Hari ini di mana untuk pertama kalinya Jowan dan Jazil akan mengunjungi pusat-pusat tempat menarik di luar Indonesia, khususnya di kota berjuluk The Smoke - London -.
Seperti gaya busana Jazil sebelumnya di bandara, ia masih mengenakan model pakaian yang sama namun dengan corak dan warna yang agak berbeda. Lain dengan Jowan yang terlihat tampil lebih kasual dengan mengenakan kemaja hitam dibalut rompi sweater abu-abu.
"Udah sarapan Wan?" tanya Jazil ketika mereka bertemu di depan pintu rumah Ratna.
"Sudah," jawab Jowan, mengangguk.
"Gimana menurutmu rendang buatanku?" tanyanya.
Jazil memang sempat memberi Jowan oleh-oleh berupa rendang yang ia buat di Kairo sebelum terbang ke London. Ia paham betul jika Jowan sangat menyukai menu makanan lebaran, meski yang sangat ia sukai bukanlah rendang melainkan opor ayam. Namun karena perjalanan yang tidak sebentar dari Kairo ke London membuat Jazil mengurungkan niatnya memasakan opor ayam yang tentu saja eksistensi kelezatannya tidak seawet rendang.
"Enak banget. Nggak kalah enaknya dari buatan ibuku."
Jazil tersenyum, seakan Jowan tengah melakukan rayuan gombal yang dikemas dalam bentuk pujian. Wanita itu menarik langkah ke arah halaman rumah tanpa arahan Jowan. Pipinya merah merona sebab merasa tersanjung, untuk pertama kalinya hasil masakannya dipuji oleh orang lain, dan ia tak mempedulikan apakah orang itu membual atau memang jujur apa adanya. sementara Jowan hanya mengikutinya dari belakang.
"Jadi kita mau jalan-jalan ke mana dulu?" tanya Jazil seraya menoleh ke arah Jowan.
"Kamu sukanya yang seperti apa?" Jowan balik bertanya.
"Aku si suka tempat yang ada nilai sejarahnya, untuk menambah wawasan."
"Bagaimana kalau ke British Museum. Di situ gudangnya peradaban."
"Ahhhh." Jazil melebarkan matanya, memindai lagi ke arah Jowan. "Ide bagus," kata Jazil.
Mereka tiba di halaman setelah beberapa langkah. Ada beberapa mobil yang terparkir di halaman itu. Namun dari kejauhan, tampak Lamborghini lain tengah mendekat. Entah siapa itu, tapi pengemudinya sepertinya perempuan.
"Kamu pernah ke museum itu?" tanya Jazil. Ia dan Jowan terus berjalan sampai tiba di terotoar menuju halte bus. Beberapa kali pandangan Jazil bersliweran ke sana ke mari menikmati panorama kota London di sekitarnya.
"Dua kali mungkin. Aku juga agak lupa."
Mobil itu berhenti di hadapan Jowan dan Jazil. Dari luar kaca, Jowan melihat Emma tengah mendelik ke arahnya dengan tatapan curiga. Wanita itu menyeruak dari pintu depan menghampiri Jowan yang agak terbengang melihatnya. Pintunya dibanting menutup, kamudian tatapan itu melayang lagi ke arah Jowan. "Kau mau ke mana?" tanyanya sambil mendekat.
"British Museum," jawab Jowan. Sementara di sampingnya, Jazil masih menerka-nerka siapa wanita berambut pirang itu.
Emma melirik ke arah Jazil dengan tatapan sinis.
"Ini Jazil. Temanku," ujar Jowan. "Dia baru tiba di London kemarin sore. Aku ingin menemaninya jalan-jalan mengenalkan kota ini."
"Hai, namaku Jazil." Dengan senyum yang ramah, wanita berhijab itu mengulurkan tangan ke arah Emma.
Emma menjabat tangannya, namun tatapan sinisnya tidak bisa lepas dari matanya. "Aku Emma. Pacarnya Jowan," ujarnya.
Jazil hampir saja terperanjat mendengarnya. Pacar? "Apa?" tanya Jazil untuk memastikan apa pendengarannya masih normal atau memang begitulah wanita itu menucapkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pays to Be a Love
RomanceApa jadinya bila Pria Jawa dan Wanita Eropa saling mencintai? Emma Handerson seorang mahasiswi jurusan sastra Inggris yang susah payah melupakan mantan pacarnya. Setelah hubungannya dengen Tommy Wayne renggang, ia merasa risih didekati oleh banyak p...