Bab 5

166 13 0
                                    


JOWAN menautkan tatapannya pada ruang lemari bajunya. Kemaja pink, kemeja hitam, kemaja putih, hems kotak-kotak merah, koas belang-belang hitam putih, dan kemaja lengen pendek putih navy semuanya tercantol berbaris di lemarinya, sisinya terlipat berantakan di ruang sebelahnya. Sementara pakaian yang tercantol itu saja setelan atasan luwes yang tersisa di dalam lemari Jowan, sisanya gembel dan beberapa masih tertumpuk di ember untuk dituangkan ke dalam mesin cuci.

Jowan berdeham. Mau pakai yang mana? Sedangkan di sudut kamarnya, tercantol satu helai cardigan berwarna hitam, dan jaket jeans abu-abu, tidak aja jaz sama sekali. Pikiran Jowan semakin bimbang. Sebenarnya Emma menyukai gaya seperti apa? Apakah gaya stelan Nick adalah seleranya?

Tidak tidak, ia tidak cocok berdandan seperti anak motor, bahkan melihat  Nick saja rasanya aneh, barangkali si botak itu juga memaksakan gaya baju itu menempel di badannya.

Jowan lantas mengambil kemaja lengan pendek putih navy dan membalutnya dengan cardigan hitam, lalu melipat lengan cardigan itu hingga ke siku. Seringainya melebar di depan cermin sembari menyisir rambutnya ke belakang.

Bukan main dia si pria Jawa itu, ia berusaha mungkin agar terlihat menarik dan luwes, bukan untuk menarik hati Emma, tetapi untuk memantaskan diri saja sebab yang digandengnya malam ini tak lain dan tak bukan adalah salah satu wanita tercantik di kota ini -bagi Jowan-. Baginya ini bukan main-main, bak berkencan dengan anak kepala negara.

"Arep mengendi rek?" Dirman tiba-tiba menepuk pundak Jowan dari belakang, membuat Jowan terkejut dan mendengus kesal. Dia seperti jumpscare di film-film horror Indonesia yang tidak penting datangnya. Ditambah lagi dengan wajahnya yang menyebalkan itu, menambahkan kesan horror.

"Ngelayap!" jawab Jowan singkat padat. Pandangannya tidak memindai dari cermin.

"Arep ngelayap karo sopo?"

Jowan melirik sinis ke arah Dirman yang masih stay memegangi kedua pundaknya. Ia mendengus-dengus, bau menyan kadaluarsa menusuk hidungnya. Sedangkan Dirman dengan tampang sok sibuk memperhatikan wajah Jowan di pantulan kaca.

Sementara di dalam sebuah mall, Emma duduk di banch depan locket Emperial Cinema. Membawa satu cup popcorn berukuran besar dan dua tiket masuk. Beberapa kali ia menengok ke arah jam tangannya menunggu kedatangan Jowan. Pria berkulit cokelat itu belum tiba, padahal Emma sudah duduk di banch itu 5 menit lamanya.

Baru saja dipikirkan, orang itu datang juga. Panjang umur pria ini.

"Hai." Jowan berdiri di depan banch menatap lamat-lamat penampilan Emma. T-shirt putih dibalut kimono bermotif lucu, skinny jeans, sepatu sneakers, dan rambutnya kini dibiarkan terurai ke bawah. Gayanya terkesan sederhana tapi elegan, sangat Eropa sekali.

"Hai," Emma menoleh ke arah Jowan dengan kerutan senyum di pipi. Rambutnya mengibas ke samping tatkala ia memutar seperempat lehernya.

Jowan menghembuskan napas pelan, mencoba tenang. Pancaran mata Emma membuatnya deja vu untuk beberapa saat, lalu terpana. "Sudah menunggu lama?"

"Lime menit."

"Maaf, agak terlambat.

"Tidak masalah, karena ini pertama kali kita menonton bersama." Emma berdiri, menyeringai menunjukan lesung pipinya yang menawan dan giginya yang begitu rapi. "Lain kali jika kuajak nonton lagi, jangan terlambat," ujarnya.

Jowan terkekeh receh, namun terdengar menggelikan seperti tawa yang canggung. "Memangnya ada yang kedua kali?"

"Ya barangkali."

Jowan mengangkat kedua alisnya. "Biar popcornnya aku yang bawa." Ia mengambil pelan popcorn di tangan Emma sembari menyeringai dan menyipitkan mata. "Malam ini kita nonton apa?"

Pays to Be a LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang