Bab 14

91 9 0
                                    

5 menit tanpa suara apapun, hanya layar televisi yang sibuk menampilkan adegan-adegan dari serial Drama Korea, sementara di luar masih hujan deras dan volume suara televisi hampir meredam gemuruh hujan itu. Entah apa yang dilakukan Emma sampai berlama-lama di dapur hanya untuk membuatkan dua cangkir teh, rasanya Jowan ingin beranjak dari sofa itu untuk mengakhiri ketidaknyamanannya. Kecanggungan menguasai keduanya -Jowan dan Jimie-.

Hingga akhirnya Jimie membuka suara. "Hai," ia menoleh ke arah Jowan. "Siapa namamu?" tanyanya.

Jowan menoleh pelan ke arah Jimie dengan ekspresi datar bercampur gemetar. "Jowan."

"Oww." Jimie kembali memindai ke arah televisi. Mengangkat remot tv.nye karena tayangan berubah menjadi iklan mie instan.

"Ya."

"Mau?" Jimie menawarkan sebungkus kacang polong itu ke hadapan Jowan. Bibirnya digesek-gesekkan semacam memasang wajah sok keren.

"Tidak," kata Jowan dengan badan yang agak gemetar, entah karena takut atau kedinginan.

"Ambil saja jika mau." Jimie menaruh sebungkus kacang polong itu di hadapan Jowan.

"Ya." Jowan menganggukan kepala.

"Jangan berekspresi seperti itu. Aku bukan harimau yang hendak mencakarmu," ujar Jimie.

"Ya." Jowan mengangguk-anggukan kepalanya lagi. Kemudian tatapannya beralih lagi ke arah televisi.

"Kau orang Korea? Namamu seperti orang korea."

"Aku orang Indonesia."

"India?" Jimie mengernyitkan dahi. Ucapan lirih Jowan tidak terlalu jelas di telinga atau dia yang kurang rajin membersihkan lubang telinganya? Barangkali volume suara televisi yang terlalu keras bercampur dengan suara bising hujan di luar mampu meredam omongan Jowan. Jimie tak mendengar sama sekali, seperti Jowan tengah berbicara dengan Dirman.

"Indonesia." Jowan lebih mengeraskan lagi volume suaranya.

"Oh Indonesia." Jimie menoleh sekejap ke arah Jowan, teringat suatu tempat ketika mendengar kata 'Indonesia'. "Negara tatangganya Bali?"

"Bu- bukan. Bali bukan negara, Bali termasuk bagian dari Indonesia."

"Oww aku baru tau."

"Ya."

"Kau sendiri orang Bali?"

"Bukan. Aku orang Jawa."

"Oww."

"Ya."

"Kau pasti anak orang kaya, sampai bisa tinggal di Eropa."

"Juragan kentang, aku anak juragan kentang." Sekonyong-konyong ucapan itu keluar dari mulut Jowan tanpa dipikirkan dua kali. Tangannya ragu untuk mengambil kacang polong di hadapannya, lantas ia kembalikan lagi di sandaran sofa. Ah dasar! Lugu. Jowan ceplas-ceplos di beberapa saat, ini kebiasaan buruknya.

"Tidak buruk," tanggap Jimie sembari menggelengkan kepala sekali. Itu jauh labih baik dari seorang pengangguran yang sempat dekat dengan Emma.

"Ya."

Jimie kini menoleh lagi ke arah Jowan dengan tatapan mengintimidasi, membuat Jowan jengah membalas tatapannya dan lebih baik berpura-pura menikmati serial Drama Korea di hadapannya. Ia sempat melirik sesaat, namun memalingkan lagi lirikannya.

"Apa kau suka Emma?" tanya Jimie.

"Tidak," jawab Jowan. Ia kemudian mengambil kacang polong di hadapannya untuk mengalihkan rasa gugupnya. Batinnya lagi-lagi merasa terbantai oleh tatapan Jimie.

Pays to Be a LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang