Setelah bayangan Jazil tenggelam oleh sekat-sekat bandara itu, Jowan berbalik arah hendak pulang menuju rumah. Namun hal tak terduga terjadi saat putaran badannya bahkan belum sempurna 180 derajat. Ia terperanjat melihat Emma sudah berdiri di hadapannya dengan air mata yang membanjiri wajahnya dan isakan tangis yang meradang pilu. Tangannya mengepal, bibirnya bergetar, dan ingusnya hampir mencuat dari hidung mancungnya, dan isakan tangisnya mulai tersendat-sendat.
"Kau di sini? Kenapa menangis?" tanya Jowan dengan kebodohannya.
"Aku mendengarnya," lirih Emma.
"Mendengar apa?"
"Perjodohan itu!"
Jowan terdiam, tak mampu berkutik apapun melihat wanita di depannya merengek di banjiri air mata. Ia tak menduga-duga, Emma datang menyusul ke bandara ini hanya untuk mendengar obrolan terakhirnya dengan Jazil. Ia tak habis pikir, apakah Emma serapuh itu? Mendadak sejak Jazil datang ke kota ini, Emma seperti berubah menjadi sosok yang berbeda, lebih agresif, posesif, dan melankolis.
Otak Kowan mulai runyam lagi, dan tak memahami keadaannya.
"Kau dijodohkan dengannya?" tanya Emma dengan nada gemetar. Tangisan itu sampai-sampai melunturkan bedak-bedak di wajahnya hingga bertabur dengan air mata dan mengalir ke arah bibirnya, lebih-lebih ketika ia sedang membuka mulutnya.
"Aku.....," Jowan mengerjapkan matanya, meratapi betapa terpuruknya sisi lain dari Emma. Baru kali ini hati Jowan ikut tersayat melihat orang lain menangis di hadapannya. "Aku mendengarnya dari Jazil. Tapi aku belum yakin, sebab aku belum mendengar dari orang tuaku."
"Apa kau mempercayai omongan wanita itu?"
Jowan mendongakan kepalanya, lamban. Wajahnya mengandung lara, dan matanya berkaca-kaca. "Jangan menangis lagi, kumohon." Perlahan, ia maju mendekatkan diri di hadapan Emma yang sudah beruraian air mata. Tangannya diletakan menyentuh pipi di bawah kelopak mata Emma, kemudian air mata itu ia hapus secara halus dan lembut. "Kau tak perlu memikirkannya. Kau yakin kan, jodoh itu tidak akan tertukar. Tuhan yang akan menentukan nanti kemana kita akan berjalan. Maka, jangan menangis lagi, jangan ripuh lagi, serahkan saja pada-Nya. Aku tidak pernah melihatmu serapuh ini."
Emma menarik tangannya ke arah pergelangan tangan Jowan yang sibuk menyeka air matanya. Ia genggam pergelangan tangan itu untuk menghentikan aksi mendramatisasi kondisi. Sementara wajahnya bermuram durja. "Kutanya, kau percaya ucapan wanita itu?"
Gerekan menyapu air mata itu berhenti, jempol Jowan menempel lurus searah jarum jam pukul 12.00 di bawah kelopak mata Emma. "Yang kutahu, Jazil tak pernah berbohong."
Sontak Emma menyingkirkan tangan Jowan. Ia menghela napas kecewa sebelum akhirnya pergi meninggalkan Jowan di tempat itu, air matanya mencuat membuatnya berjalan sampai terus menyeka air matanya.
Sementara Jowan kembali hanya menahan pilu melihat langkah Emma yang kian menjauh. Meski bisa ia kejar dalam hitungan detik, tapi enggan untuk melakukannya sebab dalam kondisi seperti ini akan sulit untuk mengubah suasana.
Malam itu benar-benar hati dan pikiran Jowan seperti diporak-porandakan oleh langkah-langkah kepergian dua wanita itu -Emma dan Jazil-. Lebih lagi dengan kondisi yang semakin runyam, membuat dirinya harus mencari cara lain agar hubungannya dengan Emma bisa membaik.
***
Sudah satu bulan lebih, Emma mendiamkan Jowan. Wanita itu benar-benar bisa menahan diri dari hasrat bujuk rayu Jowan meski pria itu terus tak berhenti memohon-mohon untuk rujukan saja. Lantaran sudah lelah kerena usahanya tak direspon, Jowan akhirnya berhenti mendekati Emma dan menganggap bahwa hubungan mereka telah usai meski susah untuk merelakannya.
Dalam waktu sebulan itu, Jae-yong akhirnya mendapatkan kerja di sebuah minimarket yang berdekatan dengan tempat kerja Jowan. Padahal jika mau menunggu, acara wisuda akan berlangsung satu bulan lagi dan dengan gegabahnya dia justru menyibukan diri untuk bekerja meski Eliza masih terus mengirimi uang ke rekeningnya.
"Kau tak perlu bekerja," kata Eliza di kesempatannya bertemu Jae-yong di malam hari dalam sebuah kafe. "Aku akan terus membayarmu selama kau di sisiku."
"Sebaiknya kau hentikan saja," kata Jae-yong.
"Kenapa?"
"Aku tidak ingin menggunakan uangmu lagi."
"Itu tidak benar," ucap Eliza. "Ketika uang itu berada di rekeningmu, itu berarti uangmu."
"Tetap saja itu uang darimu. Aku semakin hari semakin tak enak dengan suasana ini."
"Kenapa?"
"Hentikan saja," ujar Jae-yong. "Aku takut ekspetasimu terlalu berlebihan, dan kau kecewa ketika itu ternyata salah."
"Kau meragukan hubungan kita?" Eliza mengernyitkan dahi, matanya meleber dan badannya condong ke arah Jae-yong. Pikirannya menerka-nerka keburukan dari isi pikiran pria itu.
"Jangan terlalu yakin dengan hubungan seperti ini. Ayahmu bahkan belum tahu seperti apa aku sebenarnya."
Eliza bersender lagi di sofa kafe dan berekspresi muram. Pikirnya benar juga, hubungannya dengan Jowan masih diambang oleh kepalsuan belaka.
"Jalankan saja senormal orang berpacaran tanpa bayar membayar. Jadi jika hubungan ini berakhir, bebanku tidak akan menumpuk lagi."
Eliza menghela napas lagi, jantungya berat untuk dikendalikan agar tak terasa nyeri. Dari bermuram, kini ia menggerutu di hadapan Jae-yong. "Jadi kau mendo'akan hubungan ini akan selesai?"
Untuk pertama kalinya sejak ia dipecat dari restaurant malam itu, Jae-yong menggaruk-garuk tengkuknya yang tak gatal. Memang benar kata orang lain, kebanyakan wanita tidak mau kalah bicara dan lebih cerewet dari makhluk apapun. "Aku tak mengatakan itu!" pekiknya. "Tapi siapa yang tahu rencana Tuhan ke depannya?"
Eliza mengambil segelas Pimm’s di meja itu dan meneguknya. Tak lama setelah itu, ia kembali memasang wajah bengisnya. "Aku tak mau putus denganmu, jadi tolong jangan putuskan aku."
Jae-yong memejamkan matanya, kemudian membelai rambutnya ke belakang. Berhenti di situ, kemudian ia menggaruk-garuk kepalanya dengan setumpuk pikiran. "Kenapa kau sangat menyukaiku?"
"Di mana lagi bisa mendapatkan oppa-oppa Korea satampan dirimu?" kata Eliza.
"Ada banyak orang Korea yang lebih tampan dariku."
"Tapi mereka hanya bisa kudekap dari layar kaca, sedangkan kamu ada di hadapanku."
"Jadi hanya karena aku tampan?"
"Awalnya iya. Tapi lama-lama perasaanku tulus. Lagipula, kalau sikapmu buruk, aku tak akan mempertahankanmu." Dalam beberapa tegukan, Eliza mulai bersandar lemas dikuasia oleh rasa kantuknya. Ia menguap beberapa kali. Siang sebelum pertemuan ini, ia memang sibuk mengurusi komunitas dance.nya yang akan ditampilkan dalam acara wisudanya nanti.
"Yaa," tanggap Jae-yong sambil mengindahkan pandangannya ke arah luar dan memasang wajah jengah.
"Kau tahu istilah 'dari mata turun ke hati'?"
Pria itu menggeleng.
"Ya itulah perasaanku."
Pria itu menggeleng lagi, berpura-pura tidak paham.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pays to Be a Love
RomanceApa jadinya bila Pria Jawa dan Wanita Eropa saling mencintai? Emma Handerson seorang mahasiswi jurusan sastra Inggris yang susah payah melupakan mantan pacarnya. Setelah hubungannya dengen Tommy Wayne renggang, ia merasa risih didekati oleh banyak p...