Bab 22

58 5 0
                                    

"Jadi kalian jadian kapan?" tanya Nick. Tangannya beringsut-ingsut mengambil sepotong pizza di atas piring. Ia membaluri lagi pizza itu dengan saos mayonais. Lalu dikunyahnya pizza itu perlahan-lahan.

"Kau akan kaget jika mendengarkan ceritaku," tanggap Victor.

"Ceritakan saja."

Sementara Margot duduk bersimpuh. Masih bermuram durja, sembari itu jarinya bermain-main di layar ponsel untuk meredam ketidaknyamanannya. Nick menuangkan teh hangat ke dalam gelas untuk disajikan bersama Pizza.

"Kami berhubungan jarak jauh sebagai teman selama satu tahun," kata Victor seraya menoleh ke arah Margot ragu-ragu.

"Satu tahun lebih dua bulan," Margot meralat tanpa mengerlingkan sedikitpun bola matanya ke arah Nick. Tangan dan tatapannya sibuk berkutik di layar ponsel.

"Ya satu tahun dua bulan," ucap Victor. "Lalu pagi tadi aku datang ke London untuk menemui ayahku. Aku bertemu dengan Margot satu jam yang lalu dan saat itu juga kami resmi berpacaran. Hubungan kami baru lahir satu jam tadi."

"Semudah itu?" Nick berhenti mengunyah. Ia tertegun, sepasang alisnya terangkat dan mulutnya menganga. Hampir saja kepingan sosis di atas mulutnya terjatuh ke dasar lantai, namun ia terhenti di atas dagu Nick.

"Kau kaget kan?" Victor mengunyah-unyah pizza itu seraya tersenyum-senyum meledek ke arah Nick. "Aku tidak seperti kau yang perlu berabad-abad hanya untuk mengungkapkan cinta." Sedetik kemudian ia menyeruput teh hangat di hadapannya, lalu tersenyum meledek lagi ke arah Nick. "Jadi bagaimana hubunganmu dengan Emma?"

Nick mengerjap-ngerjap meredam rasa keterkejutannya atas ujaran Victor. Ia menelan ludah kasar. Rasanya ingin sekali melempari potongan-potongan pizza itu ke wajah Victor lalu mengusir anak Nigeria ini dari rumahnya. Kalimatnya 'tidak perlu berabad-abad' secara tidak langsung menyindir bahwa Nick adalah pecundang. "Hubungan?"

Barangkali memang begitu. Apalagi julukan yang pantas untuk Nick jika bukan 'pecundang', 'Si Botak'? Terlalu pasaran jika begitu.

"Iya."

Nick menghela napas pelan-pelan. Peluh air matanya mencuat dari kelenjar lakrimal, membentuk tatapan nanar kesedihan. Ia tertunduk sesaat. "Hingga saat ini, dia masih mengacuhkanku," ucapnya.

"Jangan menangis. Mungkin Emma tak menyukaimu karena kau terlalu cengeng."

"Lalu apalagi yang bisa kulalukan untuk meredam kesedihanku selain menangis?" Nick masih menahan kepalanya menunduk ke bawah. Ia tak mau lagi memperlihatkan wajah sedihnya di hadapan Victor, terlebih ada Margot di sampingnya. Namun perlu di garis bawahi, dengan peluh air matanya itu, ia menunjukan ketidakberdayaannya, ia memanglah seorang pecundang cinta yang bertahan hidup.

"Kau bisa nonton film, pergi ke pantai, atau apa saja yang membuatmu senang."

"Dari dulu saranmu memang tidak ada yang benar."

"Apakah saranku terdengar bodoh?" Satu alis Victor terangkat heran. "Dengan menikmati film, kau bisa sejenak melupakan hingar bingar Emma di pikiranmu."

"Percuma. Karena itu hanya sejenak, aku akan menderita lagi setelahnya."

"Sebenarnya cara terbaik agar kau tidak berlarut-larut dalam kesedihan adalah menemukan wanita lain yang bisa mengisi hatimu. Kau harus membuka mata, di dunia ini wanita cantik tidak hanya Emma." Victor menjeling ke arah Margot. "Ada juga Margot pacarku, dia cantik."

Sejurus kemudian Margot menimpuk bahu Victor sembari tersipu.

"Siapa?" Nick mengangkat wajahnya malas-malas. Ekspresinya penuh tanya, sepasang bibirnya membentuk ceropong sementara alisnya terangkat lagi. "Siapa yang bisa kucintai? Aku tidak bisa memaksakan perasaanku, kecuali bila ada orang yang benar-benar mirip dengan Emma."

"Sampai sekarang aku masih bertanya-tanya kenapa kau sangat menyukai Emma. Padahal tidak ada proses pendekatan di antara kalian berdua."

"Lantas kenapa kau dulu juga menyukai Margot, padahal kalian juga tidak ada proses pendekatan."

"Hah?" Victor menyipitkan matanya. "Kau sungguh tidak tau?"

"Apa?"

"Dulu waktu SMA, kami.." Victor melemparkan senyum ke arah Margot, lalu dirangkulnya wanita tambun itu, dibalas dengan senyuman malu-malu kucing oleh Margot. "Kami sering berbalas surat." Victor menghela pelan, matanya tertuju pada langit-langit rumah. "Waktu itu sangat romantis."

"Kau berbohong kan?" Nick menampikkan ekspresi buruk rupanya. Bagaimanapun, ia cemburu dengan keromantisan sejoli itu.

"Untuk apa aku berbohong?"

Nick menghela lagi dan lagi. Tatapannya dibuang ke arah kanan. "Kedatanganmu menambah buruk perasaanku." Ia menatap sinis ke arah Victor.

Sementara Victor mengalihkan fokusnya ke arah kertas pembungkus pizza berwarna mereh yang kemudian ia robek di bagain ujungnya lalu dipilin-pilin menyerupai upil. Ia menyeringai, sesuatu melintas di otaknya.

Ucapan Nick membuat suasana hening selama 30 detik, sebelum akhirnya Victor melempari secuil gulungan kertas pembungkus pizza itu ke arah kening Nick hingga mengenainya. Ia melepaskan rangkulannya di atas bahu Margot. "Apa rencanamu Nick?"

"Apapun itu......" Nick menatap tajam ke arah Victor. "Kau tidak perlu tau, dan untuk sekarang aku tidak perlu saranmu."

"Ya." Victor mengangguk-angguk seraya menyunggingkan senyum. "Tapi setelah kupikir-pikir, perasaanmu itu sedikit aneh. Kau sudah dicampakkan, bahkan tidak pernah terlibat obrolan lama dengan Emma, kau tidak punya kenangan indah bersama Emma. Tapi kenapa kau sangat sulit untuk melupakannya?"

Nick memicingkan matanya tatkala pertanyaan itu menerobos lubang telinganya. Ia menunduk lesu seraya itu membelai kepalanya yang mulai ditumbuhi rambut setinggi akar kecambah. Pertanyaan Victor juga yang sering ia tanyakan kepada dirinya sendiri. "Aku tidak tau."

"Bukankah itu seperti kau disihir atau diguna-guna?"

"Hah?" Nick mengangkat kepalanya lagi, menatap kesal pria hitam pekat di hadapannya. "Kau sudah mulai berpikir yang tidak-tidak."

"Ini sungguh serius Nick. Aku ingin membantumu. Siapa tau kau benar-benar diguna-guna." Victor melipat tangannya di dada, tatapan matanya meyakinkan. "Bagaimana kalau kucarikan untukmu seorang cenayang dari Afrika, atau pendeta di seketira London. Kau mau?"

"Sudah kubilang Victor...." Nick mulai geram, wajahnya merah padam. "Aku tidak perlu lagi masukanmu," ujarnya. "Mulai sekarang aku juga tidak akan membotaki kepalaku, aku akan membiarkan rambutku tumbuh. Botak atau tidaknya tidak berefek apapun pada hidupku. Saranmu dulu benar-benar bodoh."

Nick membusungkan kepalanya ke arah meja. Lalu mengetuk sekali meja itu dengen ujung telunjuknya. "Ini sungguh yang terakhir Nick," ujarnya dengan tatapan meyakinkan. "Kau harus cari wanita yang bisa membantumu melupakan Emma. Kau harus lakukan itu. Lalu......" ia menatap ke arah lantai, sedetik kemudian menatap wajah Nick lagi. "Opsi kedua.... kau harus mencari cenayang sendiri," bisiknya.

"Ya! Ya!" Nick menghentak kesal.





Play List :
Tulus - Labirin



Terimakasih sudah membaca, jangan lupa taburi bintang agar author semangat nulisnya...

Pays to Be a LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang