Tommy membawa Emma ke penginapannya. Meminjamkan ia baju dan membiarkan ia duduk di dekat penghangat ruangan.
Sementara ditilik dari jendela kaca, di luar masih hujan, Tommy membuat dua cangkir teh untuk menemani obrolannya sore itu. Mereka duduk di sofa menghadap penghangat ruangan yang lebih menyerupai tungku pembakaran.
"Kenapa kau hujan-hujanan seperti anak kecil? Pakai menangis pula." Tommy bergumam setelah ia duduk di pojok sofa. Matanya berseringai setelah penantian panjang ingin duduk mengobrol dengan Emma.
Emma masih diam, sambil menggesak-gesekan kedua tangan dan memindai ke arah kobaran api di tungku itu.
"Sungguh menyedihkan setelah sekian lama tak melihatmu, lalu bertemu denganmu dengan keadaan duka."
"Apa pedulimu?" kata Emma.
Tommy menghela napas mendengar ucapan cuai itu. Emma benar-benar sudah mengasingkannya, bahkan selontar senyuman sejak mereka bertemu pun tak ada dari wajah Emma. "Kita memang sudah lama tak saling melayangkan kabar, tapi apa salahnya memulai hubungan baik lagi? Jujur aku merindukanmu, mari kita berhubungan lagi sebagai teman atau apalah, jangan ada jarak lagi."
"Apa kau mau menetap di London?"
"Kuliahku sudah lulus dan sekarang aku akan melamar pekerjaan di kota ini."
"Bukankah kau ingin menjadi pemain NBA?"
"Takdir berkata lain."
"Kenapa?"
Tommy mengangkat tangannya, lalu menyibakan lengan hoodienya. Ia menunjukan bekas luka operasi patah tulang dan luka jahitan di lengannya. "Aku sempat patah tulang di bagian lengan ketika bermain basket, kejadian itu agak membuatku trauma dan sejak itu aku sulit bersaing dengan pemain-pemain lain sebab ini." Ia berkata-kata sambil agak berkaca-kaca lantaran cita-cita terbesarnya telah pupus jika mengingat kejadian mengerikan itu.
"Aku turut bersedih Tom," kata Emma dengan raut bersimpati.
"Terimakasih," kata Tommy sambil mengusap matanya. "Ngomong-ngomong siapa pria yang kau gandeng tadi siang?"
Emma mengangkat alisnya. "Di mana?"
"Di pernikahan Victor dan Margot. Aku juga menghadirinya, dan melihatmu bersama pria Asia, ada juga Eliza yang kulihat."
"Dia...." Emma memutar bola matanya, kobaran api itu melambai-lambai seakan-akan menyuruhnya untuk menutup mulut. "Dia bukan siapa-siapa, hanya pacar sewaan yang kubayar untuk menenamiku menghadiri acara pernikahan Margot."
"Syukurlah," ujar Tommy. "Harusnya aku buru-buru menemuimu kemarim ketika aku baru tiba di London. Kita bisa pergi ke acara pernikahan itu tanpa harus membuang-buang uangmu. Lagipula kenapa kau memilih pria Asia itu?"
"Maksudmu?" Emma mengernyitkan dahinya setelah mendengar pertanyaan Tommy.
"Rasanya kau tidak terlalu serasi dengannya."
"Karena apa?"
"Tinggi badannya tidak melebihi dirimu," kata Tommy. "Meski ya... dia cukup manis."
Emma menelan ludahnya, bersama itu memalingkan badannya ke arah tungku penghangat ruangan. Lagi-lagi soal fisik yang dibicarakan jika berbicara tentang pasangan. Padahal tempo hari ia baru menonton film The Beauty and The Beast, yang cukup melegakan hatinya. Kini ia harus mendengar ucapan Tommy yang seakan-akan merujuk kepada pasangan itu harus cantik dengan tampan, sempurna dengan sempurna, yang alih-alih bukan saling menyempurnakan.
"Lupakan saja," kata Emma. "Hanya pacar sewaan yang selintas lewat di kehidupanku."
.
Sementara malam itu Eliza mengantarkan Jae-yong ke bandara dengan wajah yang sendu. Ia tak henti-hentinya merangkul Jae-yong, bermanja-manja di pundak Jae-yong dalam ruangan tunggu. Setiap kali melihat pesewat lepas landas dari balik dinding kaca, suara tangisannya menjadi-jadi dan Jae-yong hanya bisa menahan malu sambil berusaha menyumpal mulut Eliza dengan tisu.
"Diamlah!" bentak Jae-yong dalam intonasi lirih.
"Kenapa kau cepat sekali pergi," rengek Eliza.
Pada saat tiba jadwal penerbangan itu, Jae-yong beranjak dari tempat duduknya dan tangisan Eliza mengeras. Pria Korea itu lantas menghadap ke arah Eliza dengan ekspresi geram bercampur kasihan lantaran suara tangisannya menguasai seisi ruangan.
"Kau mau pergi ke kamar mandi kan? Bukan mau pergi ke Korea?" Eliza berbicara seperti malantur di tengah-tengah rengekan tangisnya.
Lantaran itu, meski Eliza menangis seperti anak kecil yang tengah memohon-mohon kepada ibunya untuk dibelikan mainan, tapi hati Jae-yong merasa simpati padanya. Mata pria Korea itu nampak berkaca-kaca ketika hendak berkata-kata sebelum pergi masuk ke dalam pesawat. "Jadwal penerbanganku sudah tiba, tariklah napasmu perlahan-lahan," perintahnya.
Eliza menarik napas perlahan-lahan dan menghembuskannya juga secara perlahan. Ia mulai tenang dan tangisan itu meredup meski air matanya tek berhenti mengalir di situ.
Kemudian Jae-yong berkata-kata lagi. "Relakan saja, hidup bahagia saja tanpaku. Barangkali jika aku kesini, kita bisa bertemu lagi dan aku ingin melihatmu lebih bahagia dari hari-hari lalu." Ia menepuk pundak Eliza. "Aku harus pergi sekarang," ujarnya. Tangisan itu merebak dari mata Jae-yong. Apapun itu meski bukan cinta, ia meresa ada keterikatan batin dengan Eliza. Mungkin dalam arti lain ia sudah menanggap Eliza sebagai adiknya.
Sontak Eliza memeluknya erat-erat sebelum pria itu benar-benar menjauh darinya. Air matanya membasahi pundak keduanya.
"Jaga baik-baik dirimu," kata Jae-yong lagi.
"Kau juga," ujar Eliza dengan suara yang begitu parau.
Malam itu adalah perpisahan antara pasangan pria tampan asal Korea dan putri konglomerat kota London. Sementara sore itu pria Jawa tampak lebih nahas sebab harus berangkat sendiri ke bandara tanpa iringan bidadari Eropa, dan bidadari itu tampak menemui mantan kekasihnya dulu dengan rambut yang memanjang melewati leher sampai menyentuh pundak. Mereka mengobrol di penginapan dan hanya sekedar mengobrol sebab Emma tampak masih menjaga jarak.
Si rambut poni Nick sudah menunggu Eliza di ruang tunggu setelah Jae-yong hilang dari pandangan. Ia melambaikan tangan dan tersenyum saat Eliza berbalik ke arahnya dengan air mata yang membanjiri wajahnya. Pria berponi itu merasa canggung setelah pengakuan cintanya di atas panggung itu, namun kepercayaan dirinya agak tumbuh tatkala Jae-yong meyakinkan komitmennya untuk memburu cinta Eliza.
"Oleh Jae-yong, aku disuruh mengantarmu pulang. Dia sudah membayarku padahal aku menolak," ujar Nick. "Aku jadi tidak enak padanya."
"Aku ingin minum hari ini, mau temani aku?" tawar Eliza.
"Mi- minum?"
"Ya."
"Oh tentu.. ayo kita pergi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pays to Be a Love
RomanceApa jadinya bila Pria Jawa dan Wanita Eropa saling mencintai? Emma Handerson seorang mahasiswi jurusan sastra Inggris yang susah payah melupakan mantan pacarnya. Setelah hubungannya dengen Tommy Wayne renggang, ia merasa risih didekati oleh banyak p...