Bab 28

56 6 0
                                    

Emma duduk bersimpuh pada banch  menghadap Sungai Serpentine yang berlokasi di Taman Hyde, sendiri seraya menunggu kedatangan Pria Jawa itu -Jowan-. Ia memindai ke arah sungai yang airnya bergerak tenang, beberapa angsa mengambang di permukaan air serta burung-burung beterbangan di atas sungai dan bermain-bermain di tepiannya. Orang-orang santai menikmati angin spoi-spoi; ada yang duduk, ada juga yang hanya melintasi terotoar.

Pada masanya, ketika Emma masih mendengar gema suara Tommy, mereka terduduk di banch itu. Saat itu baru saja mengakhiri masa-masa sekolahnya, mereka merayakan hari-hari kosong dengan tersenyum-senyum menikmati panorama Taman Hyde. Emma ingat sekali ketika terakhir kali berbincang-bincang dengan mantan kekasihnya itu. Ia melontarkan sebuah pertanyaan nyeleneh, "Kenapa kau membotaki kepalamu? Sepertinya akan lebih tampan jika kau menumbuhkan rambutmu."

Tommy mengelus-elus kepalanya yang hampir mulus tanpa bulu. Ia terkekeh. "Karena bola basket tidak memiliki rambut."

"Kau benar-benar terobsesi dengan bola basket." Emma terkekeh. "Tapi aku bertanya sungguh-sungguh."

"Aku juga menjawab sungguh-sungguh." Jowan tersenyum memindai ke arah Emma dengan tatapannya yang bak pangeran berkelapa pelontos.

"Kau bercanda."

"Aku lebih suka seperti ini," kata Jowan. "Rambut panjang sedikit menggangguku saat bermain basket."

"Setidaknya tumbuhi saja beberapa inci," kata Emma sembari mengelus kepala pelontos Tommy dengan agak kegeli-gelian.

Setelah itu Emma mengalihkan pandangannya ke depan, mimiknya berubah menjadi lebih cemas. Hari-hari yang akan datang benar-benar mengusik hatinya beberapa waktu ini. Sampai hari perpisahan akan dilaksanakan tiga hari lagi, tapi ia  masih ripuh memilih perguruan tinggi beserta prodi yang akan ia ambil. Ia menghela napas, meratapi masa depan yang sulit ia tentukan sendiri. "Menurutmu, aku akan cocok memgambil jurusan kuliah apa?" tanyanya.

"Kenapa bertanya padaku?" Tommy meresa bingung. "Harusnya kau tau apa potensimu."

"Kerena aku tak tau, makanya meminta pendapatmu."

Tommy membelai ujung dagunya, berusaha berpikir mengenai hobi, passion, potensi yang barangkali Emma miliki. Ia berpikir hampis setengah menit, dan ia tak pernah mengingat apa-apa tentang hobi Emma selain menonton film horror di bioskop dan menari-nari tak jelas di klub malam. "Kau tanyakan pada dirimu, apa yang kau suka?"

"Haruskah aku mempelajari akting?" tanyanya.

"Ya. Kalau kau suka."

"Tapi sebenarnya, daripada menonton film karya orang lain terus-menerus, aku ingin menceritakan karya ceritaku sendiri."

"Kalau begitu," Tommy bergumam sembari matanya mengerling menjelajahi langit-langi tatkala berpikir. Dan lalu ia menemukan jawabannya. "Kau bisa mengambil jurusan tentang tulis menulis untuk mempelajari skenario film."

"Begitu kah?"

"Ya, menurutku."

"Kau sendiri?"

"Aku?"

"Kau ingin melanjutkan kuliah di mana?"

Tommy tergemap. Ia menoleh ke arah Emma. Hatinya dalam gegap gempar mendengar pertanyaan Emma. Ia lantas meraih tangan Emma dan menggenggamnya. "Aku membawamu ke sini, karena aku ingin mengatakan ini padamu." Tatapannya nanar.

Emma mengerutkan dahinya menatap Tommy, bertanya-tanya gerangan yang akan disampaikan Tommy sampai wajahnya tercengeng-cengeng seperti balita berwajah dewasa. Mata mereka bertemu. "Apa?"

Tommy semakin menggenggam erat tangan Emma, mengamati wajahnya dengan penuh makna yang akan ia sematkan dalam memori hati apabila untuk beberapa tahun ini mereka akan sulit bertemu bahkan tidak akan. "Aku akan melanjutkan studyku di Amerika Serikat. Aku akan mengejar cita-citaku menjadi pemain NBA."

Pays to Be a LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang