Bab 2

265 20 3
                                    

Di dalam mimpinya, Jowan teringat sesuatu di kota kelahirannya. Wonosobo saat itu tidak sedingin biasanya, namun suhu ruangan kafe menolong suasana. Segala suara klakson motor dari luar terdengar bising sampai mencemari musik di dalam ruangan itu, dan cukup mengganggu.

Dua anak manusia duduk di dalamnya sambil berperang batin, mereka adalah pasangan labil bernama Jowan dan  Ratna. Wajahnya masam entah apa yang  tengah dipikirkan. Tidak ada suara dari mereka, diam tak ada berisik dan gaduh kecuali polusi suara klakson tadi yang hampir membuat Ratna mengaitkan headset ke telinganya.

Namun tidak! Perempuan itu membuka suara setalah bosan diam. "MAS, aku nggak bisa LDR.an," ia menunduk di hadapan Jowan, entah kenapa. Ia bahkan tak menyentuh sedikitpun Jus Alpokat di hadapannya sejak tadi.

Jowan yang baru mengunyah nasi goreng dari setengah sendoknya, lantas mendadak berhenti mendengar ucapan Ratna. "Lah kenapa? aku juga pasti pulang setahun sekali," ujarnya dengan nada kesal.

Ratna kini menatap Jowan. Wajahnya berubah menjadi cemberut mendengar nada emosi Jowan. "Ojo seru-seru mas, akeh wong lo nang kafe iki. Isin aku."

"Maumu apa?" tanya Jowan dengan lirih.

"Aku nggak bisa LDR.an mas. Sekarang gini aja, pilih aku atau kuliah di London?" tanya Ratna. Ia kemudian menyeruput jus alpokatnya untuk pertama kali setelah beberapa menit duduk di kafe itu. Terlepas prestasinya di sekolah, tabiatnya itu benar-benar dungu dan labil untuk ukuran anak remaja.

"Kita ini udah hampir 3 tahun lo pacaran. Aku nggak bisa kalau kayak gini!"

"Ya udah mas, kita putus aja wes!"

"Loh Ratna! Aku kuliah juga buat masa depan. Jangan egois gitu!" wajah Jowan mulai berkaca-kaca, tatapannya begitu nanar. Ia berusaha menahan air matanya di tengah-tengah keramaian kafe.

Ratna berdiri kemudian mengambil tas kecilnya. "Wes Mas! Kita putus!" Matanya yang tajam itu seperti anak panah yang menghancurkan harapan Jowan. Teganya perempuan ini.

Perempuan yang baru duduk di bangku SMA kelas 10 itu lantas pergi meninggalkan Jowan. Sedangkan Jowan hanya bisa menyandarkan kepalanya di meja sembari menyeka air matanya. "Dasar setan kampung!" umpatnya.

Mereka adalah pasangan labil meski hanya tinggal memori yang kini hinggap di dalam mimpi Jowan.

Mereka adalah pasangan labil, begitu yang bergema di telinga Jowan.

Pasangan labil.


.


"WOI WOI WOI!" Dirman menggoyang-goyangkan badan Jowan yang masih tertidur pulas di ranjangnya. "SUBUHAN REK!" serunya.

Jowan yang mendengar teriakan Dirman lantas terperanjat dari tidurnya. Ia membuka matanya perlahan, lalu menarik napas dalam-dalam.

"Setan Kampung!" umpat Jowan dalam pandangannya yang masih samar-samar. Ia masih terbawa emosi dari mimpinya.

"Dancok! SUBUHAN COK! Ndasmu kui Setan Kampung!" sarkas Dirman yang tengah berdiri melipat tangan di hadapan Jowan. Ia kemudian melemparkan sebuah bantal ke arah wajahnya.

Jowan yang sudah sadar seutuhnya kini memandang Dirman dengan senyuman. "Makasih Dir udah bengunin," ujarnya. Dia merasa lega, akhirnya mimpi buruk bertemu Ratna telah usai. Benar-benar Setan Kampung itu terus menghantui Jowan meski ia berusaha keras untuk tak mengingatnya, padahal kajadian itu sudah dua tahun yang lalu.

~•●•~

Seperti biasanya, suasana perpustakaan kala itu sunyi senyap. Sejak musim dingin berakhir bulan lalu, entah kenapa minat pembaca untuk berkunjung di perpustakaan agak menurun. Memang di dalam ruangan tak boleh bergaduh, mana ada perpustakaan yang ramai macam Pasar Pon? Tak ada! Tapi setidaknya ramai suara orang berjalan mencari buku bisa terdengar, namun kembali lagi, terlihat sunyi senyap kecuali jika penjaga perpustakaan itu memutarkan lagu instrimental pembawa tidur. Merujuk pada musim dingin, pada dasarnya ada juga orang yang berkunjung ke perpustakaan hanya untuk menghangatkan badan alih-alih membaca.

Pays to Be a LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang