P A R T 0 4

29.6K 2.9K 51
                                    

“Tunggu, Darka.”

Sang empu nama membalikkan tubuhnya, berdiam di tangga menatap orang tuanya yang berada di meja makan.

“Papah sudah bilang kan? Pulang tepat waktu, kenapa kamu selalu pulang tengah malam seperti ini? Sebenarnya apa yang kamu lakukan di luar sana, Darka?” tanya Satya.

“Yang penting aku pulang kan?” Darka berbalik tanya.

“Ya sudah, jangan diulangi. Sekarang sini kamu makan dulu,” tutur Liana mencoba mengalihkan perdebatan ayah dan putranya.

“Aku udah makan di luar, Ma,” balas Darka ingin kembali melangkah namun sebuah suara menghentikan niatnya.

“Pernikahan kamu tiga bulan lagi.”

Rahang laki-laki itu mengeras. Mengapa kedua orang tuanya masih membahas perjodohan disaat dirinya sudah menolaknya. Tidak, membayangkannya saja Darka tidak menginginkannya.

Sepertinya Darka telah melupakan fakta bahwa tidak ada yang dapat membantah ucapan ayahnya yang keras kepala.

“Papa tetap jalanin perjodohan ini walaupun aku udah nolak? Aku—”

Satya memotong perkataannya tanpa menunggu Darka menyelesaikannya. “Oke, dua bulan lagi.”

“Aku udah bilang—”

“Satu bulan.”

“Pa!”

“Dua minggu—”

Oke fine! Satu bulan,” ucap Darka dengan terpaksa.

Satya mengangguk memandang Darka. “Persiapkan diri, pertunangan kamu satu minggu lagi.”

“Terserah Papa!” Darka mengacak rambutnya frustasi. Sedangkan Liana menggelengkan kepalanya melihat Darka yang sudah kembali menaiki anak tangga.

“Apa kita gak terlalu keras sama Darka?” tanya Yunita.

“Kita harus keras supaya Darka dewasa, dan salah satunya dengan bertanggung jawab,” balas Satya meneguk air karena merasakan tenggorokannya yang kering lalu kembali berbicara.

“Kamu gak perlu khawatir. Seiring berjalannya waktu, Darka pasti bisa menerima ini.”

*****

Sinar matahari pagi perlahan menyilaukan pandangannya. Arisha menyipitkan kedua matanya memperhatikan guru yang sedang berinstrupsi memberikan pidato. Ya, mereka sedang melakukan rutinitas di hari senin, upacara.

Ah, tidak. Arisha sangat membenci hari senin. Ini adalah hari yang mengharuskan dirinya berdiam diri di bawah teriknya matahari.

“Lo gak kenapa-kenapa? Muka lo pucet banget,” bisik Amara yang berdiri di sisinya.

“Enggak, gue gak kenapa-kenapa,” jawab Arisha tersenyum tipis.

Arisha memejamkan matanya perlahan, untuk hari saja ia ingin agar tidak terjadi sesuatu pada dirinya. Namun sepertinya sang dewi keberuntungan sedang tidak memihaknya karena setelah membuka kedua matanya pandangannya kian memburam. Samar-samar ia mendengar suara sampai akhirnya telinganya berdengung, pandangannya menghitam membuat Arisha terduduk begitu kepalanya terasa sakit. 

“Arisha!”

“Arisha, lo kenapa? Ayok ke uks,” kata Celline tampak khawatir karena wajah Arisha semakin pucat begitupun dengan Amara dan Saras yang segera menghampiri Arisha. Mereka bahkan sudah menjadi pusat perhatian di lapangan.

“Sha—”

“Biar gue aja.” Mereka menoleh ketika Arthur sudah berada di dekatnya dan mencoba menggendong Arisha dengan bridal style.

Stop It, Darka! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang