Jae-yong mengederkan tatapannya ke segala arah ruang restaurant itu, kepalanya bergerak perlahan dan matanya lamat-lamat meraba-raba di setiap sudut ruang. Lengkah jalannya elegan, seperti intruksi Eliza, dia harus berlagak seperti orang kaya dengan gestur gagah, berkacamata hitam, dan sesekali mengusap rambutnya yang mengkilap. Dengan begitu, maka gaji perbulannya akan ditambah oleh Eliza dua kali lipat jika peran jutawannya dikhayati dengan baik.
Setelah beberapa langkahnya yang hanya maju tak pasti dan memfokuskan diri pada lenggak-lenggok jalannya, ia terhenti lalu menjajarkan sepasang kakinya. Ia tengok kanan kiri depan dan memutar lagi ke belakang, dimana Eliza?
Orang-orang di Restaurant sudah terlanjur mengalihkan pandangannya ke arah Jae-yong yang gerak-geriknya aneh. Pria Korea itu mendadak jadi pusat perhatian untuk beberapa orang, dan itu membuat Jae-yong tersipu malu meski ia berusaha untuk melambai-lambai sembari berekspresi arogan kepada orang-orang yang tengah menatapnya dan itu cukup membuat para penonton jengah untuk menatap lagi.
Tidak mau berlama-lama dengan salah tingkahnya, Jae-yong lantas memilih tempat duduk di dekat pintu masuk sembari matanya terus menjalar-jalar ke seisi ruang. Ia terduduk mafhum, kedua kakinya dirapatkan karena ada sedikit rasa ingin membuang kemih. Tidak lama setelah itu, ponsel berdering dari saku celananya. Panggilan dari Eliza.
"Eliza, kau di sebelah mana?" tanya Jae-yong, menggenggam erat ponselnya geram karena tak kunjung menemukan wanita itu dan hasrat berkemihnya tak bisa dikompromi.
"Aku duduk di dekat pintu masuk," ujar Eliza. Suaranya terdengar cempreng di handphone. "Kau masih di perjalanan?"
"Aku sudah sampai, dan aku duduk di dekat pintu masuk." Jae-yong melengok kanan kiri, napasnya memburu karena air kemihnya seperti sudah berada di ujung tanduk. "Kau tidak kulihat."
"Aku jelas-jelas ada duduk di dekat pintu masuk bersama ayahku."
"Mana?"
Seorang pelayan datang menghampiri Jae-yong, wajahnya ramah dengan kerutan senyum di tepian mata dan berewok tipis di sekitar rahang tajamnya. Ia nampak seorang Italian. "Mau pesan apa?" suaranya lembut, pelayanannya baik sekali. ia menaruh daftar menu makanan di meja.
Jae-yong hanya mendelik untuk sesaat, fokusnya terbagi mejadi 3; Eliza, pelayan, dan berkemih. Sejenak ia mengingat ketika dirinya masih bekerja di restaurant sebagai pelayan yang mengharuskan dirinya berekspresi ramah satiap saat sekalipun perasaannya tengah berkecamuk. Ia berperasangka buruk manakala wajah yang ditampikkan pelayan itu adalah sebuah kepalsuan. Ia membalas senyuman itu sekali, sebelum akhirnya mengacuhkan lagi.
Alih-alih berempati menanggapi pelayan yang sudah memasang wajah ramah, Jae-yong justru beranjak dari tempat duduknya dan sekonyong-konyong berjalan lurus ke arah toilet sembari terus berbincang-bincang dengan Eliza. "Aku sedang menuju ke arah toilet, apakah kau melihatku?"
"Mana? Aku tidak melihatmu. Sungguh."
Jae-yong membuka resleting celananya di depan orinoir, meluruskan pelurunya ke arah lubang pipa. "Tunggu sebentar."
"Kau sudah memesan minum?"
"Belum," kata Jae-yong sambil menutup lagi resleting celananya.
"Suara apa tadi?" tanya Eliza. "Seperti kau sedang menuangkan air ke dalam gelas."
"Aku baru saja buang air kecil."
"Ahh menjijikan!"
Jae-yong kembali lagi ke tempat duduk semulanya, namun kini ia hanya menyanggahkan badannya dengan tangan. Dan lagi-lagi melengak-lengok ke kanan kiri seperti orang kebingungan. "Kau di mana?!" ia geram lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pays to Be a Love
RomanceApa jadinya bila Pria Jawa dan Wanita Eropa saling mencintai? Emma Handerson seorang mahasiswi jurusan sastra Inggris yang susah payah melupakan mantan pacarnya. Setelah hubungannya dengen Tommy Wayne renggang, ia merasa risih didekati oleh banyak p...