Jae-yong mendapatkan notifikasi pesan dari Eliza saat ia tiba di garis pintu kamar dan langsung menekan tombol saklar untuk memadamkan lampu. Dalam pesannya, Eliza melampirkan bukti pembayarannya di bulan ini melalui kartu debit. Yang bikin geleng-gelang kepala, wanita itu tak juga menambahkan gaji Jae-yong sesuai janjinya. Padahal Jae-yong sudah mangais keringat dari Otto's Food ke Noir Resto.
"Aku sudah mentransfer uang bulan ini," ucap Eliza setelah panggilan Jae-yong direspon.
"Kau bilang akan ditambah. Kenapa tidak?"
"Kau melakukan pekerjaanmu dengan buruk di hadapan ayahku."
"Oh begitukah?" gumam Jae-yong. "Memang benar tidak usah menambah gajiku, karena jika aku ingin mengambalikanya, aku yang akan kelabakan."
"Maksudmu?"
Jae-yong buru-buru memutuskan sambungannya sebelum merespon pertanyaan Eliza. Dia agak kesal dengan sikap lugunya, dan sudah terlalu lelah untuk berbicara banyak hal melalui ponsel.
Ia kemudian terduduk di atas ranjang. Setelah hari-hari yang berujung dengan ketidaknyamanan, Jae-yong merebahkan badannya di atas ranjangnya dalam ruangan gelap dihias lampu tumblr warni-warni. Belakangan ini dia seperti bukan dia. Hidup dalam sandiwara bukanlah hal yang mudah karena itu seperti kita tidak menjadi diri kita sendiri. Berpura-pura harus mencintai Eliza, berpura-pura menjadi pacarnya, berpura-pura menjadi orang kaya, berbohong kepeda Tn. Erick dan keluarganya, itu semua adalah pekerjaannya sekarang.
Dia tidak tahu sampai kapan ia harus menengadahkan tangannya ke atas, membutuhkan uang dari Eliza setelah kehilangan pekerjaannya dan dihilangkannya separuh beasiswa kuliahnya karena nilai IPK di semester dua dulu menurun.
Ya, dia baru sadar sekarang bahwa tampan dan pintar saja tidak cukup untuk dibanggakan, dia bahkan bukan siapa-siapa di hadapan orang-orang kaya macam Eliza, Emma, dan Frank yang bisa saja dengan mudah memesan 100 porsi Pizza dalam semalam. Malahan orang-orang macam Dirman yang tidak pernah tinggi hati bisa-bisa membuat kejutan, padahal Jae-yong sering mengata-ngatainya "wajahmu jelek".
Sedikit tentang masa lalu Song Jae-yong, ia teringat sekali ketika dulu hampir saja ia memupus harapan melanjutkan pendidikan setelah lulus sekolah karena buruknya ekonomi keluarga. Bisnis kaset grosiran ayahnya bangkrut akibat digitalisasi. Sementara sejak kelas 11, peringkat Jae-yong di kelas terus menurun meski nilai-nilai rata-rata raportnya meningkat dari tahun ke tahun. Akibat dari penurunan prestasi akademinya, beasiswa yang ia terima sejak kelas 10 diambil alih oleh siswa lain.
Memang masa-masa itu adalah masa-masa kebadungan Jae-yong. Kala itu ia memang lebih sibuk keluar malam bersama teman-temannya daripada harus berkutik dengan buku pelajaran di meja belajar. Dia juga sering tidak serius ketika mengikuti bimbingan balajar. Seperti acuh tak acuh, ia bahkan bergaul dengan orang-orang yang lebih tua, perokok, dan alkoholik. Hal-hal semacam itu yang barangkali membuat prestasinya terkejar oleh siswa lain meski ajaibnya nilai-nilai raportnya masih terus meningkat.
"Kau tengok adik-adikmu!" Tn. Song.-ayahanda Jae-yong- menggertak sambil memukul pintu kamar. Moment itu membekas di benak Jae-yong. "Harusnya kau beri contoh baik padanya," kata ayahnya lagi.
Jae-yong membalikan badannya, mengalihkan perhatiannya kepada ayahnya yang tiba-tiba marah tidak tau menau darimana asal kemurkaan itu. "Memangnya aku harus mencontohkan seperti apa ayah?" Sambil merapikan rambut poninya, ia berbalik lagi ke arah cermin.
"Belajar dan berhenti main-main!"
"Aku tidak perlu belajar terlalu keras ayah. Nilaiku bahkan tidak pernah turun." Sebuah parfum murahan disemprot ke sekujur tubuhnya. "Aku belajar 16 jam di sekolah, itu waktu yang sangat lama."
Tn. Song menarik langkah dan tanpa babibu langsung menyentil kening Jae-yong keras-keras sampai anaknya itu mengerang kesakitan dan kembali lagi menghadap ayahnya. "Tapi kau kehilangan beasiswamu!"
"Aku tidak bisa dipaksa untuk mempertahankan beasiswaku Ayah. Lagipula siswa lain juga membutuhkan, jadi biar yang lain juga merasakan senangnya mendapatkan beasiswa."
Tn. Song menghela napas geram, tangannya mengepal. "Dasar anak bodoh," umpatnya. "Kau tahukan bisnis ayah sedang bangkrut, sementara dua adikmu juga masih butuh sekolah," katanya. "Jika kau tak bisa mendapatkan beasiswa kuliah nanti, ayah tak mau menjamin kau bisa kuliah."
Jae-yong mengatupkan mulutnya, tak bisa berkata apa-apa. Sementara ayahnya pergi dari kamarnya dengan kekesalan.
Awalnya Jae-yong tak terlalu ambil pusing dengan kata-kata ayahnya, namun jika dipikirkan, kuliah memberikan kehidupan masa depan yang lebih baik jika menilik dirinya yang tak memiliki skill apa-apa selain kemampuannya mendapat nilai tinggi di kelas sains. Apalagi kebanyakan anak Korea sangat berambisi, berlomba-lomba mendapatkan tempat di perguruan tinggi negeri. Sangat aneh jika Jae-yong tidak memiliki itikad untuk melanjutkan pendidikannya.
Barangkali jika ia berkuliah, jati dirinya akan ia temukan, bukan seperti sekarang (dalam ingatan) yang ia anggap dirinya hanyalah seorang pemburu angka raport.
Satu hari setelah bentakan dari ayahnya yang berhasil membuatnya bergeming, Jae-yong mulai membuka lembaran buku pelajaran di meja belajar, mengkaji segala mata pelajaran sesuai jadwal yang akan diajarkan oleh guru di keesokan harinya. Sesekali manatap pajangan poster gambar girl grup SNSD di samping lemari, berisi member-membernya yang tengah berjejer anggun nan seksi. Memang dia teramat sering memindai poster itu melebihi foto keluarganya, bukan karena nafsu, SNSD baginya bukan hanya sekedar tokoh publik figur Korea, tapi mereka adalah simbol kesuksesan. Meski Jae-yong menyadari kebadungannya, tapi ia juga ingin menjadi manusia seperti idolanya.
Satu bentakan ayahnya ternyata mampu menggugah minat belajar Jae-yong. Dia benar-benar belajar siang dan malam, sembari terus menatap poster kesukaannya. Dua hal yang pasti menggerakan hatinya adalah buruknya kondisi ekonomi keluarga dan adik-adiknya yang tentu saja masih butuh banyak biaya sekolah.
Pada suatu hari, di sebauh mading sekolah terpampang informasi beasiswa luar negeri. Siswa dengan nilai tertinggi pada ujian College Scholastic Ability Test di kota Busan memiliki peluang mendapatkan beasiswa kuliah di Eropa. Jae-yong menatapnya lebih dari satu menit, menanamkan peluang beasiswa itu di benaknya. Bagaimana jika aku kuliah di Eropa, mungkin tidak akan terlalu membosankan.
Meski hanya imajinasi, Jae-yong mulai menentukan negara-negara yang akan ia pilih jika benar-benar mendapatkan beasiswa itu, padahal ujian masih jauh-jauh hari. Spanyol, Inggris, Prancis, Italy, Jerman. Semua negara-negara besar Eropa hampir ia sebutkan di benaknya. Dia benar-benar harus mendapatkan nilai tertingi di Ujian Suneung agar mendapatkan beasiswa.
Singkat cerita, Jae-yong melakukan kerja kerasnya yang menghasilkan nilai sempurna dalam ujian Suneung pada akhir sekolahnya dan menjadi yang tertinggi di kota Busan. Meski terdengar ajaib di telinga tetangganya sebab Jae-yong tidak pernah belajar di akhir pekan seperti kebanyakan murid lain, tapi guru-guru yang mengenalnya tidak heran lagi. Jae-yong benar-benar dianggap oleh guru-gurunya sebagai salah satu murid yang memiliki potensi kecerdasan akademi di atas rata-rata.
Itulah titik baliknya hingga ia terdampar di atas ranjang dan berada dalam lingkup kehidupan Eropa dalam beberapa tahun ini.
Pada akhirnya halusinasi itu berbuah nyata hingga melebar-lebar melampaui jangkauannya. Ia bahkan sekarang tengah terbaring di atas ranjang sambil mengingat-ingat masa itu. Tak pernah terbayangkan bisa disukai dan berhubungan dekat dengan wanita Eropa secantik Eliza, meski entah kenapa ia sulit mencintainya.
Kuliah di Eropa baginya tak terlalu membosankan seperti bayangannya dulu, tapi yang menyebalkan adalah nasibnya. Meski tidak mendapatkan banyak omelan dari ayah dan ibunya, ternyata hidup tanpa orang tua tidak seenak yang ia bayangkan, bahkan jika diberi satu kesempatan untuk mengulang masa kecilnya, ia tak akan lama mempertimbangkannya, tentu saja itu keinginnannya. Menjadi anak kecil berarti bersenang-senang tanpa memikirkan uang, cinta, masa depan, sosial, dan kalut maruk kehidupan lainnya.
Bagaimana pontang panting kehidupannya sekarang, ia hanya berusaha menikmatinya dan menjalankannya meski akal budinya tak berhenti ripuh-meripuh. Ia menghela napas berkali-kali, kenapa menjadi dewasa sesulit ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Pays to Be a Love
RomanceApa jadinya bila Pria Jawa dan Wanita Eropa saling mencintai? Emma Handerson seorang mahasiswi jurusan sastra Inggris yang susah payah melupakan mantan pacarnya. Setelah hubungannya dengen Tommy Wayne renggang, ia merasa risih didekati oleh banyak p...