Bab 51

37 5 0
                                    

Siang itu Jowan dan Jae-yong sedang menyantap sosis dan kentang goreng di kantin kampus. Mereka membahas hal-hal remah mengenai peristiwa yang terjadi di kehidupannya belakangan ini, tentang masa-masa liburannya yang terlupakan untuk menjadi bahan obrolan, tentang rencana hidup setelah wisuda, tentang bagaimana rasanya menjadi pacar dari anak konglomerat Eropa demi selembaran uang, dan hal remeh semacamnya. Pembicaraan perihal Jazil pun tak terelakan dari bibir mereka, mengenai kedekatan Jowan dan wanita itu yang sudah terjalin sejak kecil.

"Sebenarnya ada apa kau dengan teman hijabmu itu?" tanya Jae-yong.

"Sudah kubilang. Kami hanya bersahabat."

"Kalau kau belum berhubungan dengan Emma, pasti kau menyukainya. Dia sangat cantik meski rambutnya tertutup oleh hijabnya."

Jowan mengedikan bahunya sekali. "Entahlah," ujar Jowan. "Tapi mengenai itu, ada yang sedang kupusingkan."

"Apa?"

"Jazil bilang kakekku dan kakeknya meninggalkan wasiat perjodohan untukku dan dia, tapi aku belum yakin karena aku belum melihatnya."

Jae-yong mangguk-mangguk mendengarnya. Ia mengambil sepotong kentang goreng di wadahnya, dan mengunyahnya lagi sembil menghayati cita rasanya. "Kupikir wanita seperti Jazil tidak akan berbohong."

"Masalahnya apa yang harus kubuat jika itu benar?" Jowan menggaruk-garuk rambutnya yang tak gatal, sambil berekspresi ripuh.

"Tentu saja. Nikahilah dia. Itu yang kakekmu inginkan."

"Bagaimana dengan Emma?"

Jae-yong tergelak mendengarnya, merasa heran dengan jalan pikiran Jowan yang inkonsisten. "Aku tahu kau memang laki-laki yang bertanggung jawab. Tapi kan kau melakukan hubungan dengan Emma karena uang. Dulu kau bilang, budayamu, agamamu, dan rasmu berbeda dengan Emma. Kau benar-benar serius dengannya? Bagaimana dengan keluargamu? Aku kira akan semakin runyam jika kau benar-benar memberikan peluang kepada Emma."

"Aku tak mau menyakitinya lagi."

"Tapi semuanya akan semakin mudah jika kau menjelaskan keadaannya kepada Emma. Lambat laun dia akan mengerti meski awalnya sakit."

"Begitu kah?"

"Ya. Kau harus memikirkan tentang perjodohan itu, meski terdengar kuno sekali."

"Sungguh?"

"Bagaimana jika dia ke London, karena memang ingin mengenalmu lagi yang disebabkan oleh perjodohan itu. Jika dipikir-pikir, Kairo ke London itu bukan perkara dekat."

Jowan mangguk-mangguk mendengarnya dan justru semakin ripuh mendengar ujaran-ujaran Jae-yong. Baru kali ini, ia merasa Jae-yong lebih banyak omong dari biasanya. Barangkali salahnya kerena dia sering mengajak Jae-yong bermain-main dengan Dirman.

"Mungkin aku harus memikirkannya," ujar Jowan. Rasa-rasanya ada benarnya juga Jae-yong mengatakan demikian. Kedatangan Jazil agak mengada-ada jika hanya bermaksud untuk menemuinya, memang agak terasa canggung. Dalam banak Jowan, kini ia berpikr 'barangkali memang Jazil bermaksud untuk mengenal calon jodohnya yang tak lain adalah teman kecilnya dulu'. "Ya, aku akan memikirkannya," ujarnya lagi.
...

Dari pintu kantin itu, Emma tiba-tiba datang menyeruak dari meja ke meja, menghampiri Jowan. Matanya sendu, namun wajahnya murka. Jowan pikir dia benar-benar marah karena bosan membisu sepanjang hari dengannya. Pria itu hanya tersenyum dan menahan gelak tawanya.

"Tertawa saja melihat penderitaanku!" seru Emma.

"Kau yang menginginkannya sendiri," tanggap Jowan. "Sudah kubilang, Jazil hanya sahabatku." Ia berlagak sentai sambil mengunyah kentang gorengnya, padahal pikiranya bergejolak runyam sejak melihat Emma berderap dari luar kantin.

Pays to Be a LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang