sini. Ada waktu satu jam sebelum konser dimulai."
Sementara dua sejoli itu -Eliza dan Jae-yong- sudah memposisikan diri di sofa ruang tengah, Emma mencium hingar bingar parfum familiar yang tak diharapkan. Ia menghentikan langkahnya, dan Jowan bertanya-tanya melalui eskpresi yang terlempar ke arah Emma.
"Ayo cepat," kata Eliza. Ia melengokan wajahnya ke arah kiri. Entah ada siapa di situ, namun dicium dari aroma-aromanya, nampaknya Frank Linggard. "Anak CEO ini sangat rakus," ujarnya. Ah tak salah lagi, orang itu!
Emma melanjutkan langkahnya ragu-ragu, sementara gandengannya masih penuh dengan tanda tanya. Wanita itu bergeming menangkap sosok Frank tengah duduk nyaman di sofa sambil mengunyah Pizza, pria itu mengenakan kemaja belang hitam putih, sementara rambutnya berubah lebih lebat dengan setengah bulatan yang membentuk poni. Barangkali ia ingin terlihat seperti orang-orang Korea juga.
"Frank?" Emma bergumam ketika matanya tertaut pada sosok pria itu, seraya itu memicingkan matanya.
"Hai Emma!"
"Dia akan gebung kita, menonton konser kpop malam ini," sambar Eliza. Ia menyipitkan mata dan tersenyum tanpa rasa dosa.
Sialan! Emma masih bergeming, rasa dongkol itu timbul lagi di benaknya. Rasa ingin menjambak rambut Eliza. Kenapa dia tidak bilang-bilang jika Frank juga akan datang? Dia benar-benar buta dengan perasaan temannya. Jika tau, sudah dari awal Emma menolak ajakannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pays to Be a Love
RomanceApa jadinya bila Pria Jawa dan Wanita Eropa saling mencintai? Emma Handerson seorang mahasiswi jurusan sastra Inggris yang susah payah melupakan mantan pacarnya. Setelah hubungannya dengen Tommy Wayne renggang, ia merasa risih didekati oleh banyak p...