Satu bulan setelah Jowan menghabiskan waktunya di kampung halaman, ia terbang lagi ke London. Jessy memberi kabar bahwa ada lowongan kerja di bagian kasir pada tempat kerjanya. Maka dari itu Jowan bergerak cepat dan tak mau menyia-nyiakan peluang itu meski usaha orang tuanya mulai bangkit lagi dan ia masih terus ditransfer uang oleh Emma setiap bulannya.
Rasanya, Jowan ingin memiliki pengalaman kerja sebelum ia wisuda. Sementara jika ia terus menaruh ketergantungan hidupnya pada hubungan berbayar antara dirinya dan Emma, ia merasa ada beban yang menggantung. Jowan memang menyukai Emma dan begitu sebaliknya, tapi keluarga Jowan belum tentu merestui hubungan mereka, apalagi ibunya sudah terang-terangan tak menyukai anaknya berhubungan dengan perempuan Eropa, ditambah lagi dengan keluarga Emma yang belum mengetahui identitas Jowan dan seluk beluk keluarganya.
Dari Indonesia, Jowan membawa dua karung berisi kentang sebagai oleh-oleh untuk keluarga Emma. Mereka -Jowan dan Emma- bertemu di halaman rumah dan memasukan dua kerung kentang itu ke gudang dapur dibantu oleh dua orang pembantu Tn. Wang. Setelahnya, sejoli itu melakukan perbincangan ringan di ruang tamu dan membuat jadwal pertemuan.
"Kita berhenti di sini," kata Jowan di hadapan Emma. Sesuai janjinya, di hari pertamanya bekerja, lelaki itu baru saja pulang dari tempat kerjanya sore tadi dan menemui Emma di sebuah kafe. Kebetulan ia mendapatkan shif pagi sehingga bisa bersantai-santai di malam hari.
"Berhenti apanya?" tanya Emma mendelik ke arah Jowan setelah menyeruput milkshake cokelat.
"Aku sudah mendapat kerja, kau tidak perlu membayarku lagi."
"Kau bekerja di mana?"
"Di Minimarket, sebagai kasir," jawab Jowan.
"Astaga.....," keluh Emma, agak terkejut mendengarnya. "Apa perlu kutambah lagi gajinya?" tanyanya. "Kau tidak usah susah-susah bekerja seperti itu...." Emma merasa gemas dengan keputusan Jowan yang tidak didiskusikan terlebih dahulu dengannya.
"'Seperti itu' apa maksudmu?"
Emma mengerjapkan matanya sambil tergeleng-geleng. "Bagaimana jika ayahku tahu kalau kau bekerja sebagai kasir?"
Keduanya terdiam hening. Jowan mengatupkan mulutnya selama setu menit, berpikir bagaimana caranya mengatasi hidupnya yang sudah dicandui cinta namun harus berurusan dengan keluarga konglomerat London. Ini seperti bagaimana sebuah badai dihentikan dalam sekejap, lalu gerimis kecil datang menenangkan, dan itu terlalu rumit bagi Jowan.
"Apakah kau benar-benar mencintaiku?" tanya Jowan dengan raut sendu.
"Ya," kata Emma dengan ekspresi tulus. Tangan kanannya berangsur-angsur menggenggam satu tangan Jowan di atas meja.
"Kau bilang cinta adalah tentang kenyamanan, kau tak memandang apapun," ujar Jowan. "Kalau begitu terima aku apa adanya."
"Masalahnya, keluargaku tidak begitu Jowan," ucap Emma. Sesekali ia memindai ke arah kiri kanan agar ekspresi sedihnya tak terwujud di hadapan Jowan.
Jowan menjalurkan seperampat lidahnya keluar untuk mengusap bibirnya yang agak kering. Ia memalingkan wajahnya di hadapan Emma sambil berkaca-kaca. "Pilih saja," katanya. "Mau menerimaku apa adanya atau mau pilih ideologi keluargamu itu?" ia melepaskan genggaman Emma, dan mengusap kelenjar air matanya. "Lagipula, aku juga tidak ingin menurunkan pamor keluargamu," ujarnya.
"Bukan seperti itu Jowan," gumam Emma. Ia mulai kelabakan menghadapi situasi yang semakin runyam ini.
Dari dulu, keluarga Handerson memang selalu memiliki standar tinggi tentang calon pasangan mereka, beberapa keturunannya yang terjebak ke pelukan orang-orang menengah biasanya hanya berlangsung di tengah jalan sebelum sampai ke rencana pernikahan. Bahkan beberapa saudaranya ada yang sampai menjomblo di usia 40 tahun sebab pegangan tradisi dari nenek moyang mereka.
"Aku tidak bisa terus-terusan sembunyi di balik topeng," kata Jowan, menatap ke arah Emma. "Pada akhirnya, hubungan kita akan terbongkar dan kita akan berakhir kan?"
Emma menunduk seraya mengusap-usap air matanya yang entah mengapa tiba-tiba saja keluar tanpa diinginkan. Ia mendongak lagi ke arah Jowan setalah hanya menyisakan air mata. "Bisakah kita jalani saja dulu sampai kita tahu apa yang akan terjadi ke depannya?" tanya Emma. "Aku mempelajari serius tentang agamamu," lanjutnya. "Jika kita berjodoh, Tuhan tak akan menukarnya."
Mendengar ucapan Emma, Jowan merasa tersentuh. Bisa-bisanya sampai di titik ini wanita cantik itu mempertahankan pria pendek Asia yang wajahnya biasa-biasa saja untuk standar ketampanan orang Eropa. Padahal ia kira hubungannya akan benar-bener berhenti di malam ini ketika ia mengatakan 'berhenti di sini'. "Kau bisa menerimaku apa adanya?" tanyanya. Ia menatap meja di hadapannya yang hanya menopang dua gelas minuman cokelat sambil menunggu jawaban Emma.
Wanita itu menghela napas dan membuang pandangannya. Ia menoleh lagi ke arah Jowan dan mengangguk tiga kali meski pikirannya masih begitu ripuh. "Tentu," lirihnya.
****
Jowan mengetuk pintu rumah Ratna sambil menenteng rantang. Ia hampir lupa memberikan kepada Ratna oleh-oleh titipan orang tuanya berupa rendang sapi dan nasi jagung. Sejujurnya, Jowan masih memendam dengki kepada Ratna. Akibat kelakuannya, Jowan harus bertikai di dapur dengan ibunya dan mendengarkan ucapan tak mengenakan dari orang tuanya. Kehidupannya juga tidak akan berlangsung runyam secepat ini jika ia tak datang ke Eropa lalu dengan percaya dirinya mengatakan 'aku diberi amanat untuk mengawasimu'.
"Mas udah balik ke sini?" Ratna tersenyum setelah membuka pintu dan melihat Jowan di hadapannya. "Baru sampai ya?"
"Udah dari kemarin," kata Jowan. Ia mengulurkan rantang di tangannya. "Ini titipan ayahmu. Rendang dan Nasi Jagung," ujarnya.
"Kenapa nggak bilang-bilang dari kemarin. Kalau tahu kan bisa kujemput dengan taksi," ujar gadis Jawa itu. "Makasih udah repot-repot bawa oleh-oleh dari kampung." Ia meraih rantang di tangan Jowan yang berisikan rendang dan nasi jagung itu.
"Iya sama-sama," ucap Jowan memasang ekspresi cuai.
"Mau masuk dulu Mas?" tawar Ratna sambil melebarkan regangan pintunya.
"Nggak makasih," ucap Jowan. "Aku cuman mau bilang, jangan mencampuri urusan hidupku."
Ratna mengernyitkan dahinya, berlagak kebingungan. "Maksudnya?"
"Kamu yang ngirim foto itu ke ibuku kan?"
Gadis itu mengerjapkan matanya, dan menghindari tatapan Jowan. Arah matanya tek menentu, hanya memindai di sekitar dada lelaki itu. "Foto yang mana Mas?" tanyanya.
"Fotoku yang duduk sama Emma di Green Park," ujar Jowan. "Udah nggak perlu bersilat lidah, aku cuman pengin kamu berhenti mengurusi hidupku."
"Maaf Mas." Ratna menundukan kepalanya, entah malu atau hanya bersandiwara saja. Bagi Jowan, semua kelakuan Ratna memuakkan pandangannya, gadis itu hanya menambah runyam kehidupannya. "Tapi Mas, aku sudah diberi amanat oleh ibumu," kata Ratna.
"Ini hidupku Rat!" sarkas Jowan dengan intonasi lirih, ia hampir saja menggebrak gawang pintu namun diurungkan karena takut mengganggu penghuni kamar sebelah. "Aku berhak melakukan apapun tanpa dicampuri oleh siapapun termasuk kamu!"
"Tapi.... Emangnya Mas mau nikah sama orang Eropa? Keluarga bakal setuju?"
"Itu bukan urusanmu," kata Jowan.
"Tapi...."
"Berhenti! Tolong berhenti!" Jowan melangkah mundur, menahan amarah. Ia menjauhi pintu itu, lalu masuk ke dalam rumahnya. Sementara Ratna hanya bisa mengatupkan mulutnya seraya memandang langkah Jowan yang terbawa emosi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pays to Be a Love
RomanceApa jadinya bila Pria Jawa dan Wanita Eropa saling mencintai? Emma Handerson seorang mahasiswi jurusan sastra Inggris yang susah payah melupakan mantan pacarnya. Setelah hubungannya dengen Tommy Wayne renggang, ia merasa risih didekati oleh banyak p...