Di sudut-sudut dinding itu, sebaris semut merah terus berjalan tanpa menghiraukan isak tangis seseorang. Sementara mereka tak terdeteksi radarnya oleh pria kekar yang tengah menangis memalukan seperti anak balita yang baru mengenal cinta. Semut-semut itu terus berjalan, berjalan, dan berjalan dan mengumpat 'persetan' dengan semua halangan.
Sementara yang dikatakan pria kekar itu adalah Nick. Ia tak henti-hentinya menyeka air matanya yang terus mengalir hingga ke ujung dagu. Ia merebahkan pantatnya di atas kloset yang tertutup. Menyandarkan diri di dinding, seperti tak bernyawa lagi. Meski badannya kekar berotot, rasanya tak ada tulang lagi di sekujur badannya yang setidaknya sanggup untuk menopang redup semangat hidupnya.
Tatapannya memindai ke arah lengan tangannya yang besar, hampir sebesar paha Jowan. Lalu ke arah sepasang susunya yang menonjol keras. Ia menghela napasnya, seperti yang sering dilakukan oleh kebanyakan karakter lain. Sebenarnya untuk apa aku membesarkan badanku ini?
Ini semua saran anak Nigeria itu, Victor Niwkolo. Seorang remaja negro yang saat itu berumur 16 tahun. Kala itu ia baru satu tahun pindah ke London mengikuti pekerjaan orang tuanya, dan dengan waktu singkat menjadi teman dekatnya Nick.
Ia teringat saran klise itu ketika dirinya masih berbadan kurus kerempeng. Sementara saat itu kelas 1 SMA, Emma sedang menjalin hubungan dekat dengan seorang atlit basket berbadan atletis, Tommy Wayne. Padahal Nick lebih dulu menyukainya, jauh sebelum mereka berdua dekat. Sayangnya ia terlambat mengatakan, bukan terlambat, tepatnya kerena Nick terlalu insecure.
"Kau masih terus mengirimi surat ke Emma?" tanya Victor memindai ke arah Nick yang tengah sibuk mengerjakan tugas susulan.
"Tidak." Nick menghentikan laju pulpennya di atas buku, rasanya sedih mendengar puluhan surat cintanya yang tak pernah dibalas satupun oleh Emma. Terakhir, ia menemukan suratnya berada di dalam tong sampah depan kelasnya, setelah itu ia tak pernah lagi menulis surat cinta meski perasaan sukanya tak mengurang sepersen pun.
"Kenapa?"
"Mungkin cara itu sudah kurang efektif. Lagi pula Emma sudah milik orang lain." Nick melanjutkan aktivitasnya.
"Tapi kau masih menyukainya?"
"Tentu saja."
"Kenapa?"
Nick mengalihkan pandangannya ke arah Victor, menangkap tatapannya yang penuh dengan pertanyaan. "Dia cantik, secantik bidadari."
"Itu saja?" tanya Victor.
"Di sekolah ini, kau kira ada yang lebih cantik dari Emma?"
"Ada," kata Victor.
Nick mendongakan dagunya, berkacak pinggang dengan tatapannya yang dingin. "Katakan siapa?"
"Margot!" seru Victor.
Seketika sekujur badan Nick lemas. Ia merebahkan kepalanya ke bawah, lalu menatap wajah Victor dengan keraguan. Apakah bocah ini waras?
Margot Laurent adalah cewek berkulit cokelat dengan kepala yang penuh dengan riasan rambut, segala bandana dan jepet berkumpul di situ. Make up yang setebal ingusnya, payudara yang sebesar kepalanya, pantatnya yang menonjol sebalah, pakaian mini warna-warni, dan cara jalannya yang merayu-rayu. Rasanya hampir setiap hari dia seperti badut seksi yang dikagumi oleh cowok-cowok mesum macam Victor!
"Menurutmu Margot lebih cantik dari Emma?" tanya Nick.
"Tentu saja dia lebih seksi." Victor berucap sembari menatap ke langit-langit, membayangkan Margot jatuh dari atas lalu merebahinya. Dasar mesum!
"Ya dia lebih seksi." Nick menelan ludahnya. Mengindahkan pandangannya dari cowok mesum di sampingnya, lantas melanjutkan aktivitasnya lagi.
"Jadi Kau sudah berhenti memperjuangkan cintamu Nick?" tanyanya lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pays to Be a Love
RomanceApa jadinya bila Pria Jawa dan Wanita Eropa saling mencintai? Emma Handerson seorang mahasiswi jurusan sastra Inggris yang susah payah melupakan mantan pacarnya. Setelah hubungannya dengen Tommy Wayne renggang, ia merasa risih didekati oleh banyak p...