"JOWAN, apa cita-citamu?" Gadis berusia 13 tahun dengan balutan hijab hijau di kepalanya sibuk melipat-lipat sebuah kertas di pinggiran sungai, hendak dijadikannya sebuah perahu kertas.
"Nahkoda mungkin," jawab Jowan. "Atau bajak laut hihi." Ia terkekeh, mendorong perahu kertas buatannya di emperan sungai. Mengibas-ngibaskan air di tepian sungai itu agar perahu buatannya bergerak ke tangah sungai lalu berjalan terbawa arus.
"Kenapa?" Gadis itu bertanya lagi. Menyelesaikan lipatan terakhir sebelum lembaran kertas itu menjadi sebuah perahu kertas yang sempurna.
"Aku pengin ke luar negeri, ke belahan dunia. Jazil," jawab Jowan. Pandangannya tak lepas dari perahu kertasnya yang melaju cepat terbawa arus sungai, dan hilang terhalang oleh bebatuan di sengai itu.
"Kenapa?" Gadis bernama Jazil itu bertanya lagi dan lagi, seperti yang sering ia lakukan di dalam kelasnya ketika suatu materi yang tak dipahami memutar di otaknya. Gadis itu memang pandai bertanya karena rasa penasarannya.
Jowan menoleh ke arah Jazil, memandangi lamat-lamat wajahnya yang mungil itu, dengan sepasang alis yang tebal dan hidung tajam membuatnya terlihat mempesona di usianya yang masih semuda itu. Jowan mengalihkan pandangannya pada perahu kertas di tangan Jazil, lalu direbutnya parahu kertas itu. "Aku ingin melihat berbagai macam orang di belahan dunia. Yang berambut pirang, berkulit salju, berkulit hitam legam, bermata biru, berwajah oriental, dan lain-lain. Dan menikmati kehidupan dengan berbagai musim, selain musik hijan dan kemarau." Perahu kertasnya dilemparkan ke tengah sungai dan berhasil mendarat dengan sempurna lalu melaju kencang terbawa oleh arus. "Aku bosan tinggal di Jawa," lanjutnya sembari menengok lagi ke arah Jazil yang sempat geram karena parahu kertas buatannya dirampas seenaknya.
"Kamu nggak cinta sama tanah kalahiranmu?" Jazil sekonyong-konyong menyentil pipi Jowan, membuat Jowan merintih lirih.
Jowan lantas menengok ke arah Jazil, menatap tajam tatapannya yang geram itu. Namun ia mencoba menghela napas, lalu tersenyum. Gadis itu bisa menangis jika Jowan melawan, lalu membuat pikiran Jowan kalang kabut, lantaran itu ia hanya tersenyum saja menanggapi tatapan tajam Jazil. "Tentu cinta, tapi apa salahnya menambah wawasan tentang budaya nagara-negara lain. Lagian kalau kita terus menetap di sini, pengalaman kita mentok-mentok sampai daerah ujung kulon jawa, atau sampai merauke hihi," ujar Jowan sembari terkekeh di ujung kata. "Kamu sendiri, apa cita-citanya?"
Jazil kembali hendak menyentil pipi Jowan, namun Jowan berhasil menggenggam lengannya dan segera dilepas kembali lengan itu. "Aku ngikut arus aja, nggak ada cita-cita," jawab Jazil sambil memalingkan pandangannya.
"Anak sepintar kamu, anak rangking satu di kelas. Kenapa nggak punya cita-cita?"
Jazil menangkap lagi pandangan Jowan, memasang wajah masam. "Emang salah?"
"Ng--- enggak juga si. Terserah kamu aja."
.
Seseorang sekonyong-konyong menyentil lagi pipi Jowan, membuatnya tersadar dari lamunannya. Sudah 5 tahun lalu, kapal-kapal di tepi dermaga itu mengingatkannya dengan cita-cita konyolnya dulu. Nahkoda? ia terkekeh, tersenyum-senyum sendiri. Hah sekarang Jazil apa kabar? Sudah seperti apa dia?
"Aku mengajakmu ke dermaga ini, bukan untuk melamun," ujar Emma, menyentuh pelan bahu Jowan. Mengulum bibir bawahnya karena geram diacuhkan beberapa menit ketika pertanyaannya justru dibalas dengan keheningan.
"Maaf-maaf," Jowan menoleh ke arah Emma dengan tatapan bersalah. "Aku teringat sesuatu." Ia memindai tatapannya lagi ke arah kapal-kapal di tepian dermaga. Anginnya yang berhilir-hilir membuat rambut sejoli itu tampak melambai-lambai.
"Apa?"
"Lima tahun lalu, aku pernah bercita-cita menjadi seorang nahkoda. Alasannya karena aku ingin menjelajahi dunia."
"Cita-cita yang ambisius," ujar Emma. "Setidaknya kau sudah menapakki tanah Eropa."
"Ya." Jowan tersenyum ke arah Emma.
Hari ini dan hari-hari sebelumnya, adalah yang pertama kalinya untuk Jowan berkesempatan dekat dan memandang wanita berambut pirang dari ujung kaki hingga ujung kapala. Itu sebenarnya bagian dari cita-citanya dulu -7 tahun lalu-. Namun fisik menawan yang dimiliki Emma dan wanita-wanita Eropa lain, terkadang membuat gairah nafsunya goyah.
"Besok malam ada pesta di klub malam. Aku ingin kau datang," ujar Emma, mengagetkan hati Jowan yang tengah asik menikmati pemandangan dermaga.
"Klu--."
"Klub Malam. Kau harus datang untukku." Emma menatap Jowan dengan tatapan meyakinkan.
Seketika susasana hati Jowan berubah 45 darajat. Kesejukan dermaga di sore hari terkalahkan oleh gemuruh hatinya. Ia berdebat di dalam hati. Klub malam? Ah sial!
"Kau harus datang untukku."
"Emma! Aku tidak pernah datang ke klub malam. Bukannya disana banyak alkohol dan orang-orang bercumbu di sana-sini!" Ia marajuk, berujar dengan nada kesal.
"Aku hanya butuh kahadiranmu. Kau tak harus meminum alkohol, kau bisa memalingkan pandangannya dari orang-orang yang sedang bercumbu, kau sudah berjanji untuk melakukan yang terbaik untukku."
"Ahh sial!" Jowan mendengus lirih, membuang keras pandangannya.
"Pukul 11, ajaklah temanmu." Emma beranjak dari posisi duduknya. Lalu mengusap-usap, mengibaskan pasir-pasir yang menempel di celananya. "Nikmati saja, jangan hanya ingin melihat sisi baik dari orang-orang , sekali-kali lihat sisi gelapnya. Hanya kau lihat, itu tidak merepotkan kan?"
"Ya." Jowan menghela napas, duduk memeluk lututnya. Menatap pasrah awan-awan di langit yang sudah mulai berubah warna menjadi jingga.
"Aku juga sudah membayarmu, jadi kau harus melakukan yang terbaik."
"Ya."
"Kau belum ingin beranjak dari tempat ini?" Emma berkacak pinggang, memandang Jowan yang sedang sibuk dengan pikirannya sendiri. "Kalau bagitu aku pulang dulu."
Katika Emma handak menarik langkahnya, tangan Jowan menahan kakinya. Dengan wajah memelas, ia berujar, "kau yang mengarahkanku kesini, aku belum paham arah jalannya." Sial! Kali ini Jowan benar-benar terkesan kekanak-kanakan.
"Aku ingin pulang sekarang, jangan berlarut-larut di dermaga ini."
"Ya okey!" Jowan berdiri malas, meregang-regangkan badannya yang sudah hampir satu jam diam terhipnotis oleh keindahan dermaga. Ia merajuk kesal melihat Emma yang seperti ingin buru-buru pergi dari tempat ini.
"Jangan pasang wajah seperti itu," ujar Emma sembari menyentil pipi Jowan, memicingkan matanya ketika lelaki pendek di hadapannya berlagak kesal. "Di depan temanku nanti, kau harus memasang wajah bahagia. Lakukan yang terbaik untukku."
"Ya okey!" Jowan mengusap pipinya pelan, masih saja memasang wajah kesal meski sudah diperingati.
•
•
•
•
•
Play List :
Maudy Ayunda - Perahu Kertas
•
•
Terimakasih sudah membaca,
Jangan lupa vote agar author semangat nulisnya...
KAMU SEDANG MEMBACA
Pays to Be a Love
RomanceApa jadinya bila Pria Jawa dan Wanita Eropa saling mencintai? Emma Handerson seorang mahasiswi jurusan sastra Inggris yang susah payah melupakan mantan pacarnya. Setelah hubungannya dengen Tommy Wayne renggang, ia merasa risih didekati oleh banyak p...